Adapun tragedi syahadah Imam Husein as. sungguh berbeda. Targedi yang setiap tahunnya seakan terus membaru dan efeknya semakin mendalam. Layak sekali jika diadakan kajian yang ekstensif seputar tragedi yang multi-dimensional ini, dan alhamdulillah di sini masyarakat mencintai dan menghormati Ahlulbayt as. Karena itulah mereka berusaha sebaik mungkin dalam rangka mengingat peristiwa Asyura. Dengan taufiq Allah, setiap tahunnya mereka dapat menunjukkan keterkaitan dan berduka di haribaan Imam penghulu para Syahid.
Kami berdoa agar Allah swt. menjaga para pemuda pencinta Sayyidush shuhada as. dari segenap malapetaka dan menambah iman serta kecintaan mereka kepada Imam Husein as. dan tidak mencabut kebanggaan ini dari bangsa kita, khususnya dari anak-anak muda kita.
Mengabadikan Asyura
Masing-masing kita menanggung jerih payah tertentu dalam menghayati gerakan Asyura. Ada yang mengidung, ada yang menepuk dada, ada pula yang mementaskan adegan-adegan tragedi Asyura. Semua itu menunjukkan rasa hormat dan ketulusan pada Imam Husein as. Semoga Allah mengganjar mereka dengan pahala yang sepadan dengan rahmat-Nya. Amin. Ada juga orang-orang seperti saya yang harus menunaikan kewajiban dan menampakkan rasa hormat pada peristiwa agung ini dengan cara lain.
Apa yang dapat saya lakukan ialah menganalisa lebih dalam peristiwa tersebut agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Walaupun kejadian-kejadian monumental tidak pernah akan berulang secara serupa, namun sebagaimana didukung oleh data-data Sosiologi, ada banyak titik kesamaan antara satu kejadian dengan kejadian lainnya. Juga, masyarakat-masyarakat lain dapat –secara langsung ataupun tidak- memanfaatkan peristiwa-peristiwa yeng terjadi di masa lampau. Hal ini pun diisyaratkan Al-Quran setelah menceritakan kisah para nabi dan bangsa-bangsa terdahulu. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka terdapat pelajaran bagi mereka yang berakal” . Al-Quran mengajak untuk merenungkan kisah-kisah itu dan mempelajari titik positif bangsa-bangsa, lalu kita terapkan dan kuatkan dalam diri kita. Sementara titik lemah mereka, jangan sampai kita mengulanginya.
Signifikansi peristiwa Asyura menuntut agar segenap aspeknya dianalisa secara intensif. Kejadian tersebut, walau masih segar di ingatan dan berpengaruh setelah seribu empat ratus tahun sejak kejadiannya, namun masih saja tersisa sejumlah tanda tanya di benak masyarakat, terlebih generasi muda yang tak berkesempatan untuk memperdalam telaah tentang sejarah. Tentu, secara global mereka pernah mendengar tentang pokok cerita di majlis-majlis taklim, namun pikiran dan rasa ingin tahu para pemuda kita begitu kritis dan cekat mengajukan pertanyaan. Hasrat besar mendorong mereka untuk menganalisa lebih dalam peristiwa tersebut. Dan memang, diskusi-diskusi yang demikian ini tidak kalah pentingnya daripada mengadakan acara duka, mengekspresikan rasa hormat dan sedih.
Rasionalitas dan Emosionalitas Acara Asyura
Sesungguhnya acara-acara duka dapat menghidupkan, memuaskan dan mengembangkan sisi emosionalitas dan perasaan seseorang. Tentunya, ada sisi mendasar lain dari wujud manusia yang juga harus dikuatkan dengan melakukan telaah seputar peristiwa Asyura, yaitu sisi rasionalitas dan kesadaran. Jika detil kejadian Asyura dipahami secara lebih baik, di samping pengaruh emosional, ia dapat dijadikan model dalam rangka membentuk sebuah kehidupan yang lebih baik. Jika manusia memanfaatkan sejarah masa lalunya dengan benar, itu akan berperan besar dalam penyempurnaan individu dan masyarakat. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Revolusi Islam Iran adalah buah hasil dari upaya mengoptimalkan kejadian-kejadian serupa di masa lalu.
Seperti yang Anda ketahui, sepanjang abad terakhir ini terjadi banyak gerakan di Iran dan Dunia Islam secara umum. Seperti gerakan nasionalisasi industri minyak, gerakan Masyrutiyyat (Konstitusionalisme) dan gerakan-gerakan serupa di Iran. Di Mesir, Aljazair dan negara Islam lainnya juga terjadi berbagai gerakan keIslaman dengan pola yang beragam. Namun, berbeda dengan Revolusi Islam Iran, kemenangan tidak dicapai oleh satupun dari gerakan-gerakan terebut. Gerakan-gerakan itu tidak dapat mendirikan sistem Islami yang dapat bertahan lama. Alhamdulillah, sistem pemerintahan Islam di Iran telah bertahan selama lebih dari dua dekade ini dan akan semakin kokoh hari demi hari.
Tidak salah jika kita katakan bahwa rahasia sukses semacam ini terletak pada upaya Imam Khomeini memanfaatkan gerakan-gerakan sebelumnya. Beliau telah belajar dari pengalaman orang lain, menemukan dan menganalisa kelemahan mereka untuk lalu mewaspadainya. Beliau juga mendapatkan titik kekuatan mereka lalu mengembangkannya di tengah masyarakat. Memanfaatkan sejarah telah menghasilkan kita kemenangan semacam ini. Kalaulah demikian caranya kita memanfaatkan seluruh peristiwa sejarah, perlahan-lahan masyarakat kita menjadi siap menyongsong gerakan global lainnya, dipimpin oleh wujud suci yang mulia, Imam Zaman aj.
Kita semua mendengar bahwa lebih dari seribu empat ratus tahun silam terjadi sebuah peristiwa di semenanjung Arabia yang diikuti oleh serentetan kejadian lain. Dan sebagai orang syiah, kita meyakini bahwa suatu hari akan terjadi sebuah gerakan mendunia yang dipimpin oleh Imam Zaman aj. Apakah Anda mengira bahwa bahwa itu semua adalah akibat yang tanpa sebab dan terjadi secara kebetulan? Ataukah setiap gerakan di dalam sejarah terjadi sebagai keniscayaan dari serumpun sebab, kondisi, kendala dan latar belakang yang, jika dikenali dengan baik, manusia dapat menggunakannya dalam mengantisipasi kejadian-kejadian mendatang.
Saat masyarakat menyeleweng sepeninggal Rasul saww, dan gerakan Islam mulai menyimpang dari jalur yang sepatutnya, sementara ajarannya tidak lagi ditaati sebagaimana mestinya, apakah kenyataan itu terjadi tanpa sebab? Kita harus mengkaji bagaimana penyelewengan itu terjadi, faktor apa saja yang bermain dalamnya, sehingga kita dapat menghindarkan Revolusi ini dari faktor-faktor itu.
Kita mendengar bahwa saat Amirul-mukminin Ali as. menjabat khilafah secara formal (baca; dibaiat oleh mayoritas mutlak masyarakat), beliau menghadapi banyak masalah. Sehingga, dalam kurun waktu lima tahun beliau menjalani tiga peperangan besar. Jika peperangan itu tidak terjadi, tentu beliau dapat berbuat banyak memberikan kontribusi besar untuk kemajuan dan kesempurnaan masyarakat Islam. Sayangnya, peperangan itu malah mencegah umat Islam memanfaatkan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as. seoptimal mungkin. Jelas, hal itu tidak terjadi begitu saja, tanpa sebab, tanpa alasan. Kita harus menelaah faktor-faktor yang menyebabkan masyarakat Islam tidak dapat mengoptimalkan pemanfaatan mereka atas kepemimpinan Imam Ali as.
Demikian pengalaman sejarah itu berlanjut hingga masa Imam Husein as. Mengapa hanya penduduk Kufah di antara kota lainnya yang mengundang Imam Husein as.? Pada zaman itu, ada ratusan kota yang bertebaran di negeri-negeri Islam. Sejarah menyebutkan bahwa lebih dari dua belas ribu surat datang membanjiri beliau. Ini baru dari kota Kufah. Lewat surat-surat itu, penduduk di sana menyatakan kepada Imam Husein bahwa “Kami menyambut kepemimpinanmu, datangkan ke Kufah dan lanjutkan pemerintahan Ali bin Abi Thalib di kota ini”. Bagaimana demikian itu bisa terjadi? Mengirimkan dua belas ribu surat secara terpisah atau bahkan surat-surat gulungan yang penuh dengan ribuan tanda tangan kepada Imam husein bukanlah hal yang sepele.
