Pages

Thursday, February 4, 2010

Keadilan di Bawah Naungan Islam

Kisruh hukum di negeri ini semakin membuktikan lemahnya sistem hukum buatan manusia di samping kebobrokan oknum-oknum penegak hukum itu sendiri. Tidak ada solusi selain penegakan hukum Islam secara kaafah. Karena hanya dengan syariah Islamlah keadilan yang sejati bisa dicapai dan jargon Islam sebagai Rahmatan lil Alamien menemui wujudnya. Insya Allah.

Sistem Hukum Islam Yang Unik

Jika Anda melihat bagaimana uniknya sistem peradilan dalam Negara Islam dijalankan, Anda akan melihat bahwa pengadilan bukan semata-mata faktor yang mengekang naiknya tingkat kejahatan, melainkan ia adalah batas pertahanan terakhir. Anda akan menyaksikan bagaimana negara menjamin hak-hak Anda, dan memastikan bahwa keadilan adalah satu-satunya wasit (yang adil) dalam perselisihan-perselisihan Anda. Tidak seperti peradilan di bawah hukum buatan manusia, dimana keadilan hanya menjadi milik orang-orang yang berduit, sementara bagi rakyat miskin keadilan hanyalah mimpi indah yang takkan pernah terwujud. Keunikan sistem peradilan Islam dibangun di atas tiga pilar berikut ini.

A. Taqwa, Garis Pertahanan Anda

Sebagai seorang muslim, Anda menilai bahwa keyakinan Anda dalam Islam dan kondisi keta'aan terhadap Sang Pencipta, Allah SWT., menyebabkan Anda berbuat dengan cara-cara tertentu. Ketaqwaan Anda (takut kepada Allah) akan memotivasi Anda untuk meninggalkan apa-apa yang dilarang (haram) dan melaksanakan hal-hal yang diwajibkan (fardhu). Sehingga secara otomatis hal ini akan membantu mencegah Anda dan muslim yang lain di sekitar Anda dari tindak kejahatan seperti pencurian, perampokan, penyalahgunaan narkoba, dan lain-lain, karena itu semua adalah haram.

Bagi muslim, persoalan tersebut kemudian menjadi tidak bisa menimbulkan resiko tindak kriminal sebab ada kemungkinan ia akan tertangkap. Lebih-lebih masih akan menghadapi hukuman di neraka, dimana Allah SWT., Yang Maha Mengetahui, Maha Melihat menyiapkan hal itu bagi orang-orang yang tersesat, yang melakukan tindak kejahatan.

B. Tekanan Dari Publik

Faktor kedua berkenaan dengan masyarakat itu sendiri. Dalam negara Islam, Anda berada di sebuah lingkungan yang hanya berlandaskan pada Islam dan menyerukan nilai-nilai dan perasaan Islam. Tidak akan ada pengaruh-pengaruh media yang bertujuan menjauhkan Anda dari keta'atan kepada Allah SWT., ataupun ambisi-ambisi yang tidak Islami yang dimiliki oleh masyarakat di sekitar kita, seperti sukses dengan segala cara atau meningkatkan status, mempengaruhi kita.

Anda akan merasakan bahwa diri Anda dikelilingi oleh orang-orang yang memandang rendah perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan Islam dan sebaliknya memuji orang-orang yang amalnya sesuai dengan Islam. Semua ini akan menciptakan sebuah opini publik melawan tindakan kejahatan yang akan berfungsi sebagai "pengawas" terhadap orang-orang yang berniat melakukannya (tindak kejahatan).

C. Keadilan Dalam Islam

Manusia sangat terbatas pengetahuannya dan bisa keliru (salah). Mereka cenderung salah dan bersifat menduga-duga (berprasangka). Islam tidak menyerahkan pembuatan undang-undang peradilan kepada kehendak dan hawa nafsu manusia sebagaimana yang terjadi di Barat dan negara-negara yang menerapkan hukum sekuler. Namun kebolehan membuat undang-undang (hukum) hanya bagi Allah SWT., Pencipta manusia dan satu-satunya Yang Maha Mengetahui tentang manusia. Siapakah yang lebih pantas dalam perkara ini.

Allah swt. berfirman:

"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah" (QS.al-An'am (6) :57)

Sehingga Anda tinggal menyakini bahwa dalam peradilan Islam, faktor-faktor seperti hakim berkolusi dengan terdakwa, atau mengalami hari-hari yang tidak menyenangkan, semuanya tidak akan ada sangkut pautnya dengan kerasnya hukuman yang telah ditentukan oleh petugas.

Jika Anda adalah korban kejahatan dan Anda miskin sedangkan lawan Anda kaya, tidak akan ada pengaruhnya terhadap putusan pengadilan. Meskipun Anda diijinkan untuk menunjuk seorang wakil untuk berbicara atas nama Anda, juga tidak ada sejumlah besar uang yang harus dipertaruhkan.

Oleh karena itu, tidak masalah siapa pun yang mengajukan kasus Anda, atau seberapa persuasifnya dia bicara, melainkan hal tersebut diserahkan kepada hakim untuk memastikan fakta-fakta yang ada dan mengevaluasinya.

Dalam Islam, kesalahan yang terbukti nyata sudah cukup untuk pelaksanaan sebuah hukuman. Sehingga, tidak ada konsep juri dimana anggota-anggotanya mungkin tidak setuju satu sama lain terhadap suatu putusan, yang tentu saja didasarkan atas kehendak pribadi.

Bukti-bukti tidak langsung, yang bersifat tidak pasti dan cenderung memiliki penafsiran yang berbeda-beda, tidak cukup seluruh bukti dihadirkan kepada seorang hakim yang ahli di bidang hukum, dan dia menjatuhkan hukuman sesuai dengan hukum-hukum yang berasal dari Islam.

Maka, hanya mereka yang terbukti sebagai pelaku tindak kejahatanlah yang akan dihukum. Bisa saja kejahatan-kejahatan tersebut tidak mendapat putusan hukum secara langsung, namun ia tidak bisa lari dari hukum di hari pembalasan nanti (Hari Akhirat).

Bukti Hukum

Ada beberapa cara dimana suatu tindak kejahatan bisa dibuktikan di pengadilan, namun hal itu terbatas hanya pada masalah yang dapat menyakinkan kesalahan yang nyata. Sebagai contoh, bukti tidak langsung sepereti sidik jari pada sebuah senjata pembunuhan tidak dengan sendirinya cukup memberikan kepastian 100 % tentang bersalahnya si pemilik sidik jari tersebut. Oleh karena itu, jenis bukti yang seperti ini tidak dapat diterima dalam pengadilan Islam. Ada 2 macam kesaksian yang dapat memberikan bukti kesalahan yang nyata:

1. Kesaksian karena melihat (syahadah)

Kesaksian seseorang yang telah benar-benar melihat terjadinya sebuah kejahatan adalah bukti yang valid. Namun, ini hanya bisa diambil dalam kasus-kasus dimana kejujuran saksi terbukti (Tidak seperti saat ini dimana banyak orang bersumpah bohong).

Ada pengadilan khusus yang bertujuan menguji karakter, ingatan, kecerdasan dan lain-lain dari para saksi yang dihadapkan ke pengadilan. Contoh dari kasus ini adalah kasus zina dimana kesaksian dari 4 orang saksi dibutuhkan untuk membuktikan kejahatan itu. Allah SWT., berfirman:

"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada 4 orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya)."
(QS. An-Nisaa', (4):15)

Jika beberapa saksi gagal untuk membawa kesaksian yang menguatkan, atau seseorang yang menuduhkan keahatan tidak dapat menghadirkan 4 orang saksi, maka mereka akan dikenai hukuman tentang qazaf (tuduhan palsu).

2. Pengakuan (Iqrar)

Disepakati bahwa pengakuan kejahatan dianggap cukup untuk pengadaan kesalahan dan dengan demikian, berdasarkan pengakuan pelakunya (laki-laki/perempuan), hukuman yang layak dapat diberikan.

Abu Daud meriwayatkan bahwa: seorang wanita dari Ghamid datang kepada Rosulullah SAW., dan berkata: Aku telah melakukan perbuatan zina, beliau menjawab," Kembalilah." Lalu wanita itu datang lagi di hari berikutnya dan berkata," Mungkin engkau ingin menyuruhku kembali sebagaimana yang engkau lakukan kepada Ma'ad Ibn Malik. Demi Allah, saya sedang hamil,"Dia berkata pada wanita itu,"Kembalilah", wanita itu datang lagi pada hari yang lain. Rosul bersabda,"Kembalilah hingga engkau melahirkan bayi itu". Dia pergi. Ketika dia melahirkan, dia membawa bayi itu kepadanya dan berkata,"Ini dia! Aku telah melahirkannya."Dia berkata,"Kembalilah dan susuilah dia hingga kamu menyapihnya". Ketika dia telah menyapihnya, wanita itu membawa anak itu kepadanya dan di tangannya ada makanan yang sedang dia makan. Anak itu kemudian diberikan kepada salah seorang dari kaum muslimin dan Rosulullah memerintahkan untuk mengasuhnya. Maka sebuah lubang digali untuk wanita itu, dan dia memerintahkan untuk melemparinya dengan batu hingga mati. Khalid adalah salah seorang yang melemparinya dengan batu. Dia melemparkan batu itu kepadanya. Ketika setetes darahnya mengalir dari pipinya, dia (kholid) menghinakannya. Muhammad SAW., berkata padanya,

"Lunaklah wahai Khalid! Demi Allah yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya dia telah bertobat sedemikian besarnya sehingga apabila seorang yang berdosa mengambil seluruhnya untuk tobatnya, maka dia akan diampuni."

Kemudian Rosul memerintahkan untuk menghormatinya, dia juga berdo'a untuk wanita itu dan wanita itu pun dikubur.

Tetapi, apabila orang yang mengaku itu menarik pengakuannya, maka hukuman itu pun akan segera dihentikan, sebab kesalahan tidak bisa lagi karena bersifat tidak pasti. Hal ini juga berlaku jika, sebagi contoh, selama hukuman dilaksanakan orang tersebut melarikan diri atau mulai protes.

Wallahu'alam bis showab!

[almuhajirun]

Musibah & Bala Bencana Adalah Teguran Dari Allah

Dari berbagai rangkaian musibah, ujian dan bala bencana yang menimpa manusia, khususnya negeri ini, adalah karena perbuatan maksiat dan dosa mereka kepada Allah Swt dan RasulNya dalam merespon dakwah para Nabi dan Rasul-rasul Allah Swt. Selain itu mereka juga mendustakan ayat-ayat Allah, mengkufuri nikmat-nikmatNya dan menukarkan kenikmatan itu dengan kekafiran, serta para penguasa dan pembesar-pembesarnya menukar hukum Allah dengan hukum jahiliyah dan kecenderungan masyarakat memilih serta mengikuti tradisi nenek moyang dengan ajaran sesatnya yang bertolak belakang dari hidayah dan Sunnah Rasulullah Saw.

Al Qur’an menjelaskan, membenarkan hal tersebut, Allah Swt berfirman:

“Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam keadaan melakukan kezaliman.” (QS. Al Qhashash, 28 : 59)

FirmanNya lagi:

“Dan Tuhanmu sekali-kali tidak akan membinasakan negeri-negeri secara zalim, sedang penduduknya orang-orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Hud : 117)

FirmanNya lagi:

“Mengapa Allah akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman? Dan Allah adalah Maha Mensyukuri lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nisaa : 147)

FirmanNya lagi:

“Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (QS. Al Isra, 17 : 16)

FirmanNya lagi:

“Tak ada suatu negeripun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum hari kiamat atau Kami azab (penduduknya) dengan azab yang sangat keras. yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).” (QS. Al Isra, 17 : 58)

FirmanNya lagi:

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh perbuatan tangan kamu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar dari dosa-dosamu.” (QS. As Syura, 42 : 30)

FirmanNya lagi:

“Dan Allah Telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS. An-Nahl, 16 : 112)

FirmanNya lagi:

“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekafiran dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka Jahannam; mereka masuk kedalamnya; dan Itulah seburuk-buruk tempat kediaman.” (QS. Ibrahim, 14 : 28-29)

FirmanNya lagi:

“Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan dimuka bumi dan memperhatikan bagaimana akibat yang diderita oleh orang-orang yang sebelum mereka? Orang-orang itu lebih kuat dri merka,mereka telah mengolah bumi dan memakmurkannya lebih banyak dari apa yang mereka makmurkan.Dan telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa keterangan dan bukti-bukti yang nyata.Maka Allah sekali-kali tidak berlaku dzalim kepada mereka ,tetapi merekalah yang berlaku dzalim terhadap dir mereka.Kemudian akibat orang-orang yang melakukan kedurhakaan dan kejahatan adalah azab siksa yang lebih buruk, karena mereka mendustakan ayat-ayat Allah dan mereka selalu memperolok-olok.” (QS. Rum, 30 : 9-10).

Dan firmanNya lagi:

“(ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: “Mereka itu (orang-orang mukmin) ditipu oleh agamanya”. (Allah berfirman): “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, Maka Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Kalau kamu melihat ketika Para Malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (dan berkata): “Rasakanlah olehmu siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri), demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya, (keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mengingkari ayat-ayat Allah, maka Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosanya. Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi amat keras siksaan-Nya, (siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu meubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri [Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.], dan sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui, (keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya, maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim. Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman.” (QS. Al An fal, 8 : 49-55)

Demikianlah diantara ayat-ayat Allah yang menerangkan sebab-sebab datangnya musibah dan bala bencana.

