|
Manuela Muallaf |
MANUELA Mirela Tanescu, seorang wanita yang lahir dan besar di Bukrarest, Rumania. Keluarga Manuela adalah penganut Kriten Ortodoks, namun mereka tidak terlalu religius dan cukup dengan percaya adanya Tuhan. Hal ini membuat manuela tidak pernah pergi ke gereja sedjak kecil.
Suatu waktu, ketika Manuela dinikahi oleh Muslim asal Palestina, hidupnya pun berubah. Melalui suaminya, manuela bisa berkenalan dengan Islam. Hingga akhirnya setelah mengunjungi Yordania, Suriah, Iran, Pakistan, Malaysia dan Indonesia, Manuela memutuskan untuk memeluk Islam di Teheran, Iran.
Menurut pandangan Manuela, Islam adalah agama yang mudah dipahami dan sangat logis, berbeda halnya dengan agama Kristen yang membingungkan. Ia mencontohkan, umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan shalat lima waktu setiap harinya, sementara orang Kristen hanya beribadah pada hari Ahad saja. Singkatnya, kewajiban itu membuat umat Islam cenderung lebih religius ketimbang umat Nasrani.
Manuela tidak hanya terpesona dengan tata cara beribadah umat Islam, ia juga tertarik dengan tata cara kehidupan umat muslim di sejumlah negara Islam. Hal lain yang menarik perhatian dirinya adalah selama kunjungannya ke sejumlah negara Islam, lingkungan yang ditinggali umat Islam lebih bersih ketimbang daerah yang dihuni non-muslim. Selain itu, Islam menghormati dan memuliakan semua Nabi dan Rasul.
Hal ini membuat Manuela mengagumi dan mencintai sosok Rasulullah SAW. tanpa kehilangan Yesus (Nabi Isa as.).
Kekaguman Manuela lainnya adalah Islam sangat menghargai perempuan. Sebabnya, ia merasa heran dengan sikap Barat yang selalu saja menyatakan bahwa muslimah itu lebih rendah derajatnya dibanding laki-laki. Padahal, perempuan Barat justru lebih direndahkan sebagai akibat dari materialistis peradaban barat. Mereka menjadi komoditas dan objek seksual tanpa batas. Sementara dalam Islam tidak demikian.
Manuela berpendapat bahwa banyak orang yang membenci Islam karena mereka tidak tahu bagaimana Islam sebenarnya. Itu juga menjadi otokritik kita sebagai Muslim, yang kadang lupa dengan identitasnya sebagai Muslim. [ns/islampos/kisahmuallaf]
ALEXANDER Pertz, bocah Amerika yang dilahirkan dari keluarga Nasrani pada tahun 1990 M. Sejak awal, ibunya telah memutuskan untuk membiarkannya memilih agamanya sendiri jauh dari pengaruh keluarga atau masyarakat.
Begitu dia bisa membaca dan menulis, maka ibunya menghadirkan untuknya buku-buku agama dari seluruh agama, baik agama langit atau agama bumi. Setelah membaca dengan mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim. Padahal ia tak pernah bertemu muslim seorangpun.
Dia sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia mempelajari sholat, dan mengerti banyak hukum-hukum syar’i, membaca sejarah Islam, mempelajari banyak kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan belajar adzan.
Semua itu ia rasakan tanpa bertemu dengan seorang muslimpun. Berdasarkan bacaan-bacaan tersebut dia memutuskan untuk mengganti namanya yaitu Muhammad ‘Abdullah, dengan tujuan agar mendapatkan keberkahan Rasulullah saw yang dia cintai sejak masih kecil.
Salah seorang wartawan muslim menemuinya dan bertanya pada bocah tersebut. Namun, sebelum wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah tersebut bertanya kepada wartawan itu, “Apakah engkau seorang yang hafal Al-Quran?”
Wartawan itu berkata “Tidak.” Namun sang wartawan dapat merasakan kekecewaan anak itu atas jawabannya.
Anak itu kembali berbicara dan menceritakan tentang beberapa hal berkenaan dengan kawan-kawannya, atau gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau minumnya, peci putih yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di kepalanya dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun umum untuk mengumandangkan adzan sebelum dia sholat. Kemudian ia berkata dengan penuh penyesalan, “Terkadang aku kehilangan sebagian sholat karena ketidaktahuanku tentang waktu-waktu sholat.”
Kemudian wartawan itu bertanya pada sang bocah, “Apa yang membuatmu tertarik pada Islam? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja?” Dia diam sesaat kemudian menjawab.
Bocah itu diam sesaat dan kemudian menjawab, “Aku tidak tahu, segala yang aku ketahui adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku menambah bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku.”
Wartawan itu bertanya kembali, “Apakah engkau telah bisa melakukan shaum di bulan Ramadhan?”
Muhammad tersenyum sambil menjawab, “Ya, aku telah melakukannya di bulan Ramadhan tahun lalu dengan sempurna. Alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku shaum. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama.” Kemudian dia meneruskan, “Ayah menakutiku dan berkata bahwa aku tidak akan mampu melakukan ibadah ini, akan tetapi aku tetap shaum dan tidak mempercayai hal tersebut.”
“Apakah cita-citamu ?” tanya wartawan tersebut. Dengan cepat Muhammad menjawab, “Aku memiliki banyak cita-cita. Aku berkeinginan untuk pergi ke Makkah dan mencium Hajar Aswad.”
“Sungguh aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji sangatlah besar. Adakah penyebab hal tersebut?” tanya wartawan lagi.
Ibu Muhamad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata “Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian manusia menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius, melainkan mengimaninya dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain.”
Tampaklah senyuman di wajah Muhammad ‘Abdullah, dia melihat ibunya membelanya. Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang thawaf di sekitar Ka’bah, dan haji sebagai sebuah lambang persamaan antar sesama manusia sebagaimana Allah telah menciptakan mereka tanpa memandang perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.