Belum lagi Madinah. Kota yang menyaksikan kelahiran Imam Husein, kelahiran Islam dan pemerintahan Islam. Rasulullah saw, Imam Ali as, Imam Hasan as, juga Imam Husein telah hidup di sana bertahun-tahun. Nyatanya, warga Madinah tidak hanya acuh mengundang beliau, tapi malah menciptakan kondisi yang mendesaknya supaya keluar dari kota Nabi itu secara diam-diam menuju Mekkah.
Betul, Imam Husein pun menerima undangan dari kota-kota lain. Tetapi, kebanyakan mereka urung dan menarik kembali undangan serta sambutan yang telah dilayangkannya kepada beliau. Sampai pada hari Asyura, beliau mengingatkan mereka yang pada hari itu telah berdiri sejajar dengan barisan laskar Umar bin Sa’ad. Kepada mereka Imam Husein mengatakan: “Kalian telah meminta bantuan dariku, kalian telah menyambutku untuk memerintah dan melindungi kalian dari penyelewengan dan kedzaliman Bani Umayyah. Ketika itu, aku pun telah menyatakan siap. Dengan jerih payah aku datang untuk mempertahankan kalian. Dan sekarang aku sampai di sini, di hadapan kalian, apakah pedang-pedang itu kalian hunus ke atas kepalaku? Bukankah aku sendiri yang memberikan pedang-pedang itu kepada kalian untuk menghancurkan musuh-musuh Islam? Bagaimana hari ini pedang-pedang itu diangkat untuk membunuhku? Apa gerangan semua ini? Ataukah hanya sebuah kebetulan?
Kini, hari ini, kita lihat bagaimana warga Kufah itu telah menjadi simbol pengkhianatan. Sebab, mereka sebegitu enteng mengkhianati Imam Ali dan Imam Hasan, dua pemimpin yang mereka tinggalkan sendirian dan terlantar. Pernahkah terbayangkan dalam pikiran Anda bahwa orang-orang Kufah dan Madinah tidak memperlakukan pemimpin sekejam itu? Apakah Anda mengira kota-kota lain itu lebih setia?
Kenyataannya, warga Kufah yang sebegitu besar menunjukkan keberanian dan tekad mereka dalam mengundang Imam Husein as, bahkan orang orang seperti; Habib bin Madzahir, Muslim bin Usjah dan selainnya, semua datang dan hadir di Karbala untuk membela beliau. Pertanyaan besar di sini adalah, bagaimana mereka yang telah mengundang beliau bisa urung dan, bukan hanya tidak menarik diri dari garis pertempuran, malah turun membantai beliau?
Coba lepaskan pikiran Anda untuk memutuskan! Belum lagi genap empat puluh tahun kaum muslimin ditinggal wafat Rasulullah saw, mereka berlindung di bawah pemerintahan Imam Ali, menjadi pasukannya dalam banyak peperangan, mereka itu pula yang membunuh anak-nya Ali, pemimpin mereka sendiri yang berdaulat, dengan cara segetir yang pernah dicatat sejarah. Peristiwa gila macam apa ini? Apa memang sekedar kebetulan? Apakah cukup kita katakan bahwa telah terjadi sebuah kebiadaban oleh masyarakat pengkhianat Kufah? Benarkah tidak ada lagi masyarakat pengkhianat di zaman kita ini? Apakah setelah itu tidak akan lagi terjadi persekongkolan terhadap kebenaran? Adalah sangat layak untuk kita kupas serat-serat peristiwa Asyura, satu persatu. Kita harus temukan faktor-faktor yang memprakarsai semua itu; hal-hal apa saja yang membuat mereka, yang mengenyam keadilan Imam Ali as dan menghaturkan surat-surat undangan kepada Imam Husein as, melakukan kebusukan sejijik itu?
Di antara warga Kufah, ada sekelompok kecil orang-orang munafik, kafir dan orang-orang yang lemah iman yang tidak mengakui Ahlulbayt as. Di sini, kita tidak sedang memperbincangkan mereka. Tetapi, ada arus besar dari kota itu yang mengalirkan surat-surat jaminan pembelaan dan ikrar setia kepada Imam Husein, meminta beliau supaya datang dan mendirikan pemerintahan di sana. Kita bisa perhatikan satu surat yang ditandatangani oleh banyak orang Kufah. Surat itu dibuka dengan ungkapan puji syukur kepada Allah atas kematian Muawiyah dan dibubuhkan di dalamnya: “Kami memohon kedatanganmu ke Kufah, Semoga Allah mengokohkan kami denganmu di atas kebenaran”. Tampak bagaimana mereka mengharapkan kehadiran Imam Husein di Kufah dapat mengenalkan kebenaran, sehingga mereka mengamalkan dan bersatu memperjuangkannya. Apakah orang-orang yang menulis surat-surat semacam ini memang seharusnya menghunuskan pedang kepada beliau? Apakah sebab-sebab perubahan ini? Dan bagaimana perubahan ini sampai terjadi pada seseorang?
Jika kita menelaah peristiwa ini dan mengenali faktor-faktor kemunculannya, kita dapat pula mempelajari sebagian rangkaian perubahan pascarevolusi kita sekarang ini dan memahami kenapa kejadian-kejadian semacam itu muncul? Mengapa sebagian orang itu menyimpang? Ada yang bisa kita manfaatkan dari peristiwa Asyura ini. Ia akan mengajari kita banyak pelajaran dan ibrah. Kalaulah kita mau mendengarnya, betapa banyak kejadian sekarang ini bisa kita hindari. Pada hari inipun kita masih bisa, setidaknya, melindungi diri dari penyelewengan dengan melakukan telaah demikian ini.
Siapakah Pembunuh Imam Husein?
Berikut ini, saya ingin mendiskusikan satu kasus krusial sehubungan dengan sekelompok manusia. Mereka adalah muslimin yang taat, mendirikan solat, menunaikan zakat, berjihad bersama Rasul di perbagai peperangan dan kembali dengan menanggung cedera bahkan cacat. Persoalannya adalah, mereka yang punya prestasi gemilang itu bagaimana bisa memperlakukan Imam Husein as. sedemikian rupa? Sementara setelah seribu tahun lamanya musuh-musuh Islam dan bangsa-bangsa asing menyimak sifat-sifat agung beliau sampai menjadi pecintanya, bagaimana mereka itu bisa membunuh cucu Rasul dengan mengatasnamakan Islam dan khilafah? Padahal, tidak berapa lama sebelumnya mereka sendiri yang telah meminta Imam Husein supaya memerintah mereka. Sekali lagi, apa yang mendesak mereka demikian? Bagaimana perubahan drastis itu terjadi pada seseorang?
Sesungguhnya Akar perubahan sikap yang menguasai manusia bisa dirunut sampai ke sejumlah faktor yang berpengaruh dalam pembentukkan tindakan-tindakan sengajanya. Di sini, ada dua kategori mendasar yang menyederhanakan faktor-faktor tersebut:
Pertama, faktor pengetahuan dan alasan rasional. Bahwa untuk melakukan setiap tindakan, terlebih tindakan yang berkaitan dengan urusan-urusan sosial-politik yang kompleks, seseorang pada tahapan sebelumnya mesti telah memikirkannya dan menyadari dasar-dasar, alasan-alasan serta tujuan-tujuannya. Tentunya, setiap orang akan memperhitungkan urusan hidupnya sesuai dengan kadar kemampuan nalar dan kekuatan pikirnya masing-masing. Mereka yang memiliki kekuatan nalar yang memadai dan ketelitian pikiran yang tajam sebegitu rupa memeriksa dan mempertimbangkan persoalan-persoalan yang dihadapi sampai ke akar-akarnya yang paling buntut. Adapula sebagian orang yang berfikir dangkal, mudah terpuaskan dengan batang kasar fenomena dan bentuk kasat persoalan. Walhasil, mereka ini pun mempersiapkan alasan-alasannya untuk melakukan tindakan apapun.