Rasulullah Saw juga menerangkan akan sebab-sebab musibah dalam haditsnya:

Berkata Ummu Salamah, istri Rasulullah Saw, aku mendengar Rasulullah Saw bersabda:

“Jika timbul maksiat pada ummatku, maka Allah akan menyebarkan azab-siksa kepada mereka.” Aku berkata : Wahai Rasulullah, apakah pada waktu itu tidak ada orang-orang shalih? Beliau menjawab: “ada!”. Aku berkata lagi: Apa yang akan Allah perbuat kepada mereka? Beliau menjawab: “Allah akan menimpakan kepada mereka azab sebagaimana yang ditimpakan kepada orang-orang yang berbuat maksiat, kemudian mereka akan mendapatkan keampunan dan keredhaan dari dari Rabbnya.” (HR. Imam Ahmad)

Lima Sebab Datangnya Azab dan Siksa Allah

Rasulullah Saw bersabda:

“Bagaimana kalian apabila terjadi lima perkara, dan aku berlindung kepada Allah mudah-mudahan lima perkara itu tidak terjadi pada kamu atau kamu tidak menjumpainya, yaitu,

Tidaklah perbuatan zina itu tampak pada suatu kaum, dikerjakan secara terang-terangan, melainkan tampak dalam mereka penyakit ta’un dan kelaparan yang tidak pernah dijumpai oleh nenek moyang dahulu.
Dan tidaklah kaum itu menahan zakat, melainkan mereka ditahan oleh Allah turunnya hujan dari langit, andai kata tidak ada binatang ternak tentu mereka tidak akan dihujani.
Dan tidaklah kaum itu mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka disiksa oleh Allah dengan kesengsaraan bertahun-tahun dan sulitnya kebutuhan hidup dan nyelewengnya penguasa.
Dan tidaklah pemimpin-pemimpin mereka itu menghukumi dengan selain kitab yang diturunkan oleh Allah, melainkan mereka akan dikuasai oleh musuh yang merampas sebagian kekuasaan mereka.
Dan tidaklah mereka itu menyia-nyiakan kitab Allah dan sunnah Nabi-Nya, melainkan Allah menjadikan bahaya di antara mereka sendiri.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Lima Belas Perkara Mendatangkan Musibah & Bala Bencana

Dari Ali bin Abi Thalib Ra berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Apabila umatku telah melakukan lima belas perkara, maka halal baginya (layaklah) ditimpakan kepada mereka bencana.” Ditanyakan, apakah lima belas perkara itu wahai Rasulullah?

Rasulullah Saw bersabda: “Apabila…

Harta rampasan perang (maghnam) dianggap sebagai milik pribadi,
Amanah (barang amanah) dijadikan sebagai harta rampasan,
Zakat dianggap sebagai cukai (denda),
Suami menjadi budak istrinya (sampai dia),
Mendurhakai ibunya,
Mengutamakan sahabatnya (sampai dia),
Berbuat zalim kepada ayahnya,
Terjadi kebisingan (suara kuat) dan keributan di dalam masjid (yang bertentangan dengan syari’ah),
Orang-orang hina, rendah, dan bejat moralnya menjadi pemimpin umat (masyarakat),
Seseorang dihormati karena semata-mata takut dengan kejahatannya,
Minuman keras (khamar) tersebar merata dan menjadi kebiasaan,
Laki-laki telah memakai pakaian sutera,
Penyanyi dan penari wanita bermunculan dan dianjurkan,
Alat-alat musik merajalela dan menjadi kebanggaan atau kesukaan,
Generasi akhir umat ini mencela dan mencerca generasi pendahulunya;
Apabila telah berlaku perkara-perkara tersebut, maka tunggulah datangnya malapetaka berupa; taufan merah (kebakaran), tenggelamnya bumi dan apa yang diatasnya ke dalam bumi (gempa bumi dan tananh longsor), dan perubahan-perubahan atau penjelmaan-penjelmaan dari satu bentuk kepada bentuk yang lain.” (HR. Tirmidzi, 2136)

Itulah perkara-perkara yang menyebabkan suatu negeri mengalami kekacauan, kehancuran, kesempitan, kemelaratan, perseteruan, dan perpecahan satu sama lainnya, antara rakyat dengan rakyat dan rakyat dengan penguasa. Korupsi dan ketidakadilan merajalela, segala macam penyakit bermunculan menimpa manusia, yang benar-benar menyulitkan dan membinasakan kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan.

Oleh sebab itulah, Rasulullah Saw berdoa agar sahabat-sahabatnya tidak menjumpai keadaan yang demikian dahsyat dan terpuruknya. Dari semua perkara yang menyebabkan datangnya siksa dan azab itu. Insya Allah akan berakhir jika manusia dan kaum Muslimin khususnya kembali kepada Allah dan Rasul Nya, berpegang teguh kepada Dinullah (Islam yang sebenar-benarnya, menurut Al Qur’an dan As Sunnah) mengikut petunjuk Rasulnya.

Sebagai penutup, renungkanlah firman Allah Swt berikut serbagai introfeksi kita semua:

”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri Beriman dan Bertakwa, pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’raf, 7: 96)

Wallahu’alam bis showab…

Isu Terorisme dan Serangan Terhadap Islam

Apakah anda orang yang mengatakan bahwa berjihad menegakkan Syari’ah Islam dan khilafah Islamiyah di bumi Allah adalah tindakan Terorisme ? Jika demikian, berarti anda belum mengerti tentang jihad Islami yang merupakan mukjizat Allah SWT.
Jihad adalah usaha serius untuk membumikan wahyu Allah di muka bumi sehingga tidak ada lagi kezaliman dan fitnah terhadap Islam dan ummatnya. Renungkan firman Allah dalam QS Al Baqarah 2:193 dan QS Al Anfal 8:39.
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah 2:193)
Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari kekafiran), Maka Sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan.  (QS. Al Anfal 8:39)
Fitnah adalah kezaliman dan sifatnya lebih kejam dari pembunuhan, karenanya "Allah mengharamkan kezaliman sampai datangnya hari qiyamat." (HR Muslim)
Allah SWT. memerintahkan kepada Rasulullah SAW. dan ummatnya agar terus memerangi orang kafir dan zalim yang selalu menimbulkan fitnah kepada Islam dan ummatnya. Al Qur’an mengingatkan:
"Wahai Nabi berjihadlah melawan orang-orang kafir dan munafiqien itu dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali." (QS. At Taubah 9:73 dan QS 66:9)
Terorisme dan Ketidakadilan Global
Masalah yang jarang disentuh oleh media massa ketika mengangkat isu terorisme adalah ketidakadilan global. Padahal faktor ketidakadilan global menjadi salah satu pemicu serangan terhadab barat atau objek-objek yang dianggap berhubungan dengan barat. Penjajahan yang dilakukan barat di dunia Islam, termasuk dukungan membabi buta barat terhadap penjajahan zionis Israel di Palestina, merupakan cerminan dari ketidakadilan itu.
Ketika 9 orang terbunuh akibat pengeboman di hotel JW Marriot dan Ritz-Carlton, banyak orang yang mengecam aksi tersebut. Sikap yang sama seharusnya muncul ketika ratusan ribu umat Islam terbunuh pasca invasi AS di Iraq. Mengutip laporan yang dimuat Jurnal Lancet, lebih dari 650 ribu warga sipil Iraq tewas sejak invasi AS pada tahun 2003 dan jumlah itu tentu saja terus saja bertambah hingga kini.
Amerika serikat dimaklumi marah saat gedung WTC diserang yang menyebabkan sekitar 3000 orang terbunuh. Sebaliknya, tentu bisa dimaklumi juga umat Islam marah ketika pasukan Amerika terus menerus membunuh rakyat sipil di Afghanistan dan Pakistan. PBB mengatakan jumlah penduduk sipil yang tewas di Afghanistan tahun ini meningkat 24 % dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Laporan PBB menyebutkan lebih dari 1.000 orang tewas dalam enam bulan pertama tahun ini. Jumlah korban serangan AS terhadap rakyat sipil di perbatasan Pakistan-Afghanistan pun terus meningkat.
Bandingkan pula sikap dunia barat ketika Israel menyerang Gaza.  Angka korban serangan Israel ke jalur Gaza sejak 27 desember 2008 hingga 18 januari 2009 malah mencapai 1313 atau rata-rata 59 orang tewas perhari atau setiap jam lebih 2 orang tewas. Tidak hanya itu, Israel juga mengakui menggunakan senjata kimia yang mengerikan, yakni fosfor putih. Belum lagi yang terbunuh akibat isolasi jalur Gaza oleh Israel. Alih-alih mengecam Israel, Amerika, Inggris dan sekutunya malah membela Israel. Untuk kasus Indonesia, ketidakadilan itu juga tampak dari sikap yang diskriminatif terhadap pembunuhan umat Islam di Ambon, Poso, atau kerusuhan di Sampit.
Berkaitan dengan pengeboman pada juli 2005 di London, pemerintahan Inggris memberikan peringatan bahwa keterlibatan dalam invasi AS ke Iraq telah meningkatkan adanya ancaman serangan balasan terhadap Inggris. Laporan yang bocor dari Joint Terrorims Center (JTAC) Inggris, yang mendahului serangan tersebut, memperingatkan: "peristiwa-peristiwa yang terjadi di Iraq semakin menjadi motivasi dan fokus sejumlah teroris berkaitan dengan aktivitas di Inggris."
Pada april 2005, sebuah laporan yang ditulis oleh Joint Intelligence Committee (JIC) berjudul "International Terrorism Impact of Iraq" bahkan lebih eksplisit menyatakan: “kami menilai bahwa konflik yang terjadi di Iraq telah memperburuk ancaman terorisme internasional dan akan terus memberikan dampak dalam jangka waktu yang lama. Konflik tersebut telah memperkuat kegigihan para teroris yang telah melakukan serangan ke negara-negara barat dan memotivasi orang-oran lain yang tidak melakukannya.”
Seharusnya siapapun yang menginginkan kekerasan global dihentikan, juga harus dengan tegas meminta AS dan negara-negara imperialis lainnya menghentikan kebijakan yang eksploitatif dan diskriminatif terhadap dunia Islam. Masyarakat barat sendiri seharusnya meminta penguasa mereka agar menarik tentara negaranya dari Iraq, Afghanistan, dan negeri Islam lainnya. Termasuk menghentikan dukungan membabi buta terhadap Israel.
Bagi umat Islam, ketidakadilan global ini harus dihentikan. Berharap pada negara-negara imperialis untuk menghentikan kejahatan mereka sangatlah sulit. Karena selama barat masih mengadopsi ideologi kapitalisme, penjajahan akan menjadi metode baku yang tidak berubah. Tidak ada pilihan lagi, kecuali umat Islam bersatu membangun kekuatan global khilafah Islam yang akan melindungi umat Islam dari bulan-bulanan negara imperialis..
Isu Terorisme & Serangan Terhadap Islam
Sebenarnya isu memerangi terorisme yang dilancarkan Amerika dan sekutu-sekutunya adalah perang melawan Islam dan kaum Muslimin. Musuh-musuh Islam mencoba membidik Islam dan kaum Muslimin di balik isu terorisme. Mereka takut dengan bangkitnya kaum muslimin. Dengan demikian mereka berusaha sekuat tenaga dan dengan berbagai macam cara untuk menghancurkan kebangkitan kaum Muslimin, salah satunya dengan melancarkan perang melawan terorisme.
Saat ini umat Islam menjadi tertuduh dan semua ketakutan dengan segala hal tentang Islam, karena selalu dikait-kaitkan dengan isu terorisme. Para pelajar, aktivis Islam dan semisalnya menjadi resah. Mereka khawatir dituduh dan dianggap sebagai sarang dan penyedia serta membantu aktivitas terorisme.
Gerakan-gerakan dakwah pun dicurigai meskipun gerakan dakwah itu terbuka dan tak ada sangkut pautnya dengan teroris. Beberapa orang pun mengawasi ketat anak remajanya yang mau berangkat mengaji. Padahal hal itu tak pernah terjadi sebelumnya. Mereka menanyakan ngajinya sama siapa, tempatnya di mana, dan segala macam secara berulang-ulang.
Bahkan di sebuah wilayah, beberapa orang yang hendak melakukan khuruj (aktivitas yang rutin dilakukan oleh Jama’ah Tabligh) di sebuah masjid, ditolak warga setempat pasca pengeboman di hotel JW Marriott dan Ritz Carlton. Warga setempat tak mau daerahnya dijadikan tujuan orang luar. Mereka takut orang-orang tersebut terlibat terorisme.
Sikap paranoid ini muncul belakangan di beberapa daerah. Ini terjadi setelah televisi dengan sangat gencar menyebarkan berita terorisme sejak penyerbuan di Temanggung, Jawa Tengah. Bukannya obyektif, pemberitaan di media massa cenderung menstigmatisasi negatif Islam dan kaum muslimin.
Belum jelas benar siapa pelakunya, media massa langsung menyorot pesantren. Pesantren dianggap mengajarkan jihad dan ini menjadi inspirasi para teroris. Media massa pun sibuk mencari latar belakang orang-orang yang diduga teroris dengan melakukan interogasi dan inkuisisi terhadap almamater, keluarga, dan para tetangga.
Tampa disaring, berita isu langsung disiarkan. Padahal tidak semua sumber berita yang didapatkannya layak disiarkan.
Hal yang sama tidak pernah dilakukan terhadap para koruptor. Adakah media massa yang pernah mengaitkan koruptor dengan almamaternya? Kemudian menyatakan bahwa unversitas X telah mengajarkan korupsi? Atau mencari guru dan dosennya karena dianggap sebagai inspirasi untuk korupsi?
Sikap media ini tidak lepas dari upaya pihak-pihak tertentu untuk menjadikan media sebagai corong dalam menyerang Islam dan kaum muslimin. Lihat saja bagaimana media massa seolah jadi ‘orang bodoh’ dan menurut saja dengan arahan sumber-sumber mereka. Sikap kritis mereka hilang. Bahkan untuk mencari alternatif narasumber lagi. Sampai-sampai ketika sumber-sumber berita mereka memberitakan berita yang salah pun, ditelan mentah-mentah. Perhatikan ketika penyerangan di Temanggung terjadi, dalam siaran langsungnya, mereka seperti koor menyanyikan lagu bahwa teroris yang terbunuh adalah gembong teroris Noordin M Top. Ternyata bukan.
Telah terjadi trial by the press (pengadilan oleh meda massa), yang dampaknya jauh lebih kejam. Media pun tergiring oleh frame berpikir musuh-musuh Islam yang menggeneralisasi para teroris dengan Islam. Isu memerangi terorisme yang dilancarkan Amerika dan sekutu-sekutunya disebarluaskan dan dikerjakan oleh media massa yang pada hakikatnya untuk menghilangkan kebangkitan Islam.
Ironisnya, media massa seolah maklum saja dengan tindakan brutal Amerika dan sekutunya menebar bom dan kematian di mana-mana. Media massa tidak pernah menyebut mereka sebagai teroris, meski korban tewas jauh lebih banyak dan massif.
Media memang telah menjadi alat bagi kapitalisme global dalam mempertahankan hegemoninya. Di era informasi dimana kemenangan ditentukan oleh penguasa sumber-sumber informasi, media massa adalah salah satu pilar kapitalisme.
Barat paham betul bahwa Islam adalah musuh berikutnya setelah komunisme runtuh. Islam adalah ancaman. Karenanya, kebangkitan Islam mesti dihalang-halangi. Caranya bisa melalui hard dan soft power. Untuk itu barat dan antek-anteknya mendekonstruksi persepsi masyarakat terhadap Islam untuk melahirkan sikap moderat bahkan liberal. Mereka tidak mau Islam tampil apa adanya sesuai Al Quran dan As Sunnah. Sikap moderat dan liberal ini dianggap pas dengan hegemoni dan determinasi barat.
Sangat tidak mengherankan bila di tengah isu terorisme yang sedang hangat sekarang tiba-tiba muncul pernyataan beberapa tokoh yang mencoba menggeneralisasi bahwa terorisme itu adalah keinginan menerapkan syariah Islam dalam Daulah Islam. Mereka mencoba menebar ‘pukat harimau’ untuk menjaring aktivis pergerakan Islam.
Mereka sepertinya tutup mata-atau memang sengaja terhadap fakta bahwa tidak semua gerakan yang memperjuangkan syariah Islam dan khilafah setuju dengan aksi terorisme. Modus mereka ini sama dan sebangun dengan gaya Amerika dan barat umumnya melihat Islam pasca tragedi WTC pada September 2001.
Tak mengherankan bila banyak pihak yang menganalisis bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia ini sengaja dimainkan oleh pihak asing. Tujuannya adalah melemahkan umat Islam Indonesia sehingga Islam tidak bisa bangkit menjadi sebuah kekuatan yang besar di negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia ini.
Oleh karena itu perlu waspada terhadap segala tipu daya musuh-musih Islam tersebut. Para pengembang dakwah harus terus istiqomah mendakwahkan Islam dan mengembalikan kejayaan Islam dengan metode dakwah yang dicontohkan oleh Rosulullah SAW.
Siapa Teroris Sebenarnya ? Sadarlah Wahai Kaum Muslimin…!
Jadi, siapakah terorisme yang sebenarnya ? Kalau kita mau meneliti sejarah, maka terlalu banyak dan panjang catatan peristiwa sejarah Amerika yang dapat membuktikan bahwa Amerika adalah teroris sejati. Amerika dengan dukungan sekutunya NATO, berhasil menekan PBB untuk mengembargo Irak.
Jika definisi teror adalah membunuh rakyat sipil yang tak berdosa; anak-anak, wanita dan orang tua, maka mereka atau Amerika adalah teroris paling pertama, teratas dan terjahat yang dikenal oleh sejarah umat manusia. Mereka telah membantai jutaan rakyat sipil tak berdosa di seluruh dunia; Jepang, Vietnam, Afghanistan, Iraq, Palestina, Chechnya, Indonesia dan banyak negara lainnya.
Jika definisi teror adalah membom tempat-tempat dan kepentingan-kepentingan umum, mereka adalah pihak yang pertama, teratas dan terjahat yang mengajarkan, memulai dan menekuni hal itu.
Jika definisi teror adalah menebarkan ketakutan demi meraih kepentingan politik, maka merekalah yang pertama, teratas dan terjahat yang melakukan hal itu di seluruh penjuru dunia.
Jika definisi teror adalah pembunuhan misterius terhadap lawan politik, maka mereka adalah pihak pertama, teratas dan terjahat yang melakukan hal itu.
Jika definisi mendukung teroris adalah membiayai, melatih dan memberi perlindungan kepada para pelaku kejahatan, maka mereka adalah pihak yang pertama, teratas dan terjahat yang melakukan hal itu. Mereka bisa berada di balik berbagai kudeta di seluruh penjuru dunia. Aliansi Utara di Afghanistan, John Garang di Sudan, Israel di bumi Islam Palestina, Serbia dan Kroasia di bekas negara Yugoslavia, dan banyak contoh lainnya merupakan bukti konkrit tak terbantahkan bahwa The Real Terrorist adalah Amerika dan sekutu-sekutunya!
Dengan demikian, setelah ummat mengetahui rencana apa di balik isu terorisme, siapa teroris sebenarnya, maka mereka juga harus tetap sabar, tawakal, dan yakin bahwa Islam pasti menang. Hal ini sebagaimana janji Allah SWT dalam firmanNya :
“Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar (Islam) untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (QS At Taubah, 9 : 33 & QS Ash Shaff, 61 : 9)
Wallahu’alam bis Showab!
* Artikel ini merupakan ringkasan dari Khutbah Ust. Abu Muhammad Jibriel (Wakil Amir Majelis Mujahidin) pada Bulan Syawwal di beberapa Masjid di Jakarta.