Kemudian Muhammad meneruskan, “Sesungguhnya aku berusaha mengumpulkan sisa dari uang sakuku setiap pekannya agar aku bisa pergi ke Makkah Al-Mukarramah pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke sana membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300 dollar.”
Ibunya menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan kesan keteledorannya, “Aku sama sekali tidak keberatan dan menghalanginya pergi ke Makkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup uang untuk mengirimnya dalam waktu dekat ini.”
“Apakah cita-citamu yang lain ?” tanya wartawan. “Aku bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum muslimin. Ini adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi) dari mereka.” jawab Muhammad.
Ibunya melihat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun memberikan isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia dengan ibunya sekitar tema ini.
Muhammad berkata, “Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina.”
“Apakah engkau mempunyai cita-cita lain?” tanya wartawan lagi. Muhammad menjawab, “Cita-citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al Quran.”
“Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam?” tanya wartawan. Maka dia menjawab dengan meyakinkan, “Tentu.”
“Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan? Bagaimana engkau menghindari daging babi?”
Muhammad menjawab, “Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikkan. Aku sangat heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya? Keluargaku mengetahui bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka tidak menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka aku kabarkan kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi.”
“Apakah engkau sholat di sekolahan?” tanya wartawan itu lagi. “Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan tempat shalat setiap hari,” jawab Muhammad.
Kemudian datanglah waktu shalat maghrib di tengah wawancara. Bocah itu langsung berkata kepada wartawan,”Apakah engkau mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan?”
Kemudian dia berdiri dan mengumandangkan adzan. Dan tanpa terasa, air mata mengalir di kedua mata sang wartawan ketika melihat dan mendengarkan bocah itu mengumandangkan adzan. [hf/islampos/atjehcyber]
|
shiongthiam |
TERLAHIR di lingkungan keluarga Tionghoa yang menganut agama Tapekkong di daerah PTP Perkebunan V Sei Karang, Kebun Tanah Raja (sekitar 50 km dari kota Medan). Lahir 18 Mei 1954 dengan nama Siong Thiam (dialek Hokkian) atau Song Thien dalam dialek Mandarin.
Sejak kecil, Ayah dan ibunya telah membiasakan Siong Thiam dan kesepuluh orang adiknya untuk melaksanakan upacara keagamaan dengan baik. Misalnya, diajak sembahyang di Klenteng maupun di rumah, seperti menyembah malaikat (pay sin) setiap pertengahan dan akhir bulan. Juga menyembah bulan (pay guek nio) setiap tanggal 15 bulan 1 dan tanggal 15 bulan 8 (dalam kalender Cina). Pada setiap awal tahun, mereka menyembah Tuhan Langit (Thi Kong), tetapi lebih sering disebut Pay Jhit Thau (menyembah matahari).
Lingkungan perkebunan dengan berbagai suku yang bekerja, seperti orang Melayu Deli, orang Batak, Mandailing, dan juga keturunan Jawa, telah membentuk pergaulan Siong Thiam. Sejak kecil ia sudah akrab dengan kawan-kawannya yang terdiri atas berbagai suku bangsa. Dari pergaulan dengan lingkungannya ini pula Siong Thiam kecil mulai mengenal agama lain di luar agama keIuarganya. Ia sudah dapat merasakan betapa meriahnya kaum muslimin merayakan Idul Fitri (Lebaran) dan orang Kristen merayakan Natal.
Setamatnya di SD di Perkebunan Tanah Raja, Siong Thiam melanjutkan sekolah ke SMP Negeri Perbaungan (sekitar 30 km dari Medan). Di sekolah inilah ia mulai mengetahui pokok-pokok ajaran agama Islam yang disampaikan Ustadz Syahruddin Asid pada pelajaran agama di sekolah tersebut. Sebetulnya, bagi siswa yang bukan Islam boleh meninggalkan kelas sewaktu pelajaran agama (Islam) tersebut, namun Siong Thiam memilih tetap di dalamn kelas.
Sewaktu ibunya melahirkan adik yang kesepuluh, dan ternyata kembar dua tapi satu meninggal dunia. Oleh Ayahnya, yang meninggal itu dikuburkan begitu saja, tanpa upacara, sebagaimana lazimnya jika yang meninggal itu orang dewasa (tua). Bahkan, petinya diambil dari bekas kotak sabun. Betapa sedihnya hati Siong Thiam ketika menyaksikan kenyataan tersebut. Alangkah berbeda ketika ia menyaksikan penghormatan luar biasa yang diberikan tatkala pamannya yang sudah tua meninggal dunia. Segala perbekalan ikut dimasukkan ke dalam kuburan, sebagaimana layaknya seorang hidup yang akan bepergian jauh.
Ketika persoalan perlakuan yang berbeda ini, Siong Thian bertanya kepada orang tuanya, ia dibuat terperanjat sebab menurut paham yang diyakini secara turun-temurun oleh penganut Toapekkong bahwa bila yang mati itu anak kecil atau bayi, maka kematiannya dianggap suatu malapetaka, pembawa sial bagi seluruh keluarga. Mendengar keterangan yang seperti itu, kecutlah hatinya, karena pada saat itu ia masih termasuk anak-anak (remaja) yang masih bersekolah. Sejak kejadian itu, Siong Thiam pun menjadi ragu dengan kebenaran ajaran yang dianut keluarganya, karena membedakan manusia dari umumya, bukan dari amal perbuatannya.