Maka itu, manusia hanya akan menghendaki untuk melakukan suatu tindakan setelah mempertimbangannya dan menemukan alasan-alasan yang memuaskan dirinya, apalagi kalau tindakan itu membawa resiko serius. Apakah mereka yang terjun dalam pertempuran suci begitu saja bergabung dalam barisan laskar, tanpa ada alasan sama sekali? Tentu ada alasan-alasan tertentu yang mendasari keterlibatan mereka. Mereka yang sebegitu besar semangatnya bersandarkan pada kedasaran dan pandangan yang khas sehingga maju ke front-front terdepan, sebagaimana yang mereka tunjukkan dalam surat-surat wasiat ataupun pernyataan-pernyataan mereka. Begitu pula musuh-musuh yang siap menghancurkan mereka. Semua melengkapi diri dengan alasan dan pendiriannya masing-masing.
Faktor-faktor pemikiran ini sedemikian rupa menghasilkan sebuah keputusan bahwa tindakan tertentu itu adalah baik, bernilai dan layak diusahakan sesuai dengan kemampuan diri, materi dan waktu. Dan pada dasarnya, segala pemikiran memiliki dasar-dasar yang membentuk sebuah rangkaian kepercayaan universal tentang manusia, dunia, alam semesta dan kematian. Apakah ada alam setelah kematian? Jika demikian adanya, lalu apakah hubungan antara dunia ini dalam alam itu? Adalah dua misal dari persoalan-persoalan yang lebih mengawali kerja pemikiran seseorang, sehingga ia dapat menggunakannya dalam memastikan keputusan dan pendiriannya.
Kedua, faktor perasaan dan alasan emosional. Faktor atau emosionalitas ini amat berpengaruh dalam pengambilan keputusan dan tindakan. Sampai-sampai, seseorang yang terkadang menurut pikiran dan pertimbangan rasionalnya menilai sebuah tindakan sebagai penyelewengan dan menolak untuk melakukannya, pada saat yang sama ia menyembunyikan kecondongan hasrat dan keinginannya untuk melakukan tindakan tersebut. Contoh gamblangnya ialah apa yang diperlihatkan oleh perokok. Ia tahu bahwa rokok itu tidaklah baik, berpengaruh negatif terhadap kesehatannya. Meski begitu, ia menikmati rokok dan caranya merokok. Demikian ini tidak ada kaitannya dengan faktor-faktor pengetahuan dan rasionalitas, tetapi lebih didasari oleh kecondongan, selera, dan hasrat yang menggelinjang dalam diri seorang perokok.
Boleh jadi kita sebut bahwa faktor pertama itu terkait dengan rasio dan faktor kedua dengan cinta. Sebagai istilah, boleh-boleh saja kita sebut demikian. Namun, akan menjadi lebih tepat bila kita katakan bahwa yang pertama itu berhubungan dengan pengetahuan dan kesadaran, sementara yang kedua dengan kesukaan, kecondongan dan motif subjektif. Walhasil, kedua macam faktor ini begitu aktif berkecimpung dalam aktualisasi benar atau salahnya tindakan seseorang.
Ada orang-orang yang masih aktif mempertahankan status quo, yang tentunya mereka membawa dasar-dasar pemikiran dan kepercayaan yang khas. Maka itu, jika cara pikir dan pandang kita dibangun di atas dasar dan argumentasi yang kuat, ia akan menghasilkan sebuah kepastian yang membawa kita pada kesuksesan. Namun sebaliknya, jika ada penyimpangan dalam kepercayaannya, mengkonstruksinya dangan premis-premis pemikiran yang rapuh, ia lebih mirip dengan sebuah bangunan yang didirikan di atas batu-batu kapur, mudah ambruk, sulit diharapkan kegunaannya. Sebab, jika premis-premis dan bahan-bahan dasar pemikiran itu keliru, niscaya segenap keputusan dan kepercayaan yang dihasilkannya juga keliru.
Keadaan serupa pun akan kita dapati sekaitan dengan emosi dan kecondongan. Bahwa emosi atau kecondongan manusia memiliki arah tertentu. Maka itu, ia bisa tersalurkan ke arah yang benar, atau juga ke arah yang menyimpang. Umpamanya, manusia itu punya kecondongan makan. Tapi, apakah setiap makanan berguna untuk manusia? Bisa saja kecondongan ini diarahkan sedemikian rupa sehingga dapat menguntungkan pertumbuhan dan kesehatannya. Yakni, manusia dalam desakan nafsu alamiah makannya dapat mengkonsumsi makanan ‘yang berguna bagi kehidupan tubuhnya’.
Begitu pula, bisa saja karena kebiasaan-kebiasaan buruk seseorang yang diperoleh akibat pengaruh-pengaruh media massa, lingkungan keluarga atau masyarakat, ia mengarahkan cara makannya kepada gaya tertentu. Misalnya, ia lebih memilih daging-daging hewan yang diharamkan yang belum tentu menyehatkan daripada daging domba. Jadi, kecondongan makan itu ada pada semua manusia, hanya cara mengarahkannya saja yang lebih bergantung pada kehendak dan pilihan manusia.
Oleh karena itu, mungkin saja terjadi penyimpangan dalam pemikiran manusia yang tentunya hanya menghasilkan keputusan dan kesimpulan yang keliru. Begitu juga, boleh jadi emosionalitas dan kecondongannya tidak lagi terkendalikan sehingga menjerumuskannya ke dalam keadaan yang serbasulit. Dua macam faktor ini dapat kita periksa dan analisa sepanjang perilaku individu dan atau pergaulan sosial. Siapapun dari kita yang memperhatikan perilaku dirinya, tentu akan menyadari bahwa itu adalah sebuah hasil dari serangkaian pemikiran dan pertimbangan serta dari segelombang emosi dan kecondongan. Yang demikian ini juga bisa kita lihat pada persoalan-persoalan sosial.
Tatkala cahaya Islam terbit di ufuk Arabia dan rasul akhir zaman diturunkan, umat manusia di sana mengambil dua sikap yang berbeda terhadapnya. Pada masa itu, terdapat banyak faktor yang menyelimuti mereka, baik pada tataran rasional maupun pada tataran emosional. Di antaranya, menguatnya pemikiran dan motif tertentu yang bekerja sama dalam melahirkan sebuah kelompok dalam tubuh umat Islam yang dikenal sebagai kaum munafik. Semoga dalam kesempatan lain saya bisa melacak latar belakang, embrio kemunculan dan pengaruh-pengaruh kaum munafik terhadap riwayat Islam dan umatnya.
Taklid Yang Tidak Dibenarkan
Ala kulli hal, ada sekelompok orang yang pada dasar pemikirannya tidak percaya bahwa Muhammad itu benar-benar rasulullah (baca: utusan Allah). Mereka juga tidak punya motifasi, hasrat dan kecondongan untuk mengkaji dan berdialog serius ataupun meminta bukti dan mukjizat dari beliau sihingga mendapatkan klarifikasi yang cukup. Taraf pemikiran mereka dangkal, dibangun di atas basis-basis yang rapuh. Mereka tidak begitu tertarik mempelajari soal kenabian Muhammad saww.
Jangan heran kalau saya dan anda begitu kuatnya terdorong mencari bukti-bukti yang cukup untuk menjustifikasi kepercayaan-kepercayaan agama kita, sampai kita benar-benar yakin. Motifasi kita untuk hal itu tetap kuat meski kita dihadapkan pada berbagai ragam kritik dan usaha-usaha skeptis. Setiap orang punya hidup dan urusannya masing-masing. Mereka membela diri bahwa aku sudah cukup disibukkan, aku sudah tidak punya waktu lagi memikirkan persoalan-persoalan agama, biarkan saja kalangan tertentu yang memperbincangkan, lalu kita lihat apa yang akan terjadi selanjutnya?!
Jadi, pada masa itu, memang sudah ada orang-orang yang tidak mau repot-repot, tidak mau pusing atau dangkal berpikir, mereka begitu keberatan mempercayai kenabian Muhammad saww. Sampai-sampai, mereka pun mengingkari wujud Allah swt. Lebih dari itu, penyembahan berhala-berhala bagi mereka malah hanya sebuah tradisi, tidak lebih.