Khutbah Ied: Memberantas Terorisme, Hentikan Kezaliman dan Tegakkan Keadilan

Khotbah ini disampaikan oleh Irfan S Awwas, Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin, di hadapan Jamaah Shalat ‘Idul Fithri 1 Syawal 1430 H/ 20 September 20099 M, di Lapangan Gedongan, Desa Muruh, Kec. Gantiwarno, Kabupaten Klaten.
Allahu Akbar 9 x
إِنَّ الْحَمْدَ للهِ, نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا, مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ, أَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَأُمَّتِهِ الْمُطِيْعِيْنَ الْمَجَاهِدِيْنَ.
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَقُوْلُوا قَوْلاً سَدِيْدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزاً عَظِيْمًا. أَمَّا بَعْدُهُ : أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
Mengawali khutbah ini, terlebih dahulu marilah kita memupuji kebesaran Ilahy yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada hari ini kita dapat melaksanakan perintah agama, shalat Idul Fithri di tempat ini. Kita bersyukur kepada Allah Swt yang telah menciptakan segala sesuatu, dan menurunkan syari’at sebagai petunjuk jalan bagi makhluk ciptaan-Nya dalam mengarugi kehidupan dunia ini.
Semoga Allah senantiasa mencurahkan rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad Saw, keluarga, para shahabat, tabi’it-tabi’in serta seluruh kaum Muslimin yang setia mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.
Kemudian, sebagai khatib pada kesempatan khutbah hari raya ini, perkenankan kami mengingatkan diri pribadi dan segenap jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah Swt. Marilah peningkatan taqwa ini kita jadikan sebagai agenda hidup yang utama, agar menjadi manusia ideal menurut Islam. Yakni, menjadi manusia mulia dan dimuliakan oleh Allah Swt sebagaimana firman-Nya (yang artinya):
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di hadapan Allah adalah orang yang paling bertaqwa.” (Qs. Al-Hujurat, 49:13)
Di zaman kita sekarang sedikit orang yang menjadikan taqwa sebagai agenda hidupnya, yaitu menjalani hidup di bawah naungan syari’at Allah. Kebanyakan umat Islam adalah ‘Muslim Otodidak’ yang mengamalkan Islam menurut pemahaman dan penghayatan pribadinya, sehingga adakalanya benar dan lebih sering keliru dalam memahami dan mengamalkan perintah taqwallah (takut pada Allah).
Sekalipun kalimat taqwa menjadi bagian dari sumpah jabatan para pejabat Negara, tapi faktanya, pemerintah belum pernah memberi contoh yang benar tentang praktik taqwa pada Allah Swt. Yang kita saksikan justru sebaliknya, berbagai penolakan dan pelanggaran terhadap ajaran Islam yang dilakukan masyarakat dan pejabat Negara.
Ketika ada orang Islam mengimplementasikan pola hidp taqwa dengan mengamalkan syari’at Islam dan menuntut pelaksanaannya melalui lembaga Negara, malah dicurigai sebagai fundamentalis. Belum adanya standar hidup taqwa dalam agenda pemerintahan Negara, menyebabkan penilaian masyarakat menjadi kacau. Orang shalih dianggap salah, mengenakan pakaian taqwa (jibab) bagi Muslimah dipersulit bekerja di perusahaan atau masuk lembaga pendidikan karena dianggap budaya Arab, sementara para koruptor dimanjakan, sebaliknya lembaga pemberantas korupsi dicurigai dan sebagainya.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu
Pada hari ini kita tengah menapaki hari perdana di bulan Syawal 1430 H dengan menunaikan shalat ‘Idul Fithri sebagai penutup kesempurnaan zikir, mengingat dan menyebut asma Allah Swt. Marilah kita bersungguh-sungguh di dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dan menjauhi kesalahan dan dosa agar kita beruntung dengan mendapatkan kehidupan yang baik di dunia dan pahala yang banyak sesudah mati.
Kini bulan suci Ramadhan telah berlalu, dan ia akan menjadi saksi yang menguntungkan atau memberatkan atas amalan-amalan yang telah kita kerjakan. Jika selama bulan Ramadhan yang kita lakukan adalah amal-amal yang shalih, hendaklah kita memuji Allah atas hal itu dan hendaklah bergembira dengan pahala yang baik. Sesungguhnya Allah tidak akan menyia-nyiakan orang yang berbuat kebajikan. Sebaliknya, siapa yang melakukan amal yang buruk, hendaklah ia segera bertaubat kepada Allah dengan taubatan nashuha, karena sesungguhnya Allah menerima taubat orang yang bertaubat kepada-Nya.
Sesungguhnya kaum Muslimin sangat merindukan kembalinya kejayaan Islam, agar dapat menciptakan dunia yang penuh kedamaian, kesejahteraan, kasih sayang, keadilan dan persatuan bagi segenap umat manusia. Harapan ini merupakan missi Islam yang diproklamirkan oleh Rasulullah Saw sejak beliau memulai dakwahnya di Makkah yang dikenal dengan misi Rahmatan lil Alamin.
Sebenarnya banyak sekali umat Islam dewasa ini yang siap menerima apapun yang sesuai dengan ajaran Islam, tetapi semua ini cepat berubah manakala muncul konflik antara Islam dan kekafiran. Kelemahan ini bahkan terdapat di kalangan orang-orang yang menyatakan diri sebagai pembela-pembela Islam. Mereka meneriakkan puji-pujian terhadap Islam, melakukan aktivitas keislaman, membentuk jamaah zikir dengan puluhan ribu pengikutnya.
Namun, jika diseru supaya melaksanakan syari’at Islam dalam urusan pribadi, keluarga, Negara, relasi-relasi bisnis, lembaga pendidikan, dan di segala aspek kehidupan, mereka akan menjawab: “Negara kita bukan Negara Islam, lebih baik kita abaikan dulu untuk sementara waktu menunggu momentum yang tepat agar kita tidak dicurigai.”
Kapankah kondisi yang aman damai itu akan tiba, sehingga kebenaran dapat disampaikan dengan terus terang? Hingga hari kiamat sekalipun kondisi demikian tidak akan pernah datang, karena orang-orang kafir akan terus membuat makar untuk mendiskreditkan dakwah Islam. Ingatlah nasihat Khalifah Umar bin Khathab bahwa, “Kebenaranlah yang membuat kamu menjadi kuat, dan bukan kekuatan kamu yang membuat jayanya kebenaran.” Sedangkan Khalifah Utsman berpesan, “Kejayaan umat ini akan terpelihara selama Al Qur’an berdampingan dengan kekuatan. Bilamana kekuatan tanpa Qur’an akan menjadi anarkhis dan bilamana Qur’an tanpa kekuatan tidak bermakna bagi kehidupan.”
Kesan yang kini sangat dominan di kalangan kaum Muslimin, bahwa menegakkan kehidupan berbasis Islam seakan ancaman terhadap keselamatan dirinya. Ada juga di kalangan umat Islam yang salah faham terhadap ajaran Allah Rabbul Alamin. Bila Allah Swt memerintahkan suatu perbuatan tertentu, mereka menganggap akan merugikan dan menyusahkan hidupnya, sedang bila dilarang mengerjakan tindakan tertentu, justru melanggar larangan dianggap menguntungkan dirinya. Hal ini tercermin pada keengganan umat Islam untuk berterus terang dengan agamanya dan menerima stigmatisasi musuh-musuh Islam, seolah-olah Islam adalah agama yang telah kehilangan relevansi untuk terus dipertahankan di era globalisasi ini.
Dengan stigmatisasi seperti ini menjadi berat bagi tokoh-tokoh Islam, terutama para politisinya, untuk mengibarkan bendera syari’at Islam secara jujur dan terus terang. Kondisi demikian menciptakan hubungan yang tegang, saling mencurigai diantara komunitas Muslim sehingga muncul pengelompokan Islam moderat dan radikal, toleran versus ektrem, inklusif versus eksklusif, dan nasional versus transnasional.
Pemetaan seperti ini sengaja dibuat oleh musuh-musuh Islam, sehingga kekuatan Islam dipecah-pecah sesuai program mereka. Sehingga menjadi beban berat bagi umat Islam yang memiliki komitmen tinggi terhadap agamanya. Dampak negatifnya, muncullah perasaan tertindas, tertekan di kalangan Muslim; merasa teraniaya dan hidupnya menjadi sengsara. Mentalitas yang merasa sengsara karena Islam, merasa tertindih beban berat bila mengamalkan Al-Qur’an dikoreksi dan mendapat teguran keras dari Allah Swt:
“Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orangyang takut kepada Allah.” (Qs. Thaha, 20:2-3).
Al-Qur’anul Karim diturunkan bukan untuk menjadikan manusia hidup dalam tatanan yang membawa kesengsaraan, kemiskinan, penderitaan dan saling menindas. Tetapi untuk memberikan tatanan hidup yang dapat membangun kasih sayang, berbuat kebajikan, perdamaian, persaudaraan, dan saling menghormati martabat manusia satu dengan lainnya.
Ibarat kafilah di tengah padang sahara yang sedang kehabisan bekal perjalanan. Tidak cukup untuk meneruskan perjalanan dan tidak pula cukup digunakan buat kembali ke tempat asal. Di saat kebingungan dan rasa panik, datanglah seorang pengembara menawarkan pertolongan, mengajak mereka ke suatu taman nan hijau di tengahnya membentang kolam air yang jernih dan menyegarkan.  Di antara anggota kafilah itu ada yang belum puas dan ingin di ajak ke tempat yang lebih nyaman, tapi sebagian lain menyatakan, “kami puas dengan keadaan ini dan kami ingin tinggal menetap disini.”
Begitulah perumpamaan kehadiran Nabi Muhammad Saw dengan Al-Qur’an, pemberi petunjuk bagi kafilah manusia yang kebingungan di tengah sahara tandus, kehilangan kompas kehidupan, terlunta di tengah kegelapan akibat maksiat dan kemungkaran.
Mengawasi Juru Dakwah
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar wa Lillahil Hamdu
Pada masa akhir-akhir ini, kondisi yang mencekam dan menakutkan menimpa kaum Muslimin, terutama ketika Islam dikait-kaitkan dengan terorisme. Munculnya gagasan aparat keamanan untuk mengawasi juru dakwah dengan dalih pemberantasan terorisme, mengundang kekhawatiran mendalam. Apalagi, dengan mudahnya mengidentifikasikan seseorang sebagai jaringan teroris, melalui atribut pakaian berjubah, bercadar bagi Muslimah, memanjangkan jenggot dan celana komprang.