Sejak peristiwa yang mengganggu pikiran itu, Siong Thian pun berusaha mencari dan mempelajari agama lain. Apalagi pada saat itu (antara tahun 1966-1967) kesadaran beragama sedang marak-maraknva, setelah gagalnya kudeta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang terkenal sebagai G 30 S/PKI. Dimana-mana Ia selalu menyaksikan masjid dan mushala penuh sesak. Begitupun jemaat di gereja. Semua itu tentu saja berpengaruh kepada jiwanya yang baru berusia 14 tahun. Karena di lingkungan tempat tinggalnya mayoritas Islam, maka saya lebih dulu tertarik kepada Islam. Tetapi, ketika mendengar isi ajaran Islam dari teman-temannya, rasa tertarik pun jadi sirna seketika, karena banyak isi ajaran Islam yang berlawanan dengan hobi dan kegemarannya.
Menurut penilaian Siong Thiam waktu itu, isi ajaran agama Islam terlalu berat. Terlampau banyak mengharamkan kebiasaan dan kegemaran saya. Ini tidak boleh, itu pun tidak boleh. Tidak heran, bila saat itu ia lebih tertarik kepada ajaran agama Kristen yang menghalalkan apa yang dihalalkan oleh ajaran agama yang dianut leluhur kami.
Namun, Siong Thiam tidak segera memasuki agama Kristen. Dia takut salah pilih, dan nantinya terpaksa meninggalkannya pula. Ia tidak ingin disebut plin-plan, suatu gelar yang tidak enak didengar. Maka, ia pun mulai membanding-bandingkan kedua agama (Islam dan Kristen) tersebut, walaupun dengan pengetahuan yang terbatas berdasarkan pelajaran yang ia dapat di sekolah dan juga dari teman-temannya.
Pada saat jiwanya sedang mencari pegangan hidup, kaum muslimin di lingkungannya membangun masjid. Kebetulan masjid tersebut dibangun persis bersebelahan dengan rumahnya. Tempat wudhunya yang terbuka, secara kebetulan pula setentang dengan letak dapur rumahnya. Jadi, pada setiap petang-menjelang magrib, ia dapat menyaksikan orang berwudhu dan shalat di sana.
Mulanya Siong Thiam hanya memandang heran terhadap apa yang mereka kerjakan, baik kala berwudhu maupun saat shalat. Tetapi lama-kelamaan, pandangannya itu berubah dan melahirkan suatu ketakutan yang luar biasa, mungkin lebih daripada apa yang mereka lakukan dan rasakan. Rasanya, belum ada agama yang mengajarkan kebersihan dan keagungan setinggi ini, kecuali ajaran agama Islam. Bersih pakaian, bersih badan, bersih tempat, dan bersih hati, untuk menghadap Tuhan Yang Mahasuci. Dengan demikian, Ia pun mulai tertarik kepada ajaran agama Islam.
Hatinya berkata, “Inilah agama yang harus kupilih dan kujadikan pegangan hidupku.” Tetapi sayang, terlampau banyak ajaran Islam yang mengharamkan hobi dan kegemaran saya.
Sampai pada suatu hari di bulan Februari 1969, Siong Thiam menderita penyakit berat. Badannya menjadi kurus dan ceking. Ia hanya berbaring di tempat tidur. Kata dokter, ia menderita malaria tropicana. Tiba-tiba suatu bayangan yang mengerikan mendadak menyusup ke dalam hatinya. Betapa tidak, bila ia mati saat itu, berdiri bulu roma membayangkan bila ia mati saat itu, disaat masih dianggap mendatangkan kesialan bagi keluarga. Belum lagi membayangkan apa yang akan ia temui setelah berada di dalam kubur. Di saat seperti itulah ia mengharapkan pertolongan. Tetapi, kepada siapa ?
Secara bergantian terlintas Toapekkong yang disembah orang di Klenteng dan patung Yesus yang disembah orang Kristen di gereja. Tetapi, keduanya tidak mampu menenteramkan kegundahan saya. Di.saat itulah, sayup-sayup terdengar suara azdan maghrib dari masjid sebelah rumah. Terbayanglah olehnya saat mereka berdo’a mengangkat tangan dan menengadah, dari saat mereka shalat menyembah Tuhan dengan mengangkat kedua tangan sambil menundukkan kepala. Saat mereka berada dalam kesucian dan keheningan menghadap Tuhan mereka.
“Ya, Tuhan in ilah yang dapat menolongku. Dialah Tuhan satu-satunya. Tuhan pencipta langit dan bumi beserta isinya. Tuhan yang disembah orang-orang Islam. Dialah yang dapat menolongku.” Begitulah suara batin Siong Thiam saat itu.
Tanpa ia sadari sepenuhnya, tiba-tiba bibirnya berbisik pelan, “Tuhan berilah aku kesempatan untuk memasuki agamaMu, agar aku dapat mengamalkan ajaran agama-Mu!”
Tampaknya Tuhan memberikan kesempatan, dan ia pun merasa kian sembuh dari penyakit. Tanpa menanti waktu lebih lama, karena ia tidak tahu apakah ia akan sembuh benar atau tidak, ia pun pergi meninggalkan rumah dan keluarga menuju ke tempat di mana ia dapat masuk Islam.
Singkat cerita, pada hari Kamis, 3 April. 1969, di Masjid Taqwa Lubuk Pakam, Siong Thiam mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat, dibimbing Ustadz Hasan Basri, disaksikan para jamaah yang memenuhi ruangan masjid itu. Allahu Akbar!
Setelah merasa sembuh benar, Siong Thiam kembali ke rumah orang tuanya. Rupanya seisi rumah sudah mengetahui perihal keIslamannya. Mama menyambutnya dengan isak tangis. Dan, dalam dekapannya mama membisikkan ucapan yang tidak pemah dapat saya lupakan sepanjang hidup. “Mama tidak dapat menahanmu kalau kau masuk Islam. Tetapi mama pesan, kalau masuk Islam jadilah orang Islam yang benar. Jangan kepalang tanggung: Kalau tidak, kembalilah segera sebelum bertambah jauh.”