Saat ini, di negara kitapun ada sebagian adat istiadat yang masih terus dilakukan. Yakni, sekelompok orang yang berusaha mempertahankan adat istiadat ini tanpa ada landasan yang logis dan argumentatif. Sebagaimana telah diketahui, para pemeluk agama minoritas melakukan sejumlah adat istiadat yang mereka percayai. Sayangnya, ada usaha-usaha dari pihak-pihak tertentu yang berusaha untuk mengasdaptasikannya sebagai sebubah budaya masyarakat muslim. Sebagai contoh, adat Cohor-Syanbe Suriy (sebuah perayaan yang dilakukan setiap malam Cohor-Syanbe atau malam rabu pada minggu terakhir dari bulan Isfand. Dalam perayaan ini, mereka menyalakan api dan melompatinya sambil berkata “merahmu dariku dan kuningku darimu”. Perayaan ini telah berlangsung sekian lamanya, sampai pada zaman dinasti Sasaniyan dikenal dengan nama Suriy. –pent.). Adat ini hanya berlaku pada kaum Zoroaster. Lagi-lagi seribu satu sayang, pada tahun-tahun belakangan ini, acapkali adat perayaan ini diangkat sebagai sebuah perhelatan nasional.
Apa yang melatarbelakangi usaha sebagian orang untuk melakukan hal ini? Apa manfaatnya melompati api? Sekedar menyalakan api dan kemudian melompat di atasnya memang tidak bermasalah. Yang patut kita kritisi adalah, apakah perilaku yang semacam ini memberikan dampak tertentu dalam kehidupan masyarakat?
Jawaban yang paling dapat diberikan adalah bahwa nenek moyang kita telah melakukan hal ini, maka itu kita pun melakukannya. Ini dasar perilaku mereka. Sementara, kaitannya dengan benar tidaknya masalah ini, tentu tidak akan pernah ada usaha untuk menelitinya. Satu-satunya alasan yang mendasari semua ini hanyalah ikut-ikutan, taklid. Dan, masyarakat tentu senang dengan acara yang meriah dan disesaki oleh bvanyak orang, karena di situlah mereka merasakan adanya sebuah kesamaan.
Pada awal-awal kemunculan Islam, faktor-faktor seperti ini sudah ada. Banyak dari mereka yang memutuskan untuk memeluk Islam, namun keputusan itu tidak diambil berdasarkan pertimbangan dan kesadaran rasional. Jika pemimpin suatu kabilah masuk Islam, maka secara otomatis anggota kabilah pun membuntuti pilihannya. Jadi, kalaulah suatu hari ia kembali kafir, mereka pun akan mengikutinya, tanpa ada beban dan tanya. Faktor perilaku yang semacam ini adalah taklid yang salah kaprah, tidak logis, minus dukungan rasio.
Satu hal yang perlu diketahui, bahwa taklid itu tidak selamanya buruk, tidak selalunya keliru. Sekiranya taklid dibabat habis dari kehidupan manusia, tidak akan ada lagi semen perekat kehidupan manusia di bumi. Maka itu, taklid yang tidak dibenarkan ialah taklid buta, taklid tanpa dalil.
Dua Faktor Kejangkitan Fitnah Dalam Masyarakat
Akar dari semua penyimpangan individu dan sosial kembali kepada dua faktor yang paling dominan dalam perilaku manusia. Yaitu penyimpangan yang bermuara pada pemikiran dan kecondongan. Andaikan pemikiran setiap orang benar dan kecondongan-kecondongan batinnya pun tersalurkan secara proporsional, niscaya dunia ini jadi surga. Problem dan krisis sosial yang merebak sesungguhnya hanya berurusan dengan perilaku manusia, yang ujung-ujungnya bisa ditelusuri sampai pada basis-basis pemikirannya, yakni kebodohan manusia.
Sebagai contoh, sebuah masalah sosial yang belum dipahami seringkali dianggap jelas. Di sini saya ingin mengingatkan kita semua akan salah satu ucapan Imam Khumeini yang berulang kali beliau katakan, bahwa mereka sama sekali tidak peduli terhadap masalahnya. Adapun sekaitan dengan Sementara berkaitan dengan masalah pribadi, beliau mengatakan bahwa “ia benar-benar tidak memahami masalahnya” atau “dalam masalah ini ia salah”.
Boleh jadi seseorang telah memahami permasalahan dengan baik dan benar, namun ia tidak punya kecondongan dan gereget untuk berbuat sesuai dengan pemahamannya itu. Bukankah sering terjadi pada seseorang yang tahu bahwa perbuatan itu tidak baik, tidak didukung oleh argumentasi logis, malah sangat berbahaya bagi masyarakat. Beski begitu, ia tetap melakukannya hanya untuk memuaskan hawa nafsu dan tuntutan hasratnya. Maka, bisa dipastikan bahwa penyimpangan yang terjadi pada masa awal kelahiran Islam tidak keluar dari dua faktor di atas.
Seperti yang kita ketahui bahwa budaya yang berkembang pada zaman permulaan Islam adalah sastra. Di dalamnya kita temukan kata fitnah. Yaitu kata yang dipakai untuk mengungkapkan penyimpangan perilaku masyarakat dari jalan yang sebenarnya. Kata fitnah ini juga digunakan Allah swt dalam Al-Quran untuk hal yang sama.
Sekaitan dengan fitnah, Imam Ali as pernah merangkaikannya dalam sebuah ungkapan yang sangat indah. Beliau berkata, “Penyebab terjadinya sebuah fitnah ialah ketaatan pada hawa nafsu. Hukum-hukum bid’ah yang dibuat sedemikian rupa berbeda dengan kitab Allah. Pemimpin diangkat dari orang-orang yang tidak komit pada agama Allah. Seandainya kebatilan tidak bercampur dengan kebenaran, niscaya tidak ada rasa takut dalam jiwa pembela kebenaran. Dan, jika kebenaran terjaga bersih dari kebatilan, niscaya musuh-musuh tidak akan berkutik, mulut mereka terbungkam seribu bahasa. Akan tetapi, yang terjadi adalah pencampuradukan antara kebenaran dan kebatilan. Dalam kondisi demikian ini, kekuasaan setan semakin kuat mencengkram pengikutnya. Yang selamat hanya mereka yang diselimuti kebaikan dari Allah” .
Menurut Imam Ali as, fitnah sosial berawal dari dua faktor. Pertama, hawa nafsu dan kecondongan yang ada pada setiap jiwa manusia. Bila ini dapat dikontrol, niscaya manusia akan bergerak di atas arah yang benar. Ketika itu, tidak lagi terjadi ketaatan yang berlebihan pada kecondongan hawa nafsu. Pengendalian dan penguasaan hawa nafsu ini sanggup menahan terjadinya sebuah penyimpangan.
Faktor kedua, yaitu penafsiran-penafsiran dan pemikiran-pemikiran yang diajukan sebagai kado agama, padahal tidak ada hubungannya dengan agama itu sendiri, sama sekali. Penisbahan bid’ah-bid’ah kepada agama direkayasa sebegitu rupa agar masyarakat awam yang tidak mengerti permasalahan yang sebenarnya percaya bahwa penafsiran dan pemikiran semacam ini bersumber dari agama.
“Hukum-hukum bid’ah” yang diucapkan oleh Imam Ali mengisyaratkan hal terakhir ini. Sebagian manusia yang terjebak dalam masalah ini pada mulanya beranggapan bahwa masalahnya terkait dengan agama, oleh sebab itu mereka mengamalkannya. Tanpa disadari, perilaku semacam ini telah menyimpang jauh dari agama. Bila hal ini terjadi, secara otomatis Al-Quran akan dipinggirkan, diasingkan, sebagai akibat dari “berbeda dengan kitab Allah”.
Tatkala pandangan-pandangan baru yang berbeda dengan Al-Quran dijajakkan di tengah masyarakat, sudah barang tentu akan menyebabkan sebagaian orang meninggalkan kitab Allah itu. Pada gilirannya, masyarakat akan menyaksikan bahwa “pemimpin diangkat dari orang-orang yang tidak memiliki komitmen pada agama Allah”. Artinya, Hubungan kemasyarakatan yang terjalin tidak lagi mengacu pada tolok ukur keagamaan. Pada akhirnya, hubungan sosial akan mengambil bentuk yang berbeda dan bahkan bertabrakan dengan agama itu sendiri.
Imam Ali a.s melanjutkan, “Seandainya kebatilan tidak bercampur dengan kebenaran niscaya tidak ada rasa takut pada jiwa pembela kebenaran. Bila kebenaran terjaga bersih dari kebatilan, niscaya musuh-musuh tidak akan berkutik, mulut mereka terbungkam seribu bahasa”. Seandainya kebatilan terpisah dari kebenaran, dan orang tidak lagi kebingungan menentukan mana yang benar dan mana yang batil, niscaya tidak ada seorangpun yang mengikuti kebatilan. Masyarakat secara fitri adalah pengikut kebenaran. Masyarakat yang mentaati kebatilan lebih disebabkan oleh pandangan bahwa di antara setumpuk kebatilan yang ada pasti ada selapis kebenaran di dalamnya.