Sesungguhnya juru dakwah merupakan urat nadi kehidupan sosial, bukan pengacau dan bukan pula penyebar teror. Adakalanya seorang juru dakwah tampil sebagai tabib di tengah-tengah masyarakat, atau menjadi pengamat sosial yang berinisiatif mengubah masyarakat yang bobrok, jorok atau bodoh menjadi masyarakat yang terhormat. Bahkan seorang juru dakwah bisa menjadi pendamping yang produktif bagi si kaya, dan sekaligus menjadi pendamping yang kreatif bagi si miskin.
Namun kini, umat Islam di berbagai belahan dunia justru mengalami terror dari musuh-musuh Islam, bahkan diteror di dalam hatinya sendiri. Ketika terdapat tokoh dan orang-orang tertentu yang tidak bersahabat dengan Islam, dan merusak citra Islam dengan mengatakan, bahwa salah satu ayat Qur’an dalam surat  Al Maidah ayat 44, 45, 47, tentang penguasa kafir, faseq dan zalim, merupakan pemicu terorisme.
Inilah teror terhadap umat Islam yang dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam. Padahal sepanjang sejarahnya, Islam tidak ada kaitannya dengan terorisme. Memang Islam memerintahkan jihad fisabilillah, dan jihad jelas bukan terorisme. Maka, dalam kaitan ini kita perlu menyampaikan himbauan Islam kepada para penguasa agar tidak membiarkan aparat keamanan untuk mencari-cari kesalahan rakyat apalagi mengintimidasi mereka.
Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ : إِنَّ الأَمِيْرَ إِذَا ابْتَغَىْ الرِّيْبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ [رواه أبوداود]
“Dari Abu Umamah, Nabi Saw bersabda: “Sesungguhnya apabila penguasa mencari-cari hal yang mencurigakan dari rakyatnya, maka dia akan menghancurkan rakyatnya.”
Bila rakyat terus menerus dimata-matai intelijen, dengan dalih pemberantasan terorisme, rakyat jadi kehilangan inisiatif untuk berprestasi. Dari fakta sejarah kita ketahui bahwa akar terorisme sebenarnya adalah kezaliman dan ketidakadilan penguasa. Inilah yang dengan kasat mata kita saksikan, bahwa kejahatan yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya di Negara-negara Muslim seperti Iraq, Afghanistan, Pakistan, dan negeri-negeri lain termasuk Indonesia.
Kenyataan ini mengingatkan kita ke zaman Fir’aun, 2500 tahun SM,  yang sezaman dengan Nabi Musa As. Ketika itu terjadi kezaliman dan berbagai bentuk ketidak adilan yang dilakukan oleh Fir’aun terhadap bani Israel. Rakyat diintimidasi dan diprovokasi seperti termatub dalam firman Allah Swt :
“Dan ingatlah ketika Kami selamatkan kamu dan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu sikasaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Rabmu.” (Qs. Al Baqarah, 2:49).
Rezim fir’aun menyembelih anak-anak, menelantarkan kaum wanita dan mematai-matai gerak gerik setiap orang dari bani Israel karena distigmatisasai sebagai ancaman terhadap Negara. Akibat dari sikap paranoid Fir’aun dan rezimnya, maka kaum ibu bani Israel takut melahirkan bayi laki-laki, sebab hal ini berarti menjadi alasan penguasa untuk membunuh bayinya dan sekaligus memenjarakan ibunya.
Jika hendak mmemberantas terorisme, maka hentikan kezaliman dan hentikan kerjasama dengan penguasa jahat, baik di barat maupun di timur. Pemerintah hendaknya menjauhkan diri dari kezaliman dalam kebijakannya, terutama sekali berkaitan dengan pengelolaan alam untuk tidak diserahkan pada orang asing. Pemerintah jangan memosisikan diri sebagai elite penguasa yang memandang Indonesia sebagai pasar kapitalis global, sehingga rakyat tetap terpuruk dalam perjuangan mencapai kesejahteraan. Harus ada keberanian menghadapi tekanan asing yang menginginkan kekuatan Islam di Indonesia menjadi lumpuh seperti yang dilakukan kaum salibis di Spanyol lima abad yang lalu.
Rasulullah Saw menasihati para penguasa agar berbuat adil dan menjauhi kezaliman, dalam sabdanya:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ [رواه مسلم]
Rasulullah Saw bersabda: “Jauhilah kedzaliman, karena sesungguhnya kedzaliman membuahkan kegelapan pada hari kiamat.”
Kezaliman akan semakin merajalela bila rakyat tidak berani mencegahnya. Maka bila ada ulama yang berani mencegah kezaliman penguasa, rakyat harus bersyukur dan membelanya karena dia telah berusaha mencegah malapetaka dan murka Allah.
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar walillhil Hamdu
Kaum Muslimin bangsa Indonesia supaya menyadari posisi dirinya sebagai pemilik sah negeri ini. Karena hanya umat Islam satu-satunya yang paling konsistensi mempertahankan NKRI. Sedang umat lain, justru menuntut keluar dari Indonesia seperti yang dilakukan oleh pengikut Kristen di Papua dan kelompok RMS di Maluku.
Para tokoh Islam baik di organisasi politik maupun massa tidak menjadi bagian dari agenda musuh Islkam untuk mengerdilkan peran umat Islam di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh JIL, Islam oderat yang mengajak umat Islam untuk menukar aqidahnya dengan pluralisme atau tata dunia baru yang berbaris pada doktrin zionisme dan HAM. Karena sikap-sikap ambivalen hanya akan melahirkan orang Islam yang sekadar puas menjalankan ibadah, tetapi mengabaikan ajaran Islam sebagai jalan kehidupan.
Para ulama jangan pernah memosisikan diri sebagai terompet jahat musuh Islam, dengana menolak berlakunya syariat Islam di lembaga Negara. Merekalah yang seharusnya memimpin rakyat agar berani meluruskan apa yang bengkok dari penguasa, berani berkata benar secara terus terang. Rasulullah Saw bersabda:
عَنْ مُعَاوِيَةَ بْن أَبِيْ سُفْيَان ، عَنِ النَّبِيِّ قال : يَكُوْنُ أُمَرَاءَ يَقُوْلُوْنَ وَلاَ يُرَدُّ عَلَيْهِمْ ، يَتَهَافَتُوْنَ فِي النَّارِ يَتْبَعُ بَعْضُهُمْ بَعْضاً [رواه الطبراني]
“Dari Mu’awiyah bin Abu sufyan, dari Nabi Saw bersabda: “Akan muncul para penguasa yang berkata sesuka mereka dan tidak ada yang membantahnya. Mereka akan berjatuhan masuk neraka beriringan satu demi satu.”
DO’A
Ma’asyiral Muslim Rahimakumullah...
Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahil Hamdu
Mengakhiri khutbah ini, merilah kita berdo’a, dengan meluruskan niat, membersihkan hati dan menjernihkan fikiran. Semoga Allah memperkenankan do’a hamba-Nya yang ikhlas.
اَللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَاتَحُوْلُ بِهِ بَيْنَتَا وَبَيْنَ مَعْصِيَتِكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَاتُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ وَمِنَ الْيَقِيْنِ مَا تُهَوِّنُ بِهِ عَلَيْنَا مَصَآئِبَ الدُّنْياَ  اَللَّهُمَّ مَتِّعْنَابِأَسْمَاعِنَا وَأَبْصَارِنَا وَقُوَّتِنَا مَاأَحْيَيْتَنَا وَاجْعَلْهُ الْوَارِثَ مِنَّا وَاجْعَلْ ثَأْرَنَا عَلَى مَنْ ظََلَمَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى مَنْ عَادَانَا وَلاَتَجْعَلْ مُصِيْبَتَنَا فِى دِيْنِنَا وَلاَتَجْعَلِ الدُّنْياَ أَكْبَرَ هَمِّنَا وَمَبْلَغَ عِلْمِنَا وَلاَتُسَلِّطْ عَلَيْنَا مَنْ لاَ يَرْحَمُنَا. اَللَّهُمَّ الْعَنِ الْكَفَرَةَ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِيْنَ الَّذِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْ سَبِيْلِكَ وَيُكَذِّبُوْنَ رُسُلَكَ وَيُقَاتِلُوْنَ اَوْلِيَآءَكَ. اَللَّهُمَّ اَلِّفْ بَيْنَ قُلُوْبِنَا وَاَصْلِحْ ذَاتَ بَيْنِنَا وَاهْدِنَا سُبُلَ السَّلاَمِ وَنَجِّنَا مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّوْرِ وَبَارِكْ لَنَا فِى أَسْمَاعِنَا وَاَبْصَارِنَا وَقُلُوْبِنَا وَأَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا وَتُبْ عَلَيْنَا إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّبُ الرَّحِيْمِ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ اَجْمَعِيْنَ. وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ.
Ya Allah, ya Rab kami, bagi-bagikanlah kepada kami demi takut kepada-Mu apa yang dapat kiranya menghalang antara kami dan ma'siat kepada-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi taat kepada-Mu apa yang sekiranya dapat menyampaikan kami ke sorga-Mu; dan (bagi-bagikan juga kepada kami) demi taat kepada-Mu dan demi suatu keyakinan yang kiranya meringankan beban musibah dunia kami.
Ya Allah, ya Rab kami, senangkanlah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan –penglihatan kami dan kekuatan kami pada apa yang Engkau telah menghidupkan kami, dan jadikanlah ia sebagai warisan dari kami, dan jadikanlah pembelaan kami (memukul) orang-orang yang menzhalimi kami serta bantulah kami dari menghadapi orang-orang yang memusuhi kami; dan jangan kiranya Engkau jadikan musibah kami mengenai agama kami, jangan pula Engkau jadikan dunia ini sebagai cita-cita kami yang paling besar, tidak juga sebagai tujuan akhir dari ilmu pengetahuan kami; dan janganlah Engkau kuasakan atas kami orang-orang yang tidak menaruh sayang kepada kami (HR. Tirmidzi dan ia berkata hadist ini hasan.)
Ya Allah, laknatilah orang-orang kafir ahli kitab dan orang-orang musyrik yang menghalang-haalangi jalan-Mu, mendustakan Rasul-rasul-Mu, dan membunuh kekasih-kekasih-Mu
Ya Allah, persatukanlah hati-hati kami dan perbaikilah keadaan kami dan tunjukilah kami jalan-jalan keselamatan serta entaskanlah kami dari kegelapan menuju cahaya yang terang. Dan jauhkanlah kami dari kejahatan yang tampak maupun tersembunyi dan berkatilah pendengaran-pendengaran kami, penglihatan-penglihatan kami, hati-hati kami dan isteri-isteri serta anak keturunan kami, dan ampunilah kami sesungguhnya Engkaulah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Shalawat atas Nabi Muhammad SAW dan ahli keluarga serta sahabat-sahabat beliau semuanya. Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.