Pesan mama inilah yang menyadarkan kewajibannya untuk segera memahami dan mendalami ajaran Islam. Maka, Siong Thiam yang mendapat nama baru Alifuddin El-Islamy pun mulai merantau menuntut ilmu agama. Setelah belajar Al Qur’an kepada Ustadz Ahmad Onga (ahnarhum) di Lubuk Pakam, Ia pun melanjutkan pelajaran ke Bukittinggi berguru kepada Bapak Sabiran Datuk Gunung Kayo. Setelah itu, Ia berguru kepada Buya H. Nawawi Arief di Padang Panjang, Sumatra Barat. Di samping belajar, ia juga aktif berdakwah. Beberapa tempat telah ia singgahi. Bahkan, ketika ia pindah ke Palembang untuk melanjutkan pendidikan ke IAIN Raden Fatah, ia sudah ditempatkan di bagian Pembinaan Kerohanian PT Pupuk Sriwijaya Palembang, dan bekerja di sana selama 11 tahun. Dan kini ia aktif di kepengurusan DPP PITI sebagai salah satu Ketua PITI. [ns/islampos/ptdikti/swaramuslim]
ABDALLAH, seorang lelaki berdarah India namun lahir dan besar di Toronto. Agama dan budaya yang ia anut sebelum masuk Islam adalah agama Hindu dan budaya barat Kanada.
Semasa kecil ia selalu mengunjungi kuil, melakukan kemah musim panas, sekolah pada hari Minggu dan selalu mengikuti kegiatan keagamaan lainnya. Hal ini membuat ia mengenal semua adat istiadat dan ritual yang dilakukan kedua orangtuanya dan orang-orang yang berada di lingkungan sekolahnya.
Abdallah mengungkapkan bahwa perjalanannya menuju Islam berbeda jauh dari kebanyakan mualaf lain yang rata-rata memiliki masalah emosional yang mendorong mereka menuju kebenaran. Ia hanya mengaku bahwa semasa muda ia merasa tidak cocok dengan agama yang dianut orangtuanya meski ada suatu saat ketika ia begitu membela dan taat terhadap agama orang tuanya.
“Saya begitu taat seperti kerang. Namun saat itu yang ada terasa kosong dalam diri saya. Saya sadar bahwa saya hanya mencoba membela diri dan berpikir orang-orang akan menyerang keyakinan ini dari berbagai aspek,” ujar Abdallah.
Ketidakcocokan Abdallah terhadap agama yang dianut orangtuanya dikarenakan ia sangat sulit menerima gagasan banyak tuhan untuk disembah. Banyak pemaparan yang berbeda-beda yang ia dapatkan yang sama sekali tidak logis dan tidak ilmiah. Hal tersebut membuatnya tidak puas dengan kebenaran yang ia yakini saat itu.
Rasa ketidakpuasan tersebut membuat Abdallah meninggalkan agama Hindu pada uisa remaja dan menemukan kitab Injil.
“Saya membaca kitabInjil. Saat itu saya mengagumi kitab tersebut karena didalamnya terdapat konsep satu Tuhan. Kalau tidak salah saya temukan itu pada Kitab Perjanjian Lama,” tutur Abdallah.
Tuhan yang Abdallah kenal dari Injil, menurutnya sangat baik hati dan di saat bersamaan hadir konsep nabi, yaitu seorang manusia pembawa pesan tuhan dan ia bukanlah entitas Esa.
“Bisa dibilang konsep itu sangat menarik hati saya. Setelah itu pencarian saya terus berjalan,” lanjut Abdallah.
Ia pun membuka bagian Kitab Perjanjian Baru. Lagi-lagi ia merasa takjub dengan nilai-nilai yang ia temukan didalamnya. Ia langsung jatuh cinta dengan karakter Yesus. Namun sosok dia sebagai entitas Tuhan, sulit diterima dalam hatinya dan ia kembali merasa tidak cocok.
Saat itulah ia mulai menolak semua agama dan menjadikan atheis sebagai pilihan hidupnya untuk sementara waktu. Namun ia pun sulit untuk bisa menerima konsep atheisme. Karena ia menyadari dalam hati ataupun dari logika bahwa seluruh hal yang ia temukan di sekitarnya pasti diciptakan oleh sesuatu yang luar biasa. Hal ini membuatnya terus berjalan dari satu agama ke agama lain, Budha, Katholik, kuil Sikh, bahkan juga kembali berdoa bersama orang tuanya.
Satu-satunya agama yang tidak pernah ia usik dan ia lihat saat itu adalah Islam. Hal ini dikarenakan ketika orangtuanya tinggal di kota Muslim di India, mereka termasuk Abdallah selalu berpikir bahwa Islam adalah teroris dan Islam selalu menindas hak wanita. Inilah yang selalu menahannya melihat Islam itu lebih jauh.
Namun pada akhirnya ketika Abdallah masuk sebuah universitas, ia menemukan sebuah tempat dimana ia bisa membuka diri dari berbagai gagasan apapun. Hingga akhirnya ia menemukan buku tentang sains dalam Al Qur’an ketika ia hendak menulis tugas akhir untuk gelar sarjana. “Itulah pertama kalinya saya benar-benar mengkritisi dan melihat apa yang diajarkan oleh Islam,” kenang Abdallah.
Saat mengkaji Islam, Abdallah mengaku dalam kondisi sangat rasional. Ia ingin berpikir berdasarkan fakta alih-alih emosi. Ia bersikap seperti itu karena sebelumnya ketika ia mencari kebenaran akan suatu agam ia selalu melibatkan emosi namun hasilnya tidak ada yang mengena. Selain itu pemahaman Abdallah saat itu adalah kebenaran bukan hanya sebuah perkara emosi, tapi juga mengandung komponen logis dan rasional.
Pada momen penentuan itulah justru Abdallah menemukan pencerahan. Semua bahan bacaan mengenai sains dalam Al Qur’an mulai mendorong kuat dirinya untuk menggali lebih dalam lagi tentang Islam yang membawa dirinya mengucapkan dua kalimah syahadat.