“Akan tetapi, yang terjadi adalah pencampuradukan antara kebenaran dan kebatilan”. Siapa saja yang ingin melakukan fitnah, pertama yang dilakukannya ialah mengemas kebenaran dan kebatilan dalam sebuah paket memikat lalu menjajakannya ke tengah masyarakat. Seumpama penjual bunga ingin merangkai hiasan bunga, ia akan mengambil beberapa tangkai bunga lalu merangkainya sedemikian rupa. Bila aroma semua tangkai bunga yang akan dirangkai itu tidak sedap, tak ada seorangpun yang akan datang untuk membeli hiasan bunganya. Tapi, bila ia merangkai sejumput bunga yang berbau wangi dengan sekuntum bunga yang beracun, sangat mungkin sekali ada orang yang tertipu. Ia membeli hiasan bunga itu karena mencium harumnya bunga, namun ia tidak tahu kalau hiasan telah teracuni lantaran satu kuntum bunga beracun. Akan tetapi, kalaulah bunga beracun ini disisipkan ke dalam serangkaian bunga yang berbau busuk, tidak akan ada seorangpun yang akan mendekat dan mencoba menghirup baunya.
“Pada kondisi demikian ini, kekuasaan setan semakin kuat mencengkram pengikutnya”. Hak dan batil telah bercampur aduk. Setan menemukan sasaran empuk, karena masyarakat dalam kebingungan. Mereka yang siap menjadi sasaran empuk setan adalah orang-orang yang tertipu, karena kebenaran telah bercampur dengan kebatilan. Mereka tidak mampu lagi memilih dan memilah mana yang benar, mana yang batil. Mereka asyik menghitung sisi-sisi positif dan butir-butir kebenaran, pada saat yang sama mereka lupa bahwa di sela-sela kebenaran telah ditaburkan racun kebatilan yang mematikan. Setan pada kondisi yang seperti ini menjadi pemburu yang hebat. Yang selamat hanya mereka yang diselimuti kebaikan dari Allah swt. Pada kondisi yang demikian sulit ini, siapakah yang dapat selamat? Hanya orang-orang yang, sesuai dengan Takdir dan Kemahabijaksanaan Allah, berusaha menemukan dan menggenggam kebenaran.
Fitnah di Balik Kerancuan Kata dan Konsep
Saya ingin tegaskan sekali lagi bahwa pertama yang akan dipersiapkan seseorang yang hendak menebar fitnah yaitu upaya mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan. Dengan demikian, ia telah menggiring masyarakat sampai masuk ke dasar jurang kebatilan. Biasanya, orang seperti ini mengumandangkan slogan-slogan indah dan memikat sekaligus menipu, karena menyelundupkan unsur-unsur kebatilan. Slogan-slogan itu digubah melalui kata-kata yang ambigu, punya banyak arti, sehingga tidak jelas dan buram. Karena pada dasarnya, memang ada kata-kata yang tidak jelas karena mempunyai banyak arti, disamping ada pula kata yang berarti jelas dan tegas. Kalaulah yang belakangan ini digunakan dalam slogan, tentu masyarakat tidak akan tertipu.
Orang-orang yang punya niat kotor, bermaksud aktif membohongi masyarakat, tidak pernah menyampaikan ide-idenya secara gamblang, tegas dan lugas. Dalam setiap kesempatan; pidato, tulisan, buku, seminar dan slogan, selalu saja menggunakan kata-kata dan istilah-istilah yang ambigu, diplomatis, ekuivokal. Sebagaimana kata dan istilah tersebut dapat dipakai sesuai arti harfiahnya, juga dapat dipergunakan untuk arti metaforis atau arti-arti lain yang amat berpotensi menipu.
Memang kita tidak hidup di zaman Imam Ali as. sehingga tidak dapat menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana usaha sebagian orang mengelabui masyarakat dengan cara seperti ini. Namun pada zaman ini, kita dihadapkan pada satu geliat yang dapat memberikan gambaran secara telanjang bagaimana cara kerja mereka. Yakni kata kebebasan.
Kebebasan adalah kata yang sungguh indah. Kata yang membuat dada siapa saja yang mendengarnya berdebar-bedar, menggelora. Kebebasan tidak pernah dibenci oleh siapa pun di dunia ini. Bayangkan sebuah burung yang terkurung dalam kisi-kisi sangkarnya. Setiap hari ia berusaha bagaimana caranya dapat keluar bebas. Betapa indah dan harunya bila seseorang datang mendekat lalu membuka tutupnya. Namun ketika ada usaha untuk mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan, tidak pernah disentuh masalah seperti ini. Masalah tentang arti kebebasan.
Apa yang diinginkan dari kebebasan itu sendiri? bebas begitu saja? bebas dari Tuhan? bebas dari akal? bebas dari agama? bebas dari nilai-nilai kemanusiaan? Ataukah bebas dari kebodohan? Bebas dari kezaliman? Bebas dari perbudakan? Bebas dari pengaruh setan? Mana yang diinginkan? Tidak pernah hal seperti dijelaskan secara tegas. Bila sejak awal disebutkan bahwa yang diinginkan dari kata kebebasan adalah bebas dari pengaruh setan, niscaya tidak akan pernah ada yang menolak. Memangnya bebas dari adat istiadat yang menyimpang dan narkoba adalah sesuatu yang buruk? Akankah kalian menerima orang lain menguasai negara kita? Akankah kita biarkan intervensi asing terhadap urusan dalam negeri? Tidakkah kita menghendaki kebebasan pengaruh asing? Hal-hal ini jelas berbeda jauh dengan keinginan bebas dari keterikatan pada kehendak Tuhan. Apakah kalian menginginkan bebas dari Tuhan dan tidak ingin menjadi hamba-Nya? Apakah kalian juga ingin bebas dari nilai-nilai kemanusiaan? Bagaimana mungkin kita Bebas dari rasio dan akal? Seandainya kebatilan tidak bercampur dengan kebenaran, yakni seandainya kita mampu untuk memilih dan memilah baik dan buruk, tentunya tidak akan ada lagi keraguan dan kerancuan.
Imam Ali a.s pada kesempatan yang lain mengatakan, “Sesuatu disebut syubhah karena ia menyerupai kebenaran” . Jubah kebenaran dikenakan pada tubuh kebatilan agar tampil serupa dengan kebenaran, dan inilah penyebab penyimpangan. Seandainya kebatilan tidak memiliki keserupaan dengan kebenaran, tampak jelas mana yang baik dan mana yang batil, tentu tidak akan pernah terjadi fitnah. Terjadinya fitnah adalah akibat bercampurnya kebenaran dalam kebatilan. Oleh karenanya, bila ada orang yang bertekad melakukan reformasi, dan tidak menghendaki fitnah juga tidak ingin kata reformasi dipakai untuk hal yang lain, tentunya ia harus berusaha menyampaikannya dengan jelas dan definitif. Bila kata-katanya benar, ia harus memilah-milah antara kebenaran dan kebatilan.
Sebagai seorang reformis, ia harus mengungkapkan hal ini sejelas-jelasnya. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Bila ditanyakan apa yang anda maksud dengan kata reformasi, jawabannya adalah “terserah masyarakat, mereka yang akan memberi makna”. Bagaimana mungkin anda membawa bendera reformasi dan mengatasnamakan diri sebagai reformis tapi tidak tahu apa arti dan konsepnya? Mereka akan membela diri bahwa “Saat ini kami mengkampanyekannya, toh pada akhirnya masyarakatlah yang akan menangkap arti yang sebenarnya?!” Bila tidak ada maksud di balik semua ini, katakan saja apa arti kebalikan dari kata reformasi. Katakan kebobrokan apa saja yang kalian lihat dan hendak diperbaiki! Apakah undang-undang dasar? Pada bagian mana dari undang-undang dasar yang harus diubah dan diperbaiki? Yang pasti mereka lebih tahu apa yang diinginkan dari kata reformasi. Hanya saja untuk membohongi saya dan anda, beginilah caranya.