Bebaskan Tawanan Muslim

Saudara dan saudari kita tersayang yang ditahan oleh Kuffar dan orang-orang murtad terus meningkat begitu juga dengan penderitaan mereka. Kami mendengar mereka berteriak dari Cuba (Penjara Guantanamo), Abu Gharib (di Irak), dari penjara Amerika dan Inggris juga seluruh penjara di seluruh negeri Muslim, namun kita masih tidak bergerak. Kita masih tidak merasa malu atau menyesal dan keadaan mereka rasanya tidak mempunyai dampak sama sekali buat kita.
Apakah rasa malu itu adalah melihat saudara Muslim kita berada di tangan Kuffar dan Murtad, namun kita hanya bisa duduk dan tidak melakukan apapun untuknya. Kita melihat bagaimana borgol pada tangan mereka membuat tangan mereka berdarah serta bagaimana kegelapan penjara mempengaruhi mereka dengan keras, namun kita kembali menutup mata kita. Kita melihat dengan jelas pelanggaran kehormatan, harta dan hidup mereka namun tindakan kita benar-benar mengabaikan itu. Kita melihat bagaimana khanzir sedang menghina mereka dengan menggunakan anjing dan bagaimana mereka melanggar kehormatan mereka dengan tindakan fisik dan penyimpangan seksual. Di mana dien kita? Di mana rasa jijik dan di mana orang-orang, yang jika mereka melihat darah akan mencoba untuk menghentikan pendarahan tersebut?
Bagaimana bisa kita tidur dengan kesenangan mengetahi bahwa pengikut Islam berada di belakang tahanan? Bagaimana bisa kita mempunyai mata tidak mempunyai air mata, juga duka cita? Kita melihat bahwa kebanyakan orang-orang yang jujur, orang-orang terbaik, seperti Mujahidin berada dalam penjara. Kebanyakan Orang-orang yang ikhlas dari Ummat kita berada dalam tahanan Kuffar dan menjadi target penindasan oleh mereka. Kita perlu menundukkan kepala kita dan merasa malu sebagaimana ini adalah realitas kehinaan kita dan rasa bahwa mayoritas telah menerima kehinaan ini sebagaimana mereka terlihat sangat santai dan menikmati gaya hidup mereka.
Sebagai seorang Muslim sudah menjadi kewajiban kita untuk melindungi kebebasan mereka. Imam Ibnu Qudamah telah berbicara tentang ahkam yang berkaitan dengan kewajiban membebaskan Muslim dari tahanan dan dia merujuk pada apa yang Umar Ibnu Abdul Aziz katakan. Telah diriwayatkan bahwa Ibnu Zubair ditanya Hasan Bin Ali tentang membebaskan orang-orang yang ditahan kemudian dia menjawab, “Kita harus membebaskan para tahanan dari negeri dimana dia sedang ditahan,” dan kita mengetahui pada saat ini ada banyak tahanan di seluruh dunia. Rasulullah SAW bersabda,
“Berikanlah makan pada seseorang yang merasa lapar, kunjungilah seseorang yang sakit dan bebaskanlah seseorang yang ditawan.”
Dan Beliau SAW juga bersabda,
“Adalah sebuah kewajiban bagi Muslim dari harta mereka untuk membebaskan orang-orang yang berada dalam tahanan dan membayar  tebusan.”
Rasulullah SAW menulis sebuah surat yang menggambarkan hubungan antara Muhajirin dan Anshar serta bagaimana mereka seharusnya membebaskan seseorang dari mereka yang telah ditangkap. Kita mengetahui bahwa Rasulullah SAW bereaksi pada saat dua dari Shahabat telah ditangkap, beliau mengambil seseorang dari Banu Uqail dan menukarnya dengan dua Shahabat dan beliau SAW juga membebaskan seorang wanita untuk menjaga pembebasn Shahabat. Para fuqaha juga berkata,
“Adalah sebuah kewajiban berperang untuk membebaskan mereka, jika kita tidak bisa membebaskan mereka, kemudian itu adalah sebuah kewajiban untuk memerangi mereka, jika kita tidak bisa untuk memerangi mereka adalah sebuah kewajiban bagi seseorang Muslim yang mampu untuk membebaskan mereka dengan membayar tebusan dan itu adalah sebuah kewajiban bagi Khalifah untuk membebaskan semua orang-orang yang berada dalam tahanan. Jika dia mempunyai kekayaan maka dia harus membebaskan mereka dan itu adalah bukan hutang.”
Ibnu Taimiyyah berkata,
“Jika mereka menahan seorang Muslim, adalah sebuah kewajiban kita untuk tetap memerangi mereka sampai mereka membebaskan mereka atau mereka di musnahkan,”
dan dia juga berkata,
“Membebaskan Muslim dari tahanan adalah salah satu kewajiban yang besar dan membelanjakan kekayaan untuk membebaskan mereka adalah salah satu bentuk mendekatkan diri kepada Allah yang paling baik.”
Sebagai seorang Muslim kita mengetahui bahwa pendahulu kita, Rasulullah SAW dan para Shahabatnya R.A. adalah sebaik-baik Ummat dan telah mengatahui bahwa mereka dahulu mengirimkan tentara untuk membebaskan Muslim. Kita juga mengetahui bahwa mereka adalah sebaik-baik contoh untuk kita ikuti jadi mengapa pada saat kita mendengar wanita ditawan yang berada di Abu Gharib, Mesir, Yaman, Iraq, Syiria, Inggris, Amerika, Arab Saudi dan dibanyak negeri Muslim lainnya yang disamping mendengarkan panggilan mereka kita tidak melakukan apapun untuk mereka, mengapa panggilan mereka tidak mendapat perhatian? Ada banyak saudari Muslim dalam tahanan dan mereka memangil laki-laki yang sesungguhnya, orang-orang yang dalam hatinya pernuh dengan Imaan, untuk bergerak dan bahkan menghancurkan penjara. Mereka telah menyatakan bahwa mereka akan menyukai untuk dibinasakan dengan mereka dari pada dinodai kehormatan mereka.
Umar Ibnu Khattab RA berkata,
“Bagiku membebaskan seorang Muslim yang berada ditangan Musyirikin lebih aku sukai daripada seluruh Jazirah Arab.” (Shahih Shahabi Jilid. 3).
Umar Ibnu Khattab juga menulis surat kepada orang-orang yang berada dalam tahanan di Konstantinopel berkata kepada mereka,
“Amma Ba’ad, Apakah kalian berfikir kalian berada dalam penjara? Sungguh kalian berada dalam salah satu orang-orang dalam Jihad fi sabilillah, dan sadarlah bahwa aku tidaklah membagi apapun diantara tujuanku kecuali menetapkan sebuah bagian untuk kalian dan keluarga kalian. Aku telah mengirimkan 5 dinar untuk kalian, hanya karena aku tidak ingin orang-orang Roma mengambilnya dengan kata lain aku akan menambahkannya dan aku juga telah mengirimkan tebusan untuk membebaskan semua dari kalian.”
Dalam kejadian yang lain pada saat sebagian Muslim ditangkap, Umar mengirimkan seseorang untuk membebaskan mereka dan berkata,
“berikan kepada mereka apa saja yang mereka inginkan untuk membebaskan mereka…”
Dahulu orang-orang tidak tertidur kecuali membebaskan mereka. Salah seorang pria telah datang kepada Kuffar dan dia menemukan seorang Muslimah yang berkata kepadanya,
“Aku adalah Asirah (wanita yang berada dalam tahanan) maka katakanlah kepada wali (gubernur) mu.”
Pada saat pesan tersebut sampai kepada Wali dia pergi dari tempat ke tempat dengan seorang tentara dan berperang sampai dia menemukan wanita itu dan membebaskannya, semua ini dilakukan untuk seorang Muslimah, namun pada hari ini ribuan yang ditahan dan kita bahkan tidak sadar tentang fakta penderitaan ini. Al- Mansur, Nuruddin Zinki dan Salahudin Al-Ayyubi adalah beberapa orang mulia yang berjihad dan membebaskan ribuan tahanan, memahami tanggungjawab mereka kepada tawanan musuh.
Ini adalah waktunya untuk bangkit dari tidur dan mengembalikan kehormatan Ummat. Allah SWT mencintai orang-orang yang mencintai saudaranya hanya karena Allah, orang-orang yang tidak ingin santai sampai panji Islam berdiri tinggi. Ada orang-orang yang pada saat mereka melihat Muslim dalam tahanan mereka tidak melakukan apapun, tetapi Allah SWT memperingati mereka,
“Ada apa dengan kalian, dimana kalian tidak berperang di jalan Allah dan untuk laki-laki yang lemah, wanita dan anak-anak yang tertindas…”
Kita mengetahui bahwa semua fuqaha mengatakan bahwa hukumnya fardhu untuk membebaskan tahanan dan itu adalah fardhu kepada orang-orang yang sangat dekat, tetapi jika mereka tidak melakukan apapun untuk itu kemudian menjadi fardhu bagi semua Muslim dimana saja mereka berada. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW mengangkat kepalanya pada akhir raka’ah dan berkata, “Yaa Allah bebaskanlah ini dan itu, bebaskanlah ini dan itu…”
Maka kita memohon pada Allah SWT kepada orang-orang yang berdo’a kepada Muslim –bukan dari Munafikun yang menyeru untuk penangkapan mereka– dan untuk membebaskan yang berada dalam tahanan dan bagi mereka yang ditahan di seluruh negeri Muslim. Kami memohon pada Allah SWT menjadikan diantara kita orang-orang yang membayar tebusan mereka untuk tahanan pada hari ini dan kami berdo’a pada Allah untuk kemenangan Islam dan Muslim datang lebih cepat. Amin Allahumma Amin.
(Almuhajirun)

Wahabi dan Keluarga Nabi

Benarkah kaum wahabi membenci keluarga Nabi? Kita sering mendengar berita itu, tapi jarang dari kita yang mau bersikap kritis dan berani mengklarifikasi.
Dengan nama, kita bisa membedakan manusia satu dengan lainnya. ketika nama kita berbeda, kita bisa merasa kitalah yang dipanggil oleh teman. Tanpa nama, teman kita akan merasa kesulitan membedakan kita, dan sulit untuk memanggil kita dari kejauhan. Nama adalah faktor penting dalam kehidupan manusia

Nama yang indah adalah hiasan bagi seseorang, maka seluruh manusia –kafir ataupun mukmin- berusaha memilihkan nama yang indah bagi anak-anak mereka. nama-nama indah biasanya adalah nama-nama tokoh terkenal, juga nama yang dianggap memiliki nama indah. Ketika orang tua memilihkan nama seorang tokoh untuk anaknya, maka dia berharap anaknya menjadi seperti tokoh itu.

Dan masalah nama faktor subyektifitas yang tinggi, karena nama-nama yang dipilih biasanya dianggap bagus oleh pemilik nama, jika seorang ayah memilihkan sebuah nama bagi anaknya, minimal si ayah memiliki anggapan bahwa nama itu bagus, meski di mata orang lain nama itu tidak memiliki makna atau bermakna buruk. Maka nama yang bagus bagi orang belum tentu bagus di mata orang lain. Nama yang indah bagi sebuah daerah belum tentu dianggap bagus oleh penduduk daerah lain.

Juga bisa terjadi sebuah kasus di mana orang memberi nama anaknya dengan nama yang dianggapnya indah, namun dia tidak tahu bahwa nama itu ternyata memiliki makna yang buruk. Seandainya dia tahu nama itu bermakna buruk, maka dia pasti memilihkan nama lain untuk anaknya. Orang tidak akan memilihkan nama yang buruk bagi anaknya. Dalam hal ini keseluruhan manusia yang ada di dunia memiliki pandangan yang sama. Tidak ada orang yang sengaja memilihkan nama buruk bagi anaknya. Begitu juga sebaliknya, bisa jadi sebuah nama dianggap buruk bagi seseorang atau sebuah daerah, namun di daerah lain atau bagi orang lain nama itu dianggap nama yang indah.


Maka kita bisa memahami jika teman-teman syi’ah memberi nama anaknya dengan nama-nama yang indah menurut mereka, seperti Jawad dan Kadzim. Dan memang nama-nama itu memiliki makna yang indah, seperti misalnya Jawad, dalam bahasa arab, nama jawad artinya kurang lebih suka memberi. Begitu juga kadzim artinya mampu menahan marah. Selain memiliki makna yang indah. Juga nama seperti Ali, Hasan dan Husein, yaitu dari nama tokoh yang mereka anggap sebagai imam.