Setelah menjadi Muslim, Abdallah bercerita kepada orang tuanya dan orang-orang di sekitarnya. Ia juga mulai memelihara janggut. Seperti yang ia duga bahwa keluarga dan orang-orang disekitarnya memiliki pandangan negatif terhadao saya karena seorang Muslim. Namun Abdallah tidak menyalahkan mereka. “Sebenarnya itu disebabkan murni ketidaktahuan karena tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepada mereka, tidak ada yang merangkul mereka untuk memaparkan seperti apa kebenaran dan betapa indahnya Islam itu,” kata Abdallah. Begitupun saat orangtuanya sedikit bereaksi negatif, Abddalah melihat itu sekedar reaksi emosi. Karena pada akhirnya orangtua Abdallah tidak memandang rendah ketika Abdallah menjadi orang lebih baik. Namun kendala lain ia dapatkan kembali ketika ia tidak menemukan dukungan dari lingkungan sosial yang bisa memandunya sebagai Mualaf.
“Tidak ada ‘mesin besar’ untuk menyebarluaskan kebenaran tentang agama Islam ini. Karena itu saya berpikir untuk mengkontribusikan diri sebagai pengingat yang lainnya sekaligus jalan bagi saya untuk memahami agama ini setiap hari,” ujar Abdallah. “Saya melakukan ini agar bisa memberi panduan bagi mualaf lain, membantu mereka melakukan transisi semulus dan semudah mungkin dan membuat mereka memahami bahwa ketika mereka menjadi Muslim, mereka tidak akan kehilangan identitas.”
Abdallah ingin memastikan bahwa mereka masih tetap menjadi diri mereka yang dulu dengan kesukaan, ketertarikan dan hobi masing-masing.
“Saya pikir hal terbesar yang saya dapat dari Islam adalah kepuasan dalam hati. Saya akhirnya memahami mengapa saya di sini dan mengapa alam semesta diciptakan. Saya merasa menyatu dan sejalan dengan alam di sekitar saya, menyatu dengan setiap manusia, bahkan makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Sungguh menimbulkan perasaan indah setiap kali saya bangun pagi, mengingat Tuhan dan mengingat anugerah yang telah Ia berikan kepada manusia. Itulah yang memunculkan sikap hormat saya terhadap setiap manusia, setiap makhluk, hewan, tumbuhan, apa saja. Islam adalah sistem kebenaran di banyak hal. Saya kini belajar untuk lebih menghormati orang tua, tetangga saya, orang-orang dari keyakinan lain dan dari budaya lain.” Kata Abdallah. [ns/islampos/islamislogic]
|
Heather Matthews |
PENAMPILAN Heather Matthews berubah drastis sejak masuk Islam. Dulu ia seorang perempuan “gila pesta” dengan penampilan super-minim. Kini berhijab atau mengenakan jilbab setelah memeluk agama Islam. Baginya Islam mengenalkannya pada kesejatian cinta dan kebahagiaan, yang tidak ia jumpai di gaya hidup lamanya.
Matthews, ibu dua anak itu, masuk Islam empat minggu lalu, dua bulan setelah pulang dari liburan di Ibiza. Ia kini bahkan mengatakan, foto-foto liburannya di Ibiza, tanpa jilbab, adalah sebuah bukti kekeliruan bagaimana dunia Barat mendefinisikan kecantikan.
“Aku melihat cara gadis-gadis masa kini berperilaku dan berdandan, mati-matian menciptakan imej untuk mereka tunjukkan pada orang lain, terutama para pria,” kata dia. “Ini adalah soal menghormati diri sendiri. Jika Anda berpakaian dan berperilaku dengan cara tertentu, baik atau buruk, itu akan mempengaruhi cara orang memperlakukan Anda.”
“Islam mengajarkan pada saya tentang kesejatian cinta, bukan hasrat palsu dan nafsu. Saat ini saya bahkan memandang perjodohan adalah hal yang logis.”
Studi kelompok lintas agama, Faith Matters menemukan, jumlah warga Inggris yang akhirnya memeluk agama Islam saat ini melewati angka 100.000, dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Laporan tersebut juga menyebut, dua per tiganya adalah perempuan, dengan rata-rata usia 27 tahun. Seperti halnya Matthews.
Jalannya menuju Islam diawali justru ketika ia meyakinkan mantan suaminya, Jerrome, yang baru saja menjadi muslim, bahwa Islam adalah agama yang salah. Ia yang curiga pada Islam, mulai banyak membaca untuk mendukung argumennya.
Meski mereka bercerai tahun lalu, Heather Matthews terus mempelajari Islam dan makin mengerti. Akhirnya, empat minggu lalu ia mengucap kalimat syahadat di depan ulama lokal. “Aku saat ini memiliki saudari-saudari muslim, mereka membelikan aku hijab dan buku-buku Islami untuk merayakannya. Ini luar biasa.”
Keputusannya itu menimbulkan reaksi dari teman-teman dan keluarga. Juga kenalannya yang kebetulan berpapasan, ternganga melihat kepalanya berjilbab. “Saat memakai jilbab, aku bisa tersenyum pada orang, tanpa membuat mereka berpikir, itu godaan secara seksual,” kata dia seperti dilansir Daily Mail.
Matthews juga sepakat dengan aturan Islam, yang melarang hubungan seks di luar pernikahan. Juga menyimpan kecantikan hanya untuk suami. Ia kini berhenti minum alkohol, hanya mengonsumsi makanan halal, dan berniat puasa penuh di Bulan Ramadhan.
Tak ada paksaan dalam beragama
Meski menemukan ketenangan dalam Islam, Matthews tak akan memaksakan agama barunya pada dua putrinya, Ellah (5) dan Halle (2) hasil pernikahannya dengan Jerrome. Ia memberi kesempatan pada dua putrinya untuk menemukan jalan hidupnya sendiri.