Permasalahan yang paling mendasar adalah bahwa dalam undang-undang dasar Iran tercantum bahwa setiap undang-undang yang dirancang di Iran harus berdasarkan hukum Islam. Pada konferensi Berlin, mereka katakan bahwa problem mendasar dalam UUD kita ada pada poin ini. Yang mereka inginkan dari reformasi adalah menghapus Islam dan wilayatul-faqih dari butir-butirnya. Reformasi yang mereka teriakan tidak lebih dari ini. Seandainya ada maksud lain dari kata reformasi, tentu akan dijelaskan secara gamblang.
Pemimpin tertinggi Revolusi Islam Iran dengan gamblang menegaskan arti reformasi. Beliau mengatakan secara jelas beberapa hal yang perlu diperbaiki. Kemiskinan, korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi isu nasional. Apakah ada orang yang menyangkal pemberantasan kebusukan ini? Berikan penjelasan apa adanya dan tegas. Apakah ada yang tertipu dengan retorika ini? Apa yang telah disebutkan empat kebusukan itu merupakan tuntutan suci para Nabi dan segenap umat manusia. Semua ingin memerangi keempat masalah ini. Namun apakah semua berbicara seperti ini? Reformasi seperti inikah yang mereka inginkan? Mengapa sekelompok orang tidak mau menjelaskan apa maksudnya? Tidak lain karena ingin mencampuradukkan antara kebenaran dan kebatilan. Bila kondisi telah keruh dengan mudah ia memancing apa saja yang diinginkannya.
Mereka yang benar-benar concern terhadap agama dan masyarakat, seyogyanya menyatakan segala hal yang benar dan jelas. Hak dan batil harus dibedakan, sehingga masyarakat dengan mudah memilih mana yang benar. Ketahuilah, siapa saja yang berusaha menyampaikan pernyataan yang sedemikian rupa sehingga hak dan batil sulit untuk dipilah, pasti ia menyimpan maksud dan itikad yang tidak baik. Sebaliknya, pemilahan antara hak dan batil dapat ditemukan pada pernyataan siapa saja yang mengungkapkannya secara jelas. Orang seperti inilah yang benar-benar jujur, tulus dan beritikad baik dengan ucapannya.
Maka, salah satu faktor penyimpangan yang terjadi di masyarakat adalah para penyebar fitnah tidak pernah membiarkan masyarakat dapat dengan mudah memilih dan memilah kebenaran dari kebatilan. Ungkapan yang dipergunakan senantiasa memiliki dua makna, samar, abu-abu, antara benar dan salah. Tidak pernah ada kejelasan yang pasti; mana yang mereka inginkan. Pada akhirnya, masyarakatlah yang menjadi korban retorika. Mereka selalu kebingungan. Justru pada saat-saat seperti inilah mereka menanti kesempatan kapan dapat mencapai kepentingan dan tujuan retorika mereka. Adalah kewajiban setiap orang untuk menjelaskan mana yang benar dan yang batil.
Masyarakat Umum dan Fitnah
Kebanyakan orang tidak memahami akidah mereka secara mendalam. Mereka tidak berusaha menggunakan nalar dan rasio dalam memahami sebuah persoalan, meski ia berhubungan dengan akidah mereka yang paling mendasar. Begitu mereka mendengar suatu hal, mereka langsung menerimanya tanpa mencari dasar argumentasinya. Kebanyakan kaum muslim di jaman ini memiliki karakter semacam ini. Mereka terima setiap persoalan akidah agama yang diterangkan dengan dalil-dalil sederhana tanpa mereka renungi sebelumnya. Tingkatan akidah mereka sangat sederhana. Namun, dampak buruk faktor ini akan muncul ketika para pembangkit fitnah berupaya menyelewengkan akidah mereka dan tidak sekedar puas dengan keawaman mereka.
Pada dasarnya, salah satu rahasia kemaksuman pengganti Rasul saww adalah mencegah penyimpangan masyarakat. Meskipun begitu, semenjak wafatnya Rasul, pola hidup muslimin telah berubah. Seperti yang kita ketahui, Imam Ali as dalam kurun waktu dua puluh lima tahun kekuasaan tiga khalifah dan lima tahun pemerintahannya, telah berusaha keras mencegah penyimpangan kepercayaan dan akidah muslimin. Namun, upaya segelintir orang tidak akan berarti di hadapan sekian banyak orang yang memegang kendali kekuasaan politik dan kekuatan militer jaman itu. Dalam masa kekhalifahannya pun, Imam Ali as berulang kali memperlihatkan kekecewaan besarnya atas kebodohan dan kelalaian muslimin.
Ala kulli hal, Imam Ali as. tidak punya kesempatan yang cukup untuk membina dan membimbing rakyat. Dalam jangka lima tahun pemerintahannya, umur beliau banyak disita oleh berbagai peperangan. Perang Shiffin yang memakan korban seratus ribu orang berlangsung cukup lama. Begitu pula peperangan lainnya yang tidak meluangkan kesempatan kepada beliau guna membenahi pemikiran rakyat. Dalam kesempatannya yang singkat itu, beliau menyempatkan diri dan naik mimbar untuk menerangkan kebenaran dan mencegah mereka dari penyimpangan.
Bila kita mengkaji khutbah-khutbah Imam Ali as. dalam Nahjul Balaghah, kita akan dapatkan sitiran-sitiran beliau tentang orang-orang yang menyesatkan rakyat. Siapapun yang membaca khutbah-khutbah ini akan merasa heran terhadap kondisi yang memprihatinkan yang meliputi dunia Islam jaman itu, hingga Imam Ali as. mengeluarkan pernyataan-pernyataan ini. Sebelum ini, saya pernah singgung sebuah ucapan beliau “ Syubhah dinamakan demikian karena ia menyerupai (tusybihu) kebenaran. Dalam kondisi seperti ini, keyakinan adalah cahaya para wali Allah dan petunjuk-Nya adalah pembimbing mereka. Sedangkan seruan para musuh Allah adalah kesesatan dan penunjuk mereka adalah kebutaan (hati)”. Sekiranya pada zaman itu tidak ada fakta konkret untuk hal tersebut, tidak mungkin Imam akan berkata demikian.
Dari khutbah beliau ini, bisa dipahami bahwa pada masa itu banyak masalah yang menimbulkan syubhah (kerancuan pikiran) di kalangan masyarakat. Oleh karena itu, Imam mengatakan bahwa syubhah itu di sebut syubhah karena dzahirnya menyerupai kebenaran, tapi hakikatnya adalah kebatilan. Tatkala kebenaran bercampur dengan kebatilan dan syubhah-syubhah merajalela, hanya para wali Allah-lah yang mampu bertahan, keyakinan mereka tidak goyah dan selamat dari kesesatan. Beliau tidak menyebut “ orang-orang mukmin “, tapi “ wali-wali Allah “. Artinya, tidak semua orang mukmin memiliki keistimewaan ini, tapi hanya wali Allah yang selamat dari kemelut itu. Di dalamnya, mereka seakan-akan menemukan tanda-tanda khusus yang menuntun mereka menuju hidayah. Dengan cahaya yang mereka miliki, para wali Allah itu dapat melihat tanda-tanda ini dan menempuh jalan kebenaran.
Dalam kondisi ini, para musuh Allah menyeru pada kesesatan. Pembimbing mereka adalah kebutaan. Apa yang bisa diharapkan dari orang buta untuk menunjukkan jalan? Sedemikian gelap hati-hati mereka hingga mereka pun tidak mempunyai pembimbing. Yang dapat mereka lakukan ialah mengajak masyarakat menuju kesesatan. Maka itu, hanya wali Allah-lah yang selamat dari kesesatan, sementata yang lain tertinggal dalam kegelapan dan kebutaan.
Dalam khutbah lain, Imam Ali as berkata,” Ada orang yang disebut alim, padahal ia jahil” . Beliau tidak katakan ini kecuali karena ada objek konkretnya di jaman itu. Beliau berkata, aku lihat sebagian orang yang menamakan diri mereka sebagai manusia alim, padahal mereka sendiri itu bodoh, tidak tahu apa-apa, sama sekali. Mereka hanya menjumput pemikiran-pemikiran batil orang lain lalu menyebutnya sebagai ilmu, wawasan dan pencerahan!