Tidak ada teman syi’ah yang senang dengan nama-nama “musuh” mereka seperti Abubakar dan Umar. Lalu bagaimana jika dia terlambat mengenal syi’ah lalu diberi nama dengan nama-nama yang dulu dianggap indah seperti Abubakar dan Umar? Ada yang tidak merubah nama itu, namun ada juga yang merubah namanya dengan nama yang lebih baik, seperti ada seseorang yang dulunya –ketika masih sunni- bernama Abubakar -saya rasa tidak relevan jika kita tuliskan nama lengkapnya di sini- lalu mengganti namanya menjadi Ali, dan dikenal dengan julukan daerah tempat dia tinggal. Di sisi lain, konon dari cerita-cerita yang beredar, ada juga temen syi’ah orang tuanya memilihkan nama Umar untuknya, saat itu dia belum mengenal syi’ah, tetapi setelah masuk syi’ah dia tidak mengganti namanya.

Bahkan konon ada pepatah arab yang berbunyi: dari namamu aku tahu siapa ayahmu. Artinya dari nama yang dipilih untuk anaknya, kita bisa mengetahui kualitas orang tuanya. Orang tua yang ber”kualitas” tidak akan mungkin memilih nama sembarangan untuk anaknya. Seperti ketika kita mengenal anak bernama jawad, kita tahu bahwa orang tuanya mencintai imam Muhammad bin Ali Al Jawad, dan ingin agar anaknya menjadi seperti dia. Begitu juga ketika kita mengenal anak bernama kadzim, kita tahu si orang tua cinta pada imam Musa Al Kazhim.

Orang-orang awam memberi namanya dengan nama-nama yang indah, begitu juga penganut syi’ah sendiri, maka para imam lebih mengetahui hal ini dan tidak mungkin memberi nama anak-anaknya dengan nama yang buruk, atau nama tokoh-tokoh musuh Islam dan musuh keluarganya sendiri. karena sudah pasti para imam itu –menurut keyakinan syi’ah- adalah maksum dan terbebas dari kesalahan dan kekeliruan serta sifat lupa. Masalah maksum ini adalah salah satu aksioma dalam mazhab syi’ah yang sudah “paten” dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena sifat maksum inilah teman-teman syi’ah menolak meyakini bahwa yang bermuka masam dalam surat “Abasa” adalah Rasulullah SAW. Karena nama-nama yang buruk adalah cerminan buruk bagi pemberi nama –dalam hal ini adalah ayah si anak yang merupakan imam ahlulbait-. Para imam adalah manusia-manusia suci yang terbebas dari keburukan. Pasti para imam memberi nama anak-anaknya dengan nama yang mereka anggap indah.

Dalam sejarah -yang ditulis oleh kitab-kitab syi’ah sendiri- tercantum kenyataan bahwa Ali memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama Abubakar, Umar dan Utsman. Tokoh-tokoh yang dianggap lebih kafir oleh syi’ah. Begitu juga imam Hasan dan Imam Husein memberi nama anaknya dengan nama Umar. Padahal Muhammad Baqir Al Majlisi -seorang pakar hadits syiah- menyatakan :

saya katakan dalil yang menunjukkan bahwa Abubakar, Umar dan orang yang sejalan mereka dengan mereka adalah kafir, juga menunjukkan pahala melaknat dan memusuhi mereka, yang menunjukkan bid’ah mereka, terlalu banyak untuk disebutkan dalam satu jilid atau berjilid-jilid buku, apa yang telah kami nukilkan di atas cukup bagi orang yang diberi petunjuk Allah ke jalan yang lurus. Biharul Anwar jilid 30 hal 399.

Bukan hanya kafir, tapi harus dilaknat, dan melaknat Abubakar, Umar dan Utsman dan ahlussunnah mendatangkan pahala.

Ali Zainal Abidin memberi nama anak perempuannya dengan nama Aisyah, sebuah nama yang dibenci oleh syiah hari ini. Imam Hasan memberi nama anaknya dengan nama Thalhah .
Padahal Aisyah dan Thalhah di mata Khomeini –tokoh syi’ah hari ini- yang sering disebut oleh syi’ah dengan panggilan Imam Khomeini, adalah lebih buruk dari anjing dan babi:

Sedangkan seluruh kelompok nashibi bahkan khawarij, tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya mereka meskipun mereka akan disiksa lebih pedih dari siksaan orang kafir. Jika ada seorang penguasa yang memberontak terhadap Amirul Mukminin tanpa alasan [keyakinan] agama [karena alasan dunia], tetapi karena ingin merebut kekuasaan, atau karena tujuan-tujuan lain. Seperti Aisyah, Zubair, Thalhah, Muawiyah dan yang lainnya. Atau yang memusuhi Ali dan salah satu dari para imam tanpa alasan keyakinan agama, tetapi karena memusuhi suku Quraisy, atau Bani Hasyim, atau membenci bangsa arab, atau karena [imam] telah membunuh ayahnya atau anaknya, atau sebab lainnya, semua itu tidak mengakibatkan status najis secara zhahir, meskipun mereka [hakekatnya] lebih buruk dari anjing dan babi, karena tidak ada dalil dari hadits maupun ijma’ tentang hal itu [najisnya nashibi secara zhahir].Kitab Thaharah jilid 3 hal 457.

Ali memang mencintai Abubakar, Umar dan Utsman, maka Ali memilih nama-nama mereka untuk anaknya. Sebagaimana syi’ah hari ini memberi nama anaknya dengan nama kadzim dan jawad karena cinta mereka pada Imam Kadzim dan Jawad, Ali memberi nama anaknya dengan Abubakar dan Umar karena kecintaannya pada mereka. Begitu pula imam Hasan dan Husein, yang jelas maksum dan lebih mengenal sejarah dibanding syi’ah hari ini, karena mereka adalah pelaku sejarah.

Ini bisa dilihat dalam Kasyful Ghummah jilid 2 hal 334, I’lamul Wara karya Thabrasi, begitu juga dalam kitab Al Irsyad karya Al Mufid.

Kita sudah terbiasa untuk menelan segala berita yang ada mentah-mentah, tanpa menggunakan lagi sikap kritis untuk menilai sebuah berita. Ini bisa jadi karena berita itu begitu sering kita dengar, akhirnya kita tidak merasa perlu lagi untuk klarifikasi dan tabayun. Meskipun berita itu kita dengar dari orang-orang yang mungkin nampak valid, namun kita masih harus bersikap kritis dan meneliti lagi. Di antara yang sering kita dengar adalah klaim bahwa Muhammad bin Abdul Wahab adalah membenci ahlulbait. Seperti pembaca juga, saya pun sering mendengar berita-berita itu. Tapi saya mencoba melangkah lebih jauh dari sekedar percaya, saya mencoba bersikap kritis dan mencari tahu tentang hal itu.

Ternyata Muhammad bin Abdul Wahab memberi nama anaknya dengan nama-nama keluarga Nabi, yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Ini tercantum dalam kitab Ad Durar As Saniyyah cetakan pertama dari Darul Ifta’ jilid 19 hal 12, begitu juga kitab Ulama Najd karya Al Bassam jilid 1 hal 155. Sebagaimana temen-temen syi’ah memberi nama anaknya dengan Kadzim karena cinta pada imam Musa Al Kadzim, begitu juga Muhammad bin Abdul Wahhab memberi nama anaknya dengan Ali, Fatimah, Hasan dan Husein karena cintanya pada mereka.

Source: hakekat.com

Apakah Syi’ah Memiliki Kitab Shahih? [2]

Jika memang validitas sebuah riwayat boleh diketahui, maka menyusun kitab sahih sangat mudah. Caranya dengan memisahkan riwayat yang sahih dari yang dhaif dan mengumpulkannya dalam satu buku. Namun memang ulama syi'ah sangat berkepentingan untuk mengembangkan masalah ini, mereka tidak mau menyusun kitab yang isinya riwayat shahih, mengapa? Semak selengkapnya

Penganut syi’ah harus menyedari bahwa Ulama yang selama ini diikuti tidak ingin dan memang mereka tidak boleh untuk menyusun sebuah buku yang memuatkan hadits sahih yang bersambung sanadnya pada keluarga Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam], hal ini sangat berbahaya, kerana saat ulama syi’ah membius akal pengikutnya dengan kata-kata [dalam syi’ah tidak ada kitab hadits yang seluruh isinya shahih], mereka tidak sedar bahwa pernyataan di atas mengandung banyak konsekuensi yang berbahaya, yang tidak disedari oleh penganut syi’ah yang awam, sebagai ungkapan rasa kasih sayang kami pada penganut syi’ah yang awam, kami akan menjelaskannya di bawah ini:
Kerana memang syi’ah tidak memiliki kitab hadits yang seluruh isinya disepakati sebagai sahih maka sebenarnya ulama syi’ah sedang membuktikan bahwa mereka benar-benar tidak akan boleh menyusun kitab seperti itu. kerana memang ajaran syi’ah adalah ajaran buatan manusia yang berubah dan berkembang sesuai tempat dan waktu, ajaran yang dianggap sesat oleh ulama syi’ah masa lalu boleh menjadi ajaran yang diterima oleh syi’ah sekarang. Sepertinya ini adalah bukti kebenaran ayat Al Qur’an :
Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. 4:82)

Adanya pertentangan dan kontradiksi membuktikan bahwa ajaran syi’ah bukanlah dari Allah.
Ulama syi’ah memang tidak ingin menyusun kitab yang memuat riwayat sahih dari keluarga Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam], ini satu bukti mereka takut akan hal itu, kerana jika mereka menyusun kitab itu maka mazhab syi’ah akan ketahuan belangnya. Karena khayalan-khayalan yang selama ini dianggap nyata akan hilang dan kembali menjadi khayalan, seperti kisah tulang rusuk Fatimah yang patah, sahabat yang membakar rumah Fatimah, begitu juga kisah kelahiran imam Mahdi serta proses menghilangnya imam Mahdi hingga kini, begitu juga tuduhan mereka pada para sahabat akan lenyap. Para sahabat Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam] adalah lulusan pendidikan Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam] yang maksum dan dibimbing langsung oleh Allah, bagaimana mungkin Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam] yang maksum salah memilih sahabatnya?
Sebagaimana yang dilakukan oleh ulama sunni seperti Ibnul Jauzi yang mengumpulkan hadits-hadits palsu dalam sebuah kitab diberi judu Al Maudhu’at, mestinya ulama syi’ah juga bisa mengumpulkan riwayat syi’ah yang ternyata palsu  supaya riwayat sahih tidak tercampur dengan yang palsu, agar ajaran agama yang sah menjadi jelas. Dengan itu pula ulama syi’ah membantu orang awam yang ingin tahu tentang ajaran ahlulbait yang asli, juga agar boleh membantah ahlussunnah yang menemukan kontradiksi pada kitab literatur syi’ah, tetapi ulama syi’ah tidak akan pernah mau menyusun kitab seperti itu, sebagaimana mereka tidak mau mengumpulkan hadits sahih dan mengumpulkannya dalam satu kitab, kerana semuanya akan berujung pada akibat yang sama, terbongkarnya kebatilan madzhab syiah.
Apakah para imam syi’ah boleh menerima kenyataan bahwa pengikut mereka tidak boleh menyusun kitab yang berisi sabda-sabda mereka yang sahih, paling tidak sebagai bukti kesetiaan pengikut pada imam-imamnya, dengan menjaga warisan-warisan apra imam agar tidak tercemar dari para penipu yang ingin memanfaatkan nama besar mereka. Sekarang ini sangat sulit diketahui mana yang benar-benar sabda para imam dan mana yang hasil gubahan dari para oportunis yang ingin memanfaatkan para imam untuk tujuan pribadi masing-masing. Akhirnya para pengikut tidak boleh menemukan mana sabda imam yang benar-benar asli.
Akhirnya kita bertanya, mengapa kaum syi’ah mewajibkan orang untuk mengikuti sebuah mazhab yang tidak memiliki kitab yang berisi riwayat sahih dari para imam keluarga Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam], yang tidak lagi memerlukan ijtihad ulama kerana berasal dari sabda para imam itu sendiri, yang mana dengan itu kita bisa mengetahui syareat-syareat para imam, juga kitab itu boleh dijadikan pedoman untuk para pengikut imam di seluruh penjuru bumi. Jika memang semua masalah agama tergantung pada para mujtahid dan tidak ada keterangan sama sekali dari para imam, kita perlu bertanya ulang dan berpikir, sebenarnya kita mengikuti mujtahid atau para imam? Akhirnya penganut syi’ah hanya mengikuti mujtahid tanpa pernah boleh tahu mana sabda imam yang benar-benar asli sabda imam. Padahal ulama dan teman-teman syi’ah telah “berbusa-busa” menjelaskan pada umat tentang kewajiban untuk mengikuti para imam yang maksum, tetapi dalam kenyataan yang mereka ikuti adalah para mujtahid yang sama sekali bukan maksum.
Jika memang benar penganut syi’ah tidak boleh menyaring mana yang benar-benar sabda imam, maka mengikuti imam adalah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, apa yang tidak mungkin dilakukan tidak mungkin pula diwajibkan oleh Allah, kerana bagaimana Allah boleh mewajibkan manusia untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan? Jika kita melihat ada ayah yang menyuruh anaknya yang berusia dua tahun untuk membangun rumah, maka kita katakan ayah itu gila, kerana menyuruh si anak untuk melakukan sesuatu yang mustahil boleh dilakukan.
Apakah kenyataan tidak adanya kitab yang sahih adalah sebuah kesengajaan untuk menjauhkan umat [tanpa mereka sadari] dari ahlulbait dan menggiring mereka untuk mengikuti para mujtahid. Maka sebenarnya kaum syi’ah saat ini adalah pengikut para mujtahid syi’ah [yang sama sekali bukan maksum] bukannya pengikut para imam syi’ah. Para ulama syi’ah hari ini mengatakan bahwa syi’ah tidak memiliki kitab yang isinya riwayat shahih dari para imam, kerana pintu ijtihad selalu terbuka. Kita pun bertanya di sini, apa sebenarnya manfaat ijtihad? Bukankah kita sudah cukup dengan mengikuti para imam yang maksum? mengapa para ulama syi’ah merasa khawatir jika penganut syi’ah hanya bertaqlid kepada para imam? Kerana fakta yang ada dari kehidupan keluarga Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam] bertolak belakang dengan apa yang didoktrinkan ulama syi’ah kepada pengikutnya, dan ini sesuai dengan apa yang ada dalam kitab-kitab syi’ah, di mana tercantum bahwa para imam memuji sahabat dan kenyataan lain yang membuktikan adanya hubungan kasih sayang yang terjalin antara sahabat Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam] dan para imam ahlulbait, sebuah kenyataan yang tidak disukai oleh seluruh ulama syi’ah. Jika ada kitab yang isinya shahih dalam mazhab syi’ah, penganut syi’ah akan mendapati dalam kitab itu riwayat bahwa Ali membaiat tiga khalifah sebelumnya, tidak hanya berbaiat tapi juga mendukung dan membantu mereka, demi Allah jika memang Ali memiliki hak maka dia tidak akan meninggalkan hak itu, sedangkan kita sudah tahu siapa Ali, mereka akan menemukan bahwa Hasan bin Ali bin Abi Thalib melengserkan diri dari jabatan khalifah dan menyerahkannya pada Muawiyah, dua hal ini, yaitu Ali yang berbaiat pada khalifah sebelumnya dan Hasan yang menyerahkan jawatan khalifah pada Muawiyah, adalah dua peristiwa yang menggugurkan sebuah prinsip yang terpenting dalam mazhab syi’ah, yaitu ajaran imamah, yang imam yang maksum membantah prinsip imamah dan membuktikan secara nyata bahwa imamah bukan salah satu ajaran pokok agama, kerana figur seperti Ali dan Hasan tidak mungkin meninggalkan ajaran agama yang terpenting, dan mereka tidak mungkin menjadi penipu dan berpura-pura [bertaqiyah], tetapi ketika mereka meninggalkan jawatan khalifah ini adalah bukti nyata bahwa penunjukan [nash] bagi mereka memang tidak ada, maka boleh dikatakan bahwa Ali dan Hasan membantah apa yang diyakini oleh orang awam syi’ah yang selama ini ditipu oleh ulama yang memang tidak menginginkan orang awam untuk menjadi pengikut ahlulbait yang sebenarnya, tetapi ulama itu menginginkan orang awam agar mengikuti ulama dengan setia ketika ulama itu menyelisih ahlul bait, dengan menciptakan permusuhan dan kebencian antara sahabat Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam] yang mulia dan keluarga Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam], kerana ada kebencian di hati para ulama syi’ah pada para sahabat Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam] yang dipuji oleh Allah dan RasulNya.