Seperti halnya dirinya. “Orang bisa saja berprasangka, aku dalam tekanan. Tapi tidak. Aku perempuan yang kuat, percaya diri, dan berpikiran bebas,” kata dia. “Aku mungkin masuk kategori orang-orang yang dianggap tak mungkin masuk Islam.”
Namun, Matthews yakin, ia tak menyesali keputusannya. “Mungkin mengejutkan, namun aku memilih Islam demi cinta dan kebahagiaan. Yang jelas hidupku telah berubah.” [sa/islampos/dailymail]
|
mark shaffer |
MARK Shafferr, adalah seorang miliyuner terkenal dan pengacara kawakan di Los Angeles Amerika Serikat khususnya terkait hukum perdata. Kasus besar terakhir yang ditanganinya ialah terkait dengan penyanyi pop terkenal Amerika Michel Jackson sepekan sebelum ia meninggal.
Saat itu, Mark tengah berwisata ke Saudi Arabia untuk mengunjungi beberapa kota terkenal seperti Riyadh, Abha dan Jeddah selama 10 hari.
Seorang guide wisata yang menemani Mark selama 10 hari di Saudi, Dhawi Ben Nashir, menceritakan bahwa sejak menginjakkan kakinya pertama kali di Saudi Mark mulai bertanya tentang Islam dan shalat. Sesampai di Saudi, Mark menginap di kota Riyadh selama dua hari. Selama di Riyadh Mark sangat concern pada Islam. Setelah itu Mark dan Dhawi pindah ke kota Najran, terus ke Abha dan Al-Ula. Di sana terlihat sekali ketertarikannya pada Islam, Khususnya saat mereka berdua keluar berwisata ke padang pasir. Mark kaget saat melihat tiga pemuda Saudi yang mendampingi perjalanannya di Al-Ula, karena mereka shalat di atas bentangan padang pasir yang amat luas. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan.
Setelah dua hari di Al-Ula, Mark dan Dhawi pergi ke Al-Juf. Sesampai di Al-Juf, Mark meminta Dhawi untuk dicarikan buku-buku tentang Islam. Lalu Dhawi pun memberikan beberapa buku tentang Islam. Semua buku tersebut dibaca habis oleh Mark. Esok paginya, Mark meminta Dhawi mengajarkannya shalat. Dhawi pun mengajarkannya shalat dan bagaimana cara berwudhuk. Setelah shalat, Mark bercerita bahwa dia sekarang sangat tentram jiwanya. Kamis sorenya, Mark dan Dhawi meninggalkan Al-Ula menuju kota Jeddah. Selama di perjalanan Mark terlihat serius sekali membaca buku-buku tentag Islam.
Jumat pagi, Mark dan Dhawi mengunjungi kota tua Jeddah. Sebelum waktu sahalat Jum’at masuk, mereka berdua kembali ke hotel dan Dhawi meminta izin kepada Mark untuk shalat Jumat. Saat itu Mark berkata pada Dhawi “Saya ingin ikut Anda shalat Jumat agar saya bisa menyaksikan seperti apa shalat Jum’at itu. Lalu Dhawi menjawab “tentu.”
Mereka pun pergi ke sebuah masjid yang tidak jauh dari hotel tempat mereka menginap di Jeddah. Karena agak terlambat, Dhawi dan sebagian jamaah shalat di luar masjid karena jamaahnya yang mebludak. Terlihat Mark mengamati jamaah apalagi setelah selesai shalat Jum’at, mereka salaing bersalam-salaman dengan wajah yang cerah dan gembira. Mark semakin kagum dengan pemandangan tersebut.
Usai shalat Jum’at, mereka pulang ke hotel, tiba-tiba Mark menyampaikan kepada Dhawi tentang keinginannya untuk masuk Islam. Mendengar keinginan tersebut, Dhawi merasa snang dan menuruh Mark untuk mandi terlebih dahulu.
Usai mandi, Mark pun dibimbing Dhawi mengucapkan dua kalimat syahadat kemudian Mark mendirikan shalat sunnah dua rakaat. Setelah itu, Mark mengungkapakan keinginannya untuk mengunjungi Masjid Haram di Makkah dan ingin shalat di sana sebelum dia meninggalkan Saudi Arabia.
Untuk dapat mewujudkan keinginan Mark, akhirnya Dhawi membawa Mark pergi ke kantor Dakwah dan Irsyad di kawasan Al-Hamro’ Jeddah untuk mengambil bukti formal keislamannya agar dapat memasuki kota Mekkah dan Masjid Haram. Di temapt itu Mark diberi sertifikat sementara masuk Islam. Karena beberapa anggota grup yang mengikuti kunjungan Mark ke Saudi Arabia sudah harus kembali ke Amerika Sabtu sore. Al-Hamdullah, Ustadz Muhammad Turkistani bersedia mengantarkan Mark Ke tanah haram Mekkah pagi itu juga.
Terkait kunjungan Mark ke Masjid Haram, Ustazd Muhammad Turkistani menceritakan bahwa setelah Mark medapatkan sertifikat Islam sementara, mereka pun langsung berangkat menuju Masjid Haram yang mulia. Ketiak Mark menyaksikan Masjid Haram, tampak sekali wajahnya sangat cerah dan memancarkan kegembiraan yang luar biasa. Lalu mereka masuk ke dalam Masjid Haram dan menyaksikan langsung Ka’bah, kegembiraannya semakin bertambah. Demi Allah ini tidak bisa di ungkapkan dengan lisan tentang pemandangan tersebut. Setelah Mark tawaf mengelilingi Ka’bah yang mulia, Ustadz Muhammad dan Mark pun shalat sunnah dan kemudian keluar dari Masjid Haram. Sang Ustadz melihat Mark sangat berat untuk berpisah dengan Masjid Haram.