Penafsiran Subjektif atas Al-Quran
Lebih lanjut, beliau mengatakan “(dan) ia tafsirkan Al-Quran dengan pendapat pribadinya“. Orang yang tidak memiliki ilmu akan memaksakan ide, teori dan buah pikirnya ke atas Al-Quran; ide-ide batil yang ia pungut dari orang lain. “(dan) ia arahkan kebenaran menurut hawa nafsunya“. Ketika orang semacam ini ditanya tentang kebenaran, ia akan jawab sesuai selera dan hasratnya. Kata beliau lagi, “Ia berbentuk manusia, tapi berhati binatang yang tidak tahu kebenaran. Ia tidak tahu petunjuk Ilahi untuk ia ikuti dan tidak kenal kesesatan untuk ia hindari”. Di mata orang ini, kebenaran dan kebatilan bercampur lumpur, hingga ia tidak bisa lagi membedakannya. Modalnya hanya sejumput syubhah yang ia namakan sebagai ilmu.
Imam Ali as mengatakan hal ini di masa-masa pemerintahannya dan menegaskan keberadaan orang-orang semacam ini di tengah masyarakat. Beliau menyebut mereka sebagai “kumpulan mayat di tengah manusia hidup“. Pada masa itu pula, beliau mengeluhkan keberadaan mereka, karena akan menyebabkan orang-orang awam yang tidak kritis terpedaya oleh mereka. Jelas, ucapan-ucapan mereka akan sangat berpengaruh bila dibalut dengan bahasa-bahasa indah. Dengan adanya pemikiran-pemikiran menyesatkan ini, keyakinan dan akidah masyarakat akan goyah ketika mereka mendengar ucapan-ucapan yang berlawanan. Apalagi, ketika ucapan-ucapan ini keluar dari orang-orang yang dianggap alim. Wajar bila masyarakat akan kebingungan menentukan yang benar dan yang salah. Kondisi seperti ini akan melemahkan akidah masyarakat dan menyediakan sasaran empuk bagi orang-orang yang ingin menyalahgunakan masyarakat demi tujuan mereka. Masyarakat awam tidak punya fondasi pemikiran yang kuat. Mereka akan menerima ucapan orang lain yang dianggap menarik dan sesuai dengan penantian mereka. Sejalan dengan tabiatnya, manusia itu lebih cepat menerima hal yang selaras dengan keinginannya.
Apakah Tugas Sosial terhadap Masyarakat?
Dalam kondisi semacam ini, di saat syubhah-syubhah tersebar di tengah masyarakat dan ulama gadungan menyesatkan mereka, berapa lama waktu yang dibutuhkan Imam Ali as untuk menyadarkan masyarakat atas kekeliruan mereka selama ini? Minimal beliau butuh waktu dua puluh lima tahun. Namun, masa pemerintahan beliau hanya bertahan selama lima tahun, semenatara sebagian besar waktunya tersita oleh perang.
Di jaman Rasulullah saww, banyak peperangan berlangsung guna memerangi kemusyrikan dan kekafiran. Setelah wafatnya beliau, orang-orang berpikir bahwa jaman perang telah berlalu. Kenyataannya, perang kembali berlangsung di jaman pemerintahan Imam Ali as. Bedanya, perang di jamannya bukan antara iman dan syirik, tapi antara kelompok muslimin sendiri. Bukan hal mudah berperang melawan kelompok yang dipimpin oleh istri Rasul dan dikomandani oleh dua sahabat besar Nabi yang salah satunya adalah putra bibi beliau. Dalam lima tahun pemerintahan Imam Ali as, perang telah membuat masyarakat jemu, hingga mereka langsung menerima tawaran perdamaian Muawiyah di jaman Imam Hasan as.
Dengan begitu, Imam Husain as. berhadapan dengan generasi yang hampa dari pengetahuan tentang Islam, dengan oknum-oknum yang menyebarkan pemikiran sesat dan dengan masyarakat yang terpengaruh oleh mereka. Lebih parah lagi, orang yang akan duduk di kursi kekhalifahan adalah orang yang terang-terangan menentang syariat Islam. Tidak hanya penduduk Syam, bahkan penduduk Madinah pun, kecuali beberapa orang, semua berbaiat pada Yazid. Dalam kondisi ini, wajar bila akidah seseorang jadi gamang dan goyah.
Di jaman beliau, tidak ada basis-basis pemikiran yang kokoh, tidak ada lagi nilai-nilai yang tersisa hingga bisa menjadi pegangan rakyat. Akidah mereka diguncang, nilai mereka telah hilang. Orang yang tidak memiliki daya nalar kuat akan cepat gamang walau hanya berhadapan dengan argumentasi yang sederhana sekalipun.
Adapun kisah pengkhianatan penduduk Kufah atas baiat Imam Husain as. Pada mulanya, nurani mereka lebih terjaga dibanding penduduk daerah-daerah lain. Hal ini disebabkan kedekatan mereka dengan Imam Ali as semasa pemerintahan beliau di Kufah dan jauhnya mereka dari hiruk pikuk Syam. Mereka paham betul borok Bani Umayah dan bahayanya bagi Islam. Fitrah nurani mendorong mereka untuk menentang Muawiyah dan Yazid serta mendukung Imam Husain as. Oleh karena itu, mereka undang Imam datang ke Kufah. Namun, kenuranian fitrah mereka tidak didukung kekuatan iman dan nalar yang memadai. Selain itu, mereka tidak memiliki emosi manusiawi dan religius yang kuat sebagai pendukung akidah mereka. Tampak bagaimana mereka cepat goyah dan merubah keyakinan mereka.
Dalam keadaan demikian ini, Ubaidillah bin Ziyad masuk Kufah dan orang menyangka bahwa ia adalah Imam Husain as. Dengan muka tertutup, Ubaidillah beserta pasukannya memasuki Kufah dan menduduki Darul Imarah (istana gubernur). Berbekal pengetahuannya tentang penduduk Kufah, dengan ancaman atau iming-iming hadiah, ia melarang mereka membaiat Imam Husein. Ia diamkan para sesepuh dan tokoh-tokoh kabilah dengan jejalan hadiah. Lalu ia kumpulkan rakyat di masjid Kufah dan berpidato bahwa Yazid adalah penguasa yang sah dan berdaulat. Para penentangnya adalah penentang Islam dan harus ditumpas. Maka dari itu, ia tidak ijinkan seorang pun untuk berbaiat kecuali dengan Yazid. Ia juga perintahkan agar orang-orang seperti Muslim bin Aqil, Hani bin Urwah dan para sahabat Imam Husain as. dihukum mati dan jenazah mereka dibuang di jalan.
Menyaksikan situasi semacam ini, otomatis rakyat ketakutan dan mundur. Wajar bila orang-orang seperti di atas akan mundur ketakutan dalam kondisi semacam ini. Yang perlu kita pertanyakan adalah, mengapa mereka hunus pedang dan memerangi Imam Husain as ?
Karbala, di antara Kerakusan dan Kemunafikan
Salah satu motif mereka melakukan hal ini, imingan harta duniawi yang ditawarkan pada mereka. Bila bukan karena janji-janji yang diberikan kepada orang seperti Umar bin Sa’ad, orang seperti dia tidak akan memerangi Imam Husein. Umar bin Saad bukan orang biasa. Ayahnya, Sa’ad bin Abi Waqqash, adalah salah seorang komandan perang terkemuka di jaman para Khalifah. Dialah yang memimpin penaklukan Iran dan Irak. Maka, sekali lagi, Umar bukanlah orang biasa. Dia dikelilingi ribuan pendukung dan dia sendiri adalah calon gubernur Iran. Di jaman itu, Iran adalah negeri impian. Ia dijanjikan menjadi gubernur Rei, ibu kota Iran. Di masa Bani Umayah, gubernur bukan sekedar pelaksana undang-undang, tapi juga penguasa harta rakyat dan Baitul Mal. Seorang gubernur dapat membelanjakan uang rakyat sesuka hatinya. Tidak seperti masa Imam Ali as, pemerintahan jaman itu bersifat diktator.
Orang elit seperti Umar diberikan janji semacam ini. Bisa kita bayangkan, ketika seorang komandan perang yang mempunyai ribuan pendukung, bermaksud memerangi Imam Husain as, wajar bila banyak orang mengikutinya. Khususnya, orang-orang awam yang hanya mengikuti kepala suku atau kabilahnya.