Maka anda jangan mengharap munculnya kitab yang seluruh isinya adalah riwayat sahih dari ahlulbait, dan kondisi ini sudah berlalu lebih dari seribu tahun, kita lihat ajaran syi’ah belum sempurna dan menunggu sampai sempurna, agar ulama syi’ah dapat menulis kitab yang isinya riwayat shahih dari Nabi [Shallallahu Alaihi Wa Sallam] dan keluarganya.

Apakah Syi’ah Memiliki Kitab Shahih?[1]

Ahlussunnah memiliki kitab yang seluruh isinya sahih, namun kata ulama syi’ah bahwa syi’ah tidak memiliki kitab yang seluruh isinya sahih. Mengapa ulama syi’ah mengatakan demikian?


Saat anda menanyakan pada ulama (beberapa tingkat di atas ustadz) syi’ah tentang beberapa pertanyaan yang tidak ada jawabannya dalam mazhab syi’ah, seperti tentang hubungan kasih sayang dan tolong menolong yang terjalin erat antara sahabat dan keluarga Nabi, juga seperti hal-hal yang tidak masuk di akal sehat manusia, juga kontradiksi yang ada dalam mazhab syi’ah yang tidak pernah boleh diselesaikan, dan hal-hal lain yang tidak masuk akal namun tercantum dalam kitab-kitab mereka, mereka sudah memiliki jawaban yang siap pakai –instan-yang hanya menggambarkan kelemahan dan ketidak jelasan, bahkan lebih jauh lagi, jawaban mereka ini adalah aib bagi mazhab yang katanya berasal dari langit –dari ahlul bait, dari Nabi lalu dari Allah-, apa jawaban mereka? yaitu : dalam mazhab syi’ah tidak ada kitab hadits yang seluruh isinya sahih. Apakah jawaban ini benar adanya? Apa saja konsekuensi-konsekuensi yang timbul dari jawaban seperti ini? Atau jawaban ini tidak benar adanya dan hanya mereka katakan untuk sekadar menipu dan lari dari pertanyaan yang tidak boleh mereka jawab, dan untuk sekadar menutup mata dari kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam mazhab syi’ah
Jika memang pernyataan ini benar adanya, bahwa tidak ada kitab yang isinya seluruh hadits sahih, lalu ke mana kesahihan ulama mazhab syiah, masa ulamanya tidak boleh mengumpulkan hadits sahih dan menulisnya dalam satu buku, yang memuat ajaran yang benar dan boleh menjadi pegangan untuk diikuti manusia, bagaimana nanti di hari kiamat ketika ditanya mengapa tidak mengikuti ajaran yang benar, maka orang akan menjawab bagaimana kita bisa tahu ajaran yang benar wong kita saja tidak boleh tahu mana hadits shahih dan mana yang tidak kerana tidak ada kitab yang berisi kebenaran.
Kita bertanya pada ulama syiah, apa sih susahnya mengumpulkan hadits yang sesuai dengan kriteria sahih dan menuliskannya dalam sebuah buku? Atau ulama syiah hanya ingin mengambangkan persoalan sehingga mazhab syi’ah tidak boleh digugat? Tetapi ini hanya membuat orang tidak mengerti ajaran keluarga Nabi yang sebenarnya, kerana tidak boleh membedakan mana ajaran keluarga Nabi yang sah dan tidak sah. Sehingga jika kita bertanya pada ustadz syi’ah hari ini tentang buku apa yang harus dipelajari untuk mengenal mazhab syi’ah maka tidak akan ada jawaban tentang buku yang seluruh isinya merepresentasikan mazhab ini. Atau jangan –jangan memang tidak ada kriteria hadits shahih menurut ulama syi’ah? Apakah mazhab yang tidak bisa menuliskan ajarannya sendiri perlu untuk diikuti?
Dengan menyatakan bahwa mereka tidak memiliki kitab yang seluruh isinya shahih berarti ustadz dan ulama syi’ah mengakui bahwa mereka tidak memiliki pengetahuan tentang sanad dan perawi hadits, kerana itulah mereka tidak boleh memutuskan status sebuah hadits yang konon berasal dari keluarga Nabi. Dalam kehidupan sehari-hari kita memeriksa kebenaran sebuah berita dari siapa yang membawa berita tersebut, dengan mengetahui kualitas si pembawa berita kita boleh mengambil kesimpulan mengenai berita itu, tetapi di sini ulama syi’ah tidak memiliki pengetahuan tetang perawi yang meriwayatkan dari keluarga Nabi sendiri, maka tidak bisa memutuskan apakah hadits ini sahih atau tidak kerana tidak bisa menilai perawinya. sedangkan penilaian terhadap perawi harus memiliki kriteria dan bukan asal bunyi.
Memang kenyataan ini pahit tetapi tidak bisa dihindari oleh syi’ah sendiri, ini diakui oleh ulama mereka, di antaranya adalah Muhammad bin Hasan Al Hurr Al Amili penulis kitab Wasa’il Syi’ah –salah satu dari delapan literatur utama hadits syi’ah-, yang menyatakan dalam kitab wasa’il syi’ah jilid 30 hal 260 : hadits shahih adalah yang diriwayatkan oleh seorang penganut imamiyah yang adil dan kuat hafalannya di seluruh tingkatan periwayatan, lalu dia menyatakan: jika kriteria ini diberlakukan maka seluruh hadits syi’ah tidak ada yang shahih kerana ulama syi’ah jarang sekali menyatakan status keadilan seorang perawi, mereka jarang sekali menyatakan status keadilan seorang rawi, mereka hanya menyatakan status tawthiq (terpercaya) bagi seorang rawi, yang sama sekali tidak berarti perawi itu adil.  alu Al Amili menyatakan lagi: bagaimana boleh dianggap adil padahal mereka menyatakan dengan jelas bahwa perawi itu tidak boleh dianggal adil, kerana mereka menganggap perawi yang dianggap kafir dan fasiq sebagai perawi terpercaya.
Ini adalah testimoni dari seorang ulama besar syi’ah yang diakui otoritasnya, bahwa syi’ah tidak memiliki pengetahuan tentang sanad dan perawi hadits. Sekarang tinggal kita yang memilih sumber yang kita percaya, sumber yang memiliki otoritas atau sumber lain yang baru masuk syiah 25 tahun yang lalu.


Terkadang ada seorang perawi yang dianggap tsiqah[terpercaya] oleh syi’ah dan diterima periwayatannya, tetapi di tempat lain tertulis bahwa perawi yang dianggap terpercaya tadi adalah seorang yang zindiq dan harus ditolak riwayatnya, ini adalah salah satu contoh dari kebingungan syi’ah tentang sanad hadits, maka jangan hairan ketika kita mendengar mereka mengatakan: kami tidak memiliki kitab hadits yang seluruh isinya shahih, kerana sebenarnya mereka tidak boleh menemukan hadits sahih dalam kitab mereka sendiri.
Ketika ulama syi’ah [berikut kroconya] menyatakan hal ini [tidak ada kitab sahih di syiah] sebenarnya mereka sedang membongkar aib mereka sendiri, kerana pernyataan itu sekadar bentuk pelarian dari hal-hal yang harus mereka terima, yang mereka sendiri kebingungan untuk menjawabnya, atau untuk lari dari hal-hal yang tidak mungkin diterima oleh syareat Islam, kerana memang tidak boleh diterima oleh akal sehat, juga untuk lari dari kontradiksi yang memang tidak bisa lagi disinkronkan, seperti perbedaan yang ada di kalangan syi’ah mengenai orisinalitas Al Qur’an, yang mana keyakinan yang ada pada syi’ah sejak awal [seperti kata kitab syi’ah sendiri] adalah Al Qur’an yang ada saat ini sudah tidak asli lagi, alias sudah dirubah. Hal ini menjadi kesepakatan seluruh syi’ah sampai muncul ulama syi’ah yang menentang hal itu yaitu As Shaduq yang wafat tahun 381 H. Ketika ada teman anda yang syi’ah menyangkal bahwa syi’ah meyakini perubahan Al Qur’an, silahkan anda tanya : tolong sebutkan ulama yang mengingkari adanya perubahan Al Qur’an sebelum As Shaduq, dia tidak akan boleh menjawab, kerana memang mazhab syi’ah benar-benar meyakin hal pendapat perubahan Al Qur’an. Hal ini juga nampak dari bantahan ulama syi’ah yang meyakini perubahan Al Qur’an, yang mana mereka mengatakan bahwa ulama yang mengingkari perubahan Al Qur’an hanyalah sekadar bertaqiyah agar mazhab syi’ah tidak dihujat, kerana hal itu menyelisihi kesepakatan ulama syi’ah yang mendasarkan pada riwayat mutawatir dari keluarga Nabi bahwa Al Qur’an telah diubah.
Ada lagi contoh lain dari kontradiksi yang ada pada mazhab syi’ah, yaitu mereka mengatakan bahwa syi’ah hanya mengambil ajaran agama dari para imam keluarga Nabi yang maksum, tetapi anda akan tertawa terbahak-bahak saat anda tahu bahwa mereka menerima riwayat terkait imam Mahdi dari seseorang yang bernama Utsman Al Umari, seorang penjual minyak samin yang sudah tentu bukan maksum, bagaimana syi’ah bisa percaya dalam masalah yang termasuk ushuluddin [ajaran pokok agama]. Ini adalah sebuah kontradiksi yang tidak dapat dijawab, untuk lari dari kontradiksi seperti ini ulama syi’ah terpaksa mengatakan bahwa syi’ah tidak memiliki kitab yang seluruh isinya shahih.
Ulama syi’ah mengatakan demikian untuk membuat orang awam syi’ah tidak lagi mempersoalkan hal-hal yang membuat mereka bingung, dan agar ulama syi’ah dapat menghalangi syi’ah yang awam dari menggunakan akal untuk berpikir seperti yang diperintahkan oleh Allah, namun ulama syi’ah tidak ingin pengikutnya berpikir sehat, hanya diperintahkan untuk mendengar dan taat, menutup mata agar tidak dapat melihat, karena kamu harus tidak melihat, jangan pikirkan hal itu, karena syi’ah tidak memiliki kitab hadits yang seluruh isinya shahih.
 