Setelah Mark Mengumumkan keislamannya, dia sempat mengungkapkan kebahagiaanya pada Koran Al-Riyadh sambil berkata “Saya tidak sanggup mengungkapkan perasaan saya saat ini. Akan tetapi, sekarang saya baru dilahirkan kembali dan kehidupan saya baru dimulai. Saya sangat bahagia. Kebahagiaan yang saya rasakan tidak sanggup saya ungkapkan pada kalian saat saya berkunjung ke Masjid Haram dan Ka’bah yang mulia.”
Terkait pertanyaan langkah ke depan setelah ia masuk Islam, Mark menjelaskan bahwa dia akan belajar lebih banyak tentag Islam, akan mendalami agama Allah ini (Islam) dan akan kembali lagi ke Saudi Arabia untuk menunaikan ibadah Haji.
Lalu terkait faktor pendorong masuk Islam, Mark menjelaskan bahwa sebelumnya dia sudah memiliki informasi tentang Islam, tapi sangat sedikit. Ketika mark berkunjung ke Saudi dan menyaksikan langsung kaum Muslimin di Saudi, Mark merasakan sebuah dorongan yang kuat untuk mengenal lebih banyak lagi tentang Islam. Ketika Mark membca informasi yang benar tentang Islam, Mark pun yakin bahwa Islam adalah agama yang haq (benar).
Pagi Ahad 18 Okteber 2009, Mark meninggalkan Bandara King Abdul Aziz Jeddah menuju Amerika. Sebelum meninggalkan Jeddah, saat mengisi fomulir imigrasi, Mark mencantumkan agamanya adalah ISLAM. [ns/eramuslim]
|
jasmine crawford |
NAMA saya adalah Jasmine Crawford. Saya memeluk Islam pada tahun 2010. Saya memilih Islam karena saya percaya karena Islam adalah ajaran yang benar. Saya meminta Allah SWT memberikan saya petunjuk dan membimbing saya. Sebenarnya saya adalah seorang penganut Katolik dan saya hanya ingin menjadi penganut Katolik yang taat. Maka saya mempelajari berbagai agama. Semakin banyak saya belajar, semakin saya senangi.
Pada mulanya memang agak sulit karena agak sukar untuk saya melepaskan masa lalu saya. Alhamdulillah, saya melakukan perbuatan yang benar.
Sebelum memeluk agama Islam, saya hanya mengetahui Islam seperti orang kebanyakkan mengetahuinya, bahwa Islam adalah teroris dan wanitanya bertutup. Sayangnya saya memang hanya kenal sebagian Muslim yang tidak mengamalkan ajaran Islam dan mereka ini tidak mewakili Islam sebagaimana layaknya. Dan mereka ini lebih gemar keluar dengan non Muslim, mereka memberikan gambaran Islam yang salah.
Maka saya berpikir sama seperti kebanyakkan orang lain, bahwa Islam hanya cara hidup dan bukan agama sebenarnya, seperti apa yang dilakukan oleh orang lain.
Saya mempunyai beberapa orang teman Muslim, maka pintu terbuka untuk saya menjenguk ke dalam. Sekali lagi saya mengetahui tentang Islam, saya juga mendalami Judaisme, Kristen dan Islam. Begitulah saya mengenali Islam karena saya punya teman Muslim.
Yang Paling Menarik: Tiada Tuhan Selain Allah
Apa yang paling menarik dalam Islam bagi saya ialah Tiada Tuhan Selain Allah; Anda langsung menuju Tuhan, karena selama inipun saya memang melakukan hubungan langsung dengan Tuhan. Bukan ada satu hal yang tertentu karena banyak sekali perkara yang berlaku dalam pencarian saya yang membuat saya merasakan bahwa ia benar bagi saya. Bahwa al-Quran tidak pernah berubah merupakan satu hal yang penting bagi saya, dan adanya bukti-bukti saintifik dalam al-Quran, semuanya dalam Islam dapat diterima oleh akal. Islam lebih logis dari agama-agama lain.
Dalam keluarga, hanya saya seorang Muslim. Ada juga saudara jauh yang memeluk agama Islam. Tetapi dalam keluarga, hanya sayalah seorang Muslim. Saya bergantung pada ibu saya!
Alhamdulillah, hubungan saya dengan orangtua baik sekali. Saya mencintai kedua orang tua saya. Ketika saya baru mempelajari Islam, ayah saya jatuh sakit. Dia terkena kanker sekali lagi. Ibu saya merupakan seorang yang terbaik…. Alhamdulillah. Dia membantu saya dalam segala hal. Dia membantu saya dengan membangunkan saya untuk shalat Subuh, dia membelikan makanan halal untuk saya, dia benar-benar seorang wanita yang cantik. Saya begitu dekat dengan ibu saya. Ayah saya meninggal dunia pada Juli 2011. Kami punya hubungan yang baik.
Satu-satunya pertanyaan yang dikemukakan oleh ibu saya ialah “Ibu pikir kamu hanya akan mempelajari Islam?” Selain itu, mereka bukanlah penganut Katolik yang keras. Subhanallah, mereka berkata; “Seandainya Islam membuat kamu bahagia, selagi kamu tidak menganggu orang lain, lakukanlah. Lakukanlah apa yang membuat kamu bahagia”.
Amat mudah menjadi seorang Muslim Amerika di New York. Selagi Anda percaya diri dan punya keyakinan. Sementara memakai jilbab akan dinilai oleh orang lain sebagai gaya Anda. Mereka tidak sadar bahwa saya seorang Muslim. Karena jika Anda melihat apa yang dipakai orang ketika ini, mereka akan mengenakan segala macam rupa sehingga sebagian orang tidak sadar Anda seorang Muslim. Banyak orang yang bertanya dengan saya, dan saya dapat melihat bahwa orang-orang ini sebenarnya baik terhadap saya.Mereka tidak seburuk seperti yang saya pikirkan. Di New York, sangat mudah untuk mencari apa yang Anda inginkan. Saya bisa memastikan di kota-kota lain tidak semudah di New York. Kami punya toko-toko yang menjual makanan halal di setiap penjuru kota. Maka semua menjadi mudah sekali.Belakangan saya banyak makan ikan! Saya merasakan amat senang menjadi seorang Muslim di kota New York.