Sebagian rakyat pun, sejak awal tidak memiliki iman dan memeluk Islam dengan tujuan duniawi. Misalnya, di hari pembaiatan Utsman sebagai Khalifah, Abu Sufyan mengumpulkan kerabatnya di rumah Utsman dan berkata,” Aku bersumpah bahwa tidak ada surga dan neraka. Kita bertikai dengan Bani Hasyim hanya untuk merebut kekuasaan. Sekarang, kekuasaan sudah ada di tangan kita. Maka, gulirkanlah kekuasaan ini di tangan-tangan kalian dan jangan berikan ke orang lain.”
Anak dari orang seperti ini yamg telah berkuasa atas Syam ingin menobatkan Yazid, cucunya, sebagai khalifah muslimin dan mengambil baiat dari mereka. Para komandan dan pejabat mereka pun setali tiga uang dengan mereka.
Dengan penjelasan ini, mungkin kita bisa sedikit pahami faktor-faktor terjadinya tragadi Karbala. Tentunya, orang yang ingin lebih jelas mengetahui hal ini, harus merujuk buku-buku sejarah. Dari sana, akan diketahui apa yang dilakukan Bani Umayah dalam menipu rakyat. Sekarang, kita akan bahas uraian historis jaman Imam Husain as hingga kita lebih mengenal lagi akar peristiwa Karbala.
Di Pihak Manakah Kita?
Pertanyaan pertama yang terlontar di awal pembahasan adalah mengapa tragedi Karbala itu terjadi? Namun, pertanyaan yang lebih penting adalah, apakah kita ini tidak termasuk dalam penduduk Kufah? Di barisan Sahabat Imam Husain as ataukah di dalam pasukan Kufah? Selama ini, kita anggap mereka sebagai pengkhianat dan slogan kita adalah “ Kami bukan penduduk Kufah yang menelantarkan Ali sendirian “. Saya yakin, rakyat kita meneriakkan slogan ini dari lubuk hati mereka. Namun, putaran roda kehidupan akan menciptakan kejadian-kejadian yang bisa mengubah akidah manusia. Sebelum ini, ada orang-orang yang juga meneriakkan syiar ini, tapi kemudian mereka berbalik dari keyakinan mereka. Yang harus dipikirkan oleh kita adalah andai kita berada di jaman Imam Husain as, di manakah kita? Apakah kita termsuk tujuh puluh dua sahabat Imam Husain as atau barisan puluhan ribu pasukan Syam dan Kufah atau orang-orang yang bersikap netral?
Memang dalam doa ziarah, kita sering katakan “ Andai saja kami bersama kalian hingga kami dapatkan keberuntungan besar “. Mungkin kita memang harapkan hal ini. Tapi, apakah kita yakin dalam masa semacam itu, kita tetap punya harapan ini? Apakah kita yakin kita tetap netral meski kita tidak perangi Imam Husain as? Seperti yang kita ketahui, ada sebagian orang yang diajak Imam Husain as menyertainya. Sebagian mereka, seperti Ubaidillah bin Hur Ja`fi, adalah sahabat Imam Ali as. Imam Husain as pergi menemuinya dan mengajaknya ikut serta. Menjawab ajakan beliau, dia katakan: aku serahkan kuda dan pedangku untuk anda gunakan. Imam menjawab,” Ambil pedang dan kudamu dan pergi dari sini! Bila kau tetap di sini dan kau dengar seruan minta tolong kami, namun kau tidak bantu kami, sungguh kau akan kekal di neraka. Pergi dari sini supaya tak kau dengar seruan tolong kami!” Andai kita hidup di jaman itu, apakah kita yakin akan lebih baik dari Ubaidillah bin Hur?
Bila kita ingin menguji diri kita, harus kita lihat apakah ada kondisi serupa jaman itu di masa sekarang? Bila ada, berpengaruhkah dampak buruknya pada diri kita? Apakah kecenderungan rakyat kita berbuat dosa lebih kecil atau malah lebih besar? Di tahun-tahun ini, apakah acara hura-hura semakin bertambah atau tidak? Benarkah keyakinan rakyat terhadap Islam semakin kuat atau sebaliknya? Bila majlis-majlis duka di rumah kita berganti dengan acara lain, di saat itu kita harus ragukan kesetiaan kita terhadap Imam Husain as. Bisakah kita anggap diri kita termasuk sahabat beliau? Bila tidak, apa sebabnya? Sebabnya sama dengan faktor-faktor yang membuat penduduk Kufah menyimpang di jaman itu. Bila faktor-faktor itu ada di tengah masyarakat, kita harus mengkhawatirkan penyimpangan masyarakat kita. Semoga hal ini tidak akan terjadi! Namun, kita harus tetap mewaspadai timbulnya faktor-faktor ini.
Salah satu faktornya adalah lemahnya budaya berfikir. Bila akidah kita tidak berdasarkan logika dan kita tidak miliki argumen kebenaran akidah kita, harus kita khawatirkan masa depan kita. Kenapa kita tidak lakukan pengkajian? Karena kita tidak telaten. Kita hanya tahu di jaman gaibnya imam, kita harus taati wali faqih. Tapi kita tidak tahu dalilnya. Ketika kita tidak tahu dalilnya, akidah kita akan goyah di hadapan sebuah syubhah. Para wali Allah selamat menghadapi syubhah karena keyakinan mereka dan akidah mereka berdasarkan argumen kuat. Ketika syubhah-syubhah menyebar di tengah masyarakat dan tidak ada yang tergerak untuk menjawabnya, kita harus khawatir tertimpa bencana yang menimpa penduduk Kufah. Bila hukum-hukum Allah diinjak-injak dengan alasan menjaga jiwa ‘toleransi‘, lalu kita duduk berdiam diri, niscaya suatu saat nanti orang-orang akan berbaiat dan mengakui kepemimpinan orang seperti Yazid.
Kalau bukan karena mental toleransi dan ketidakacuhan rakyat, apa lagi yang bisa menyebabkan orang seperti Yazid dibaiat? Orang-orang yang ingin mendirikan Yazidisme di negara ini, menyebarluaskan semangat toleransi dan ketidakacuhan di tengah masyarakat. Toleransi adalah awal budaya anti keagamaan. Bila kita acuhkan hukum agama dan kita katakan tidak boleh ikut campur urusan orang lain, niscaya kita akan sama seperti penduduk Kufah. Padahal, bisa dikatakan bahwa penduduk Kufah di jaman itu lebih baik dibanding penduduk kota lain. Kondisi penduduk Madinah membuat Imam Husain as putus asa mengharap bantuan mereka, karena sejak awal, mereka telah berbaiat pada Yazid. Sedangkan pada mulanya, penduduk Kufah mengundang Imam Husain as untuk dibaiat sebagai khalifah.
Faktor penting lain terjadinya tragadi Karbala, melemahnya fondasi akidah dan asas pikiran muslimin di jaman itu. Sekarang ini, kita harus ambil pelajaran dari sejarah. Bila kita pendukung setia Wali Faqih, keyakinan kita harus berdasar argumen. Kita harus pelajari dalil-dalil kewajiban mentaati Wali Faqih. Bila ini tidak kita lakukan, akidah kita akan goyah di hadapan sanggahan kritis dan syubhah. Seorang remaja berusia tiga belas tahun mengikat granat di pinggangnya dan pergi ke bawah tank , karena ia yakin di saat syahadah, kepalanya berada di pangkuan Imam Husain as. Namun, bila dikatakan bahwa keyakinan semacam ini hanya sebuah slogan emosional dan retorika belaka, ini sama dengan ucapan Abu Sufyan bahwa tidak ada surga dan neraka.
Bila seorang dosen mengatakan bahwa,”Firman Tuhan tidak selalu benar dan kita tidak punya bukti atas kebenaran firman-Nya“, atau bila seorang dai mengatakan,” Al-Quran bisa dikritisi dan tidak semua isinya benar “, kemudian kita hanya menyimak lantas berdiam begitu saja, apakah dengan cara ini kita cukup yakin menjadi bagian dari tujuh puluh dua sahabat Imam Husain as?
Sejarah yang besar dan Asyura yang agung mengajarkan kepada kita satu dari sekian pesan-pesannya yang besar dan agung, bahwa kita harus berupaya mengokohkan akidah kita lewat acara-acara keagamaan yang bermutu. Ada sisa tanggung jawab yang harus kita pikul, yaitu menjaga nilai-nilai dan pergerakan Islam tetap hidup.
Muhammad Taqie Misbah Yazdi
(disarikan dari Dar Partuye Ozarakhsy, Muassasah Omuzes wa Pezuhesi, Qom 2002)