[bersambung.... ]
sumber: Hakekat

Mengapa Imam Syi’ah Harus Menyembunyikan Kebenaran? [2]

Apakah kita bisa mempercayai ucapan imam Syi'ah? Jangan-jangan dia bertaqiyah? Bagaimana cara membedakan ucapan imam yang diucapkan saat bertaqiyah dan tidak?  
Taqiyah dan Ilmu Ghaib

Banyak riwayat syi’ah menyatakan bahwa para imam memiliki kekuatan untuk mengetahui hal-hal ghaib?

Imam menjawab pertanyaan dengan taqiyah karena takut fatwanya didengar oleh mata-mata, akhirnya imam berbohong dalam fatwanya untuk menipu si penanya seolah-olah dia bukanlah imam atau ulama, tapi orang jahil atau pengikut ahlussunah.

Kitab syi’ah memuat ratusan riwayat yang menegaskan bahwa para imam syiah mengetahui apa yang ghaib, mengetahui apa yang sudah terjadi dan apa yang terjadi di masa depan, jika dia ingin mengetahui sesuatu maka dapat segera mengetahui, apakah imam tidak tahu apakah orang yang datang bertanya apakah dia merupakan pengikutnya atau bukan?

Al Kulaini dalam Al kafi menjelaskan : Bab Jika para imam ingin mengetahui hal ghaib maka mereka pasti mengetahui [Al Kafi jilid 1 hal 258]

Bab para imam alaihimussalam mengetahui apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, tidak ada sesuatu yang tidak mereka ketahui [Al Kafi jilid 1 hal 260]

Bab para imam jika mereka dihalangi mereka akan memberitahu tentang pribadi setiap orang, positif dan negatifnya [AL Kafi jilid 1 hal 264]

Lalu kemana ilmu yang mereka miliki, karena para imam memberi fatwa bohong pada penanya karena takut jangan-jangan si penanya adalah mata-mata.

Imam sengaja menyembunyikan kebenaran

Si penanya yang ditipu oleh imam dengan jawabannya tadi, dia beribadah pada Allah dengan kebohongan yang diyakininya sebagai kebenaran, karena jawaban itu keluar dari imam yang ditunjuk langsung oleh Allah. Lalu apa dosa si penanya, dia telah datang kepada imam dengan niat untuk bertanya tentang ajaran agamanya, dia ingin meribadah pada Allah dengan mengikuti kebenaran yang diturunkan oleh Allah, yang hanya ditanyakan kepada imam maksum yang terjaga dari kebohongan, kesalahan, baik sengaja maupun tidak –seperti diyakini syi’ah- tapi ternyata sang imam menipu si penanya dengan sengaja dan memberitahukan jawaban yang batil –karena taqiyah-.

Jika imam tidak bisa mengucapkan kebenaran lebih baik diam saja Lalu jika memang imam tidak dapat mengucapkan kebenaran lebih baik diam saja, dan tidak mengucapkan hal yang batil. Allah berfirman:

Katakanlah:"Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung". (QS. 10:69)

(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka.
(QS. 10:70)


Katakanlah:"Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung". (QS. 10:69)

(Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kami-lah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka.
(QS. 10:70)

Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta. (QS. 16:105)

Mereka yang berdusta atas nama Allah dan mengatakan bahwa ini adalah ajaran agama Allah, hanya untuk menyelamatkan jiwanya, padahal mereka diperintahkan untuk menyampaikan ajaran agama, mereka adalah orang yang berbohong atas nama Allah, hendaknya mereka bersenang-senang sebentar saja lalu mereka akan kembali kepada Allah menghadapi ancaman siksa yan gpedih. – sudah pasti ahlulbait tidaklah demikian-

Nabi Muhammad saw mensabdakan : barangsiapa beriman pada Allah dan hari akhir, hendaknya mengatakan yang baik atau lebih baik diam saja. Riwayat Bukhari hadits no : 55559, Riwayat Muslim, hadits no 67.

Kontradiksi dari imam maksum

Mari kita simak bersama kisah yang diriwayatkan oleh An Naubakhti –seorang ulama syi’ah- dari salah seorang imam syiah, :

Seseorang dari syi’ah bernama Umar bin Riyah pergi menghadap imamnya untuk bertanya, setelah diberi fatwa Umar kembali pada sang imam keesokan harinya dan menanyakan padanya pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan kemarin, teapi sang imam menjawabnya dengan jawaban yang berbeda, lalu Umar mengatakan pada sang imam: jawaban ini berbeda dengan jawaban engkau tahun lalu
Lalu Imam berkata: jawabanku adalah karena taqiyah, lalu Umar mulai meragukan kedudukannya sebagai imam,Lalu dia pergi dan menemui salah seorang penganut syi’ah yang bernama Muhammad bin Qais, dan menceritakan apa yang dialaminya: Allah mengetahui bahwa saya hanya bertanya karena berniat untuk beribadah kepada Allah dengan jawaban itu, maka tidak ada alasan baginya untuk bertaqiyah kepadaku, Muhammad bin Qais bertanya: barangkali ada orang lain yang ada bersamamu, barangkali dia bertaqiyah karena ada orang itu.

Umar menjawab: tidak ada orang lain saat aku bertanya pada imam, tetapi imam menjawab pertanyaanku dengan ngawur, dia tidak ingat jawabannya saat kutanya tahun lalu, lalu Umar tidak lagi percaya bahwa imam itu benar-benar imam, lalu mengatakan: tidak mungkin imam memfatwakan hal yang keliru.
[Firaqus Syi’ah hal 59-61]

Demi Allah, sungguh benar, tidak mungkin seorang imam mengeluarkan fatwa yang batil,apakah syi’ah menyadari hal ini dan mengingkari riwayat yang menjelek-jelekkan keluarga Nabi?

Kulaini telah meriwayatkan dari Zurarah bin A’yun; saya bertanya pada Abu Ja’far tentang sebuah masalah, lalu dia menawab pertanyaanku, lalu datang seseorang menanyakan padanya pertanyaan yang sama dengan pertanyaanku, tapi Abu Ja’far memberikan jawaban berbeda dari jawabanku, lalu datang lagi seseorang dan menanyakan pertanyaan yang sama, lalu Abu Ja’far menjawabnya dengan jawaban yang berbeda dengan jawaban bagiku dan orang yang pertama, setelah dua orang itu keluar, saya bertanya: Wahai Putra Rasulullah, dua orang penduduk Irak, keduanya adalah syi’ahmu, mereka bertanya mengapa engkau jawab dengan jawaban yang berbeda?

Imam menjawab: wahai Zurarah, ini lebih baik bagi kami dan kalian, jika kalian sepakat atas sebuah perkara, maka manusia akan mengenal hakekat kami, akhirnya kami dan kalian akan cepat punah [Ushul Al Kafi, jilid 1 hal 65]

Ini adalah satu contoh dari puluhan kontradiksi dalam fatwa. Apakah benar para imam berbohong?

Tidak mungkin para imam berbohong, itu bukanlah akhlak para imam keluarga Nabi

Lalu jika orang tahu bahwa taqiyah adalah ajaran agama, maka bagaimana mereka bisa percaya pada ucapan imam mereka, bagaimana mereka bisa mengetahui apakah imam sedang bertaqiyah atau tidak saat berfatwa.

Syi’ah yang tidak mengetahui kebenaran mengamalkan yang berbeda dari ajaran ahlussunnah.

Lau mereka yang memalsu riwayat ingin memisahkan syi’ah dari umat Islam lainnya, mereka membuat riwayat palsu yang memberi jalan keluar bagi mereka yang tidak dapat bertanya pada imam, atau tidak mengetahui mana yang benar dari dua jawaban , mereka harus melihat amalan ahlussunnah, lalu mengerjakan amalan yang menyelisihi mereka.

Mereka meriwayatkan dari Ja’far As Shadiq, ada orang yang bertanya padanya: jika kami mendapati salah satu dari dua hadits yang sesuai dengan ajaran kaum awam (ahlussunnah) dan satu riwayat lagi berlawanan dengan amalan mereka, riwayat mana yang kami amalkan? Ja’far As Shadiq menjawab: yang menyelisihi kaum awam (ahlussunnah) adalah kebenaran [Ushul Al kafi jilid 1 hal 67-68, Man La Yahhuruhul Faqih jilid 3 hal 5, At Tahzhib jilid 6 hal 103, Al Ihtijaj hal 194, Wasa’ilu As Syi’ah jilid 18 hal 75-76]

Ini adalah kaedah yang aneh dari mazhab syi’ah, Allah dan keluarga Nabi terlepas dari hal ini.
Kata saya: lalu apa perlunya penanya pergi bertanya pada imam? Dia hanya perlu melihat amalan ahlussunnah, lalu mengamalkan amalan yang berbeda dari ahlussunnah.

Taqiyah membuat imam tidak diperlukan lagi

Lalu jika imam memang ditunjuk oleh Allah langsung untuk mengawal agama dan menyampaikannya pada manusia, mengapa imam perlu bertaqiyyah? Jika syi’ah menganggap imam perlu bertaqiyah agar tidak dibunuh, tidak dipenjara dan disiksa, bukankah ini adalah misi imam yang harus disampaikan kepada manusia seperti dilakukan oleh para Nabi walaupun memiliki konsekuensi berat seperti dibunuh dan disiksa karena Nabi dilarang meninggalkan perintah hanya karena takut pada manusia(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang (pun) selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pembuat Perhitungan. (QS. 33:39)

Apakah disebutkan dalam Al Qur’an ada seorang Nabi yang melakukan taqiyah dan tidak menjelaskan risalah Allah pada kaumnya?

Padahal syi’ah menganggap jabatan imamah sama seperti jabatan kenabian –mestinya imam sama seperti Nabi dalam hal keberanian dan kesabaran- maka imam harus menyampakan kebenaran walaupun berakibat dia dibunuh karena agama dan ekeridhoan Allah lebih berharga dari dirinya, apa gunanya Nabi –atau imam- hidup sedangkan agama Allah tidak tersampaikan?

Jika memang imam sama seperti pengikutnya, tidak bertanggung jawab atas penyampaian agama lalu apa gunanya jadi imam?

Juga mengapa imam perlu bertaqiyah padahal imam memiliki kekuatan yang luar biasa yang tidak terbayangkan, bahkan seluruh alam adalah di bawah kekuasaannya? Seperti anggapan syi’ah.

Terakhir, silahkan telaah kitab Madinatul Ma’ajiz, karangan Sayid Hasyim Al Bahrani, anda akan terheran-heran karena dalam kitab itu disebutkan bahwa Ali memiliki lebih dari lima ratus mu’jizat. Mengapa mu’jizat itu tidak digunakan untuk memenangkan agama?

Orang-orang yang dianggap oleh syi’ah sebagai imam adalah manusia biasa, mereka hidup sebagaimana orang beriman lainnya, merka adalah orang shaleh dan ahli ibadah, merka tidak ada hubungannya dengan imamah dan tidak pernah mengaku-aku menjadi imam, hanya ada orang-orang yang menjual mereka dan padahal mereka tidak pernah mengatakan hal itu, juga mereka tidak memiliki mu’jizat, jika memang mereka memiliki mu’jizat maka keadaannya akan berbeda, sudah pasti mereka akan melawan mereka yang mengganggu dan menjual omongan mereka, kelak nanti di hari kiamat apa yang ada dalam dada akan dibongkar,mereka yang mati akan dibangkitkan, ornag yang pembohong dan pendosa akan dihukum.

Akhirnya, bagaimana sikap ulama syi’ah yang memberikan fatwa pada umat syi’ah?

Apakah mereka akan bertaqiyah seperti imam mereka? Jika mereka bertaqiyah bagaimana kita bisa percaya pada ucapan mereka? Jika mereka tidak bertqiyah mengapa mereka tidak melakukannya? Apakah mereka lebih berani daripada para imam, ataukah mereka tidak meyakini kewajiban taqiyah?

Jika mereka tidak meyakini kewajiban taqiyah, para imam melakukannya, mengapa ulama syi’ah mengaku sebagai pengikut imam ahlulbait lalu tidak bertaqiyah seperti mereka?

Kita ketahui dalam sejarah bahwa syi’ah selalu hidup dalam ketakutan, kecuali pada masa kerajaan Bani Buwaih dan dinasti Shafawi serta masa sekarang ini, selama kurang lebih tiga puluh tahun terakhir?

Padahal taqiyyah adalah ajaran agama, seperti tercantum dalam riwayat dari para imam dan pernyataan ulama syi’ah. Taqiyah akan menjatuhkan kehormatan para ulama dan membuat manusia ragu atas fatwa mereka. Jika ulam asyi’ah tidak bertaqiyah maka hal adalah pelecehan terhadap apra imam, karena ternyata pengikut para imam lebih pemberani dibanding para imam itu sendiri yang melakukan taqiyah untuk menyelamatkan jiwa mereka.

Kita memohon pada Allah agar membuat kita melihat kebenaran sebagai kebenaran serta memberi karunia pada kami agar dapat mengikutinya, dan agar membuat kita melihat kebatilan sebagai kebatilan, dan memberi karunia pada kami agar menghindarinya.

Sumber: Hakekat