M.E.C.C.A (Muslim Education and Converts Center of America) adalah sebuah organisasi non-profit. Kami menawarkan kelas. Kami punya program baru untuk Muslim yang menayangkan kepada Muslim baru bagaimana menunaikan shalat, dan semua masalah penting yang Anda perlukan untuk menjadi seorang Muslim. Ketika Anda baru memeluk agama Islam, ia mungkin amat menakutkan dan menakjubkan, kemudian Anda mengucapkan dua kalimah syahadah, dan Anda telah menjadi seorang Muslim. Anda berjalan sendirian dan tidak ada siapapun yang akan mengulurkan bantuan kepada Anda. Anda datang ke sini. Anda mengikuti kelas dengan rekan-rekan lain yang juga memeluk agama Islam dengan bimbingan dari guru-guru berkelayakan yang telah belajar di luar negeri.
Kami juga menawarkan kursus bahasa Arab, akidah dan fiqih. Kami juga mempunyai kelompok bantuan untuk mereka yang baru memeluk agama Islam, bagi Muslimah yang melalui pengalaman yang sama, seperti mereka tidak pasti sama ada mereka bisa mengenakan jilbab atau tidak, kami akan membantu mereka. Kami menawarkan kelas-kelas yang menarik. Kelas-kelas itu bukan hanya untuk Muslim, yang bukan Muslim juga bisa mengikutinya. Di sini kami punya mereka yang baru memeluk Islam, yang lahir dalam Islam, dan mereka yang berminat untuk mengetahui dan mempelajari Islam lebih jauh
Kami juga menawarkan bantuan kepada bukan Muslim atau dengan kata lain kepada mereka yang baru memeluk Islam. Kami punya kumpulan khusus untuk Muslimah dan Muslim, dimana kita akan berkumpul, makan dan bincang bersama akan masalah-masalah yang kita hadapi atau apa yang mereka lalui. Sebagian orang mempunyai situasi yang serupa dengan keluarga mereka atau kawan mereka tidak lagi ingin bercakap dengan mereka. Hal ini memang emosional. Adalah sulit untuk melaluinya dan mereka merasa sendirian, dan kami semua di sini punya hubungan. Seperti sebuah keluarga kecil dan kita semua punya situasi yang sama. Ia merupakan sebuah tempat yang besar, Alhamdulillah.
Mereka yang baru memeluk Islam datang dari berbagai tempat. Saya merupakan campuran hitam dan putih. Ada yang berasal dari Irish, Afrika, dan India. Malah kami juga punya orang Cina. Ada yang dari Spanyol. Yang berkulit putih. Kami punya berbagai ragam, ras, dan bangsa. Inilah Kota New York, Anda akan dapat semuanya. [sa/islampos/onislam]
|
noora al samman |
SAYA berhenti shalat untuk sementara waktu, semoga Allah mengampuni saya. Saya tidak punya seseorang yang memberi dukungan dan bimbingan kecuali orang tua teman-teman saya yang meminta saya patuh saja kepada ibu bapa saya. Rekan-rekan muslim saya tidak dapat memahami apa yang saya lalui, mereka juga tidak dewasa atau berpengetahuan yang mencukupi untuk mengajar saya dan menjawab banyak pertanyaan saya.
Satu hari di Universitas
Satu hari (usia saya 20 tahun) saya berada di universitas, saya menelepon wanita yang memberikan saya Quran karena saya dengar terdapat sebuah masjid yang baru dibangun. Sebelum itu masjid yang terdekat memakan waktu lebih kurang 45 menit – 1 jam. Dia mengatakan bahwa mereka sedang makan malam. Saya pergi, dan ketika saya mendengar suara azan, saya merasa sungguh gembira dan menangis.
Saya mengucapkan syahadah di hadapan banyak orang pada bulan Ramadhan, dan saya bertekad untuk komitmen dan tidak akan peduli lagi dengan orang tua atau orang lain. Saya dapat mengaitkan diri saya dengan Nabi Yunus saat berada dalam perut ikan paus. Saya membulatkan tekad. Saya meninggalkan perbuatan buruk, dan juga teman-teman yang tidak baik. Saya berkawan dengan Muslim.
Saya mulai memakai kerudung dan ibu ayah saya melarang perbuatan saya. Sementara saya terkadang mengikuti ucapan mereka dan terkadang tidak. Ada kalanya saya meletakkan kerudung dalam mobil saya maka mereka tidak dapat melihat saya karena ibu akan memberikan justifikasi bahwa Islam menyuruh anak patuh kepada orang tua. Dia melarang saya mengenakan hijab dan saya haruslah mengenakan pakaian yang bergaya. Dia memberitahu saya bahwa saya kelihatan seperti nenek tua dengan memakai hijab dan pakaian Islami. Satu ketika pernah ibu saya tidak ingin saya dilihati oleh teman-teman adik saya, dia dan adik saya telah menarik kerudung dari kepala saya. Saya terpaksa mempertahankan diri sehingga memukul ibu saya, semoga Allah mengampuni saya.
Ibu mengatakan saya angkuh karena memakai jilbab dan memalukan adik saya dan seluruh anggota keluarga. Dia tidak ingin kelihatan bersama saya di tempat umum di kota kami tinggal. Nenek saya juga turut menyulitkan saya. Ketika saya shalat, dia akan menjerit kepada saya dan berkata, “Tidakