Liberalisme adalah suatu kepercayaan tentang nilai-nilai kebebasan individu dengan intervensi minimal dari negara dalam kehidupan pribadi. Liberalisme adalah teori kontrak sosial yang menyatakan atau menegaskan bahwa otoritas politik secara orsinil tersusun dari kebebasan dan rasionalitas individu sebagai media untuk memadukan kebebasan dengan hasil-hasil kerja sama sosial.
Dalam sejarahnya sebagai gagasan, liberalisme berhubungan dengan gagasan kebebasan (liberty) atau pembebasan (liberation) karena esensi gagasan liberalisme adalah untuk menuju pembebasan. Dengan demikian, liberalisme mengekspresikan spirit manusia sebagai individu.
‘Man is born to free’ adalah asumsi dasar para pemikir liberal. Dalam artikulasinya, liberalisme menjadi sebuah keyakinan, filsafat, dan gerakan yang memegang teguh kebebasan sebagai sebuah metode dan kebijakan, sebuah prinsip yang terorganisasi dalam masyarakat dan menjadi jalan hidup bagi individu maupun komunitas (Ida Rohmawati, 2004).
Yahudi Liberal
Liberalisme juga merambah pola hidup keberagamaan menghadapi akselerasi perubahan atas tuntutan globalisasi dan moderinitas. Dengan demikian, kata liberal akhirnya juga menjadi dan dijadikan sebuah atribut gerakan keagamaan, di antaranya gerakan keberagamaan dalam agama Yahudi dan juga Islam.
Kemunculan Yahudi liberal (Liberal Judaism) adalah karena kegelisahan sekelompok Yahudi atas kegagalan gerakan pembaharuan keagamaan yang dilakukan gerakan Yahudi reformis belum dapat mencapai cita-cita reformasi yang diharapkan dan hanya menyentuh isu-isu luar, bukan menyeselaikan problem-problem yang sebenarnya. Dengan liberalisme ini, mereka ingin memenuhi kekurangan-kekurangan tersebut.
Gerakan Yahudi liberal muncul pada tahun 1902 M, persis ketika dirilisnya Persatuan Keagamaan Yahudi yang kemudian berkembang menjadi Persatuan Yahudi Liberal. Gerakan Yahudi liberal mucul di Inggris pada tahun-tahun pertama abad ke-20, perkembangan yang dipelopori oleh Laely Montagu (1873-1963) dan Claude Montefiore (1851-1938), seorang agamawan Yahudi yang terpengaruh oleh salah seorang pemikir Kristen liberal di Oxford, Benjamin G (Al-Masiriy: 1999).
Misi dari gerakan mengupayakan agar dasar-dasar ajaran agama Yahudi dapat sesuai dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (enlightement) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Mereka berharap untuk menyesuaikan agamanya dengan masyarakat modern.
Kaum Yahudi liberal juga percaya bahwa kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scripture), termasuk Taurat, adalah upaya manusia untuk memahami kehendak Tuhan. Karena itu, mereka menggunakan kitab-kitab itu sebagai titik awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan kemungkinan kesalahan kitab mereka dan menghargai nilai-nilai pengetahuan di luar kitab agama mereka (Adian Husaini: 2007).
Titik tolak Yahudi liberal adalah wujud manusia dan kebutuhan-kebutuhannya (humanis), bukan lagi mempermasalahkan akidah (teosentris). Tidak heran jika mereka menganggap old statement sebagai ijtihad manusia dan bukan wahyu Tuhan. Mereka mengembangkan ide-ide pencerahan dan berhukum kepada hati nurani: kebaikan dan kesalehan harus dinilai dengan ukuran nurani yang tercerahkan dan bukannya dengan tolak ukur wahyu lagi.
Istilah Yahudi liberal juga sering digunakan untuk menunjukkan gerakan Yahudi progersif dan juga Yahudi reformis. Ketiga istilah itu seakan menjadi istilah yang satu meskipun titik tekan pada semangat pembaharuan dan reformasi lebih radikal di dalam gerakan Yahudi liberal dan kadang juga untuk gerakan pembaharuan yang sedikit masih berpegang kepada tradisi, sementara Yahudi progresif sering digunakan untuk gerakan pembaharuan secara umum (Al-Masiriy: 1999)
Islam Liberal
Tidak jauh dengan Liberal Judaism adalah gerakan yang dinamakan atau menamakan dirinya dengan gerakan Islam liberal, baik secara individual maupun kelompok. Berangkat dari semangat pembaharuan dan keinginan membawa Islam agar selalu relevan dengan zaman modern yang berubah maju begitu cepat, gerakan Islam liberal muncul. Selain itu, ada semacam keyakinan bahwa Allah SWT akan mengutus mujaddid pembaharu setiap tahun, baik pembaharuannya bersifat individu maupun kolektif.
Istilah Islam liberal sebenarnya sudah dikenal beberapa dasawarsa yang lalu meskipun tidak secara tegas menyandangkan kata Islam di belakangnya. Albert Honnani pada tahun 1960-an dalam karyanya yang berjudul Arabic Thought in The Liberal Age memperkenalkan istilah Islam liberal untuk menunjukkan suatu ragam pemikiran yang berkembang di dunia Islam (Ida Rohmawati: 2004).
Sementara secara tegas, orang yang menggunakan istilah liberal Islam (Islam liberal) adalah Charles Khurzman pada tahun 1998 melalui bukunya Liberal Islam: A Sourcebook. Sebelum Khurzman, juga sudah ada Leonardo Binder yang juga berbicara tentang Islam liberal dalam bukunya Islamic Liberalisme di mana dia berusaha memetakan tokoh-tokoh yang dianggapnya liberal.
Seorang sarjana hukum dari India, Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), juga ikut memopulerkan Islam liberal. Dia menulis: ”Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya (gerakan pemikiran), marilah kita sebut itu Islam liberal.” (Charlez Khurzman: 1998).
Islam liberal secara umum memiliki agenda, antara lain untuk menentang sistem pemerintahan teokrasi dan mendukung demokrasi, meneguhkan hak-hak perempuan atau gerakan feminisme, membela hak-hak non-Muslim (termasuk juga aliran-aliran sempalan), mengembangkan kebebasan berpikir, dan serempak menyuarakan gagasan-gagasan tentang kemajuan dan progresivitas.
Dengan semangat yang berlebihan, mereka memusuhi semua pemikiran teosentris dan berkeinginan menegakkan nilai-nilai humanisme meskipun sering mengorbankan keyakinan dan kepercayaan yang sudah lama mapan dan diyakini kebenarannya. Mereka juga berusaha membuka kembali seluruh pintu ijtihad yang sempat ‘tertutup’.
Dalam penerapan ajaran-ajaran Islam, mereka mendahulukan subtansi sebuah syariat daripada tatanan tekstual yang secara jelas sudah dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis. Mereka mengakui bahwa kebenaran bersifat relatif, inklusif, dan akomodatif. Mereka mendukung minoritas, siapa pun dan bagaimana pun mereka.
Kebebasan memilih agama atau bahkan tidak beragama sekalipun (ateis) bisa mereka terima. Mereka sekularisasi secara menyeluruh dan komprehensif.
Bila diteliti lebih jauh, ada atau bahkan banyak sekali kesamaan-kesamaan antara Yahudi liberal dan Islam liberal. Paling tidak keduanya adalah berangkat dari misi asumsif untuk melakukan reformasi dan peremajaan wacana-wacana keagamaan agar disesuaikan dengan modernitas (Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir)
penulis : Nur Faizin Muhith
referensi : Republika 16/02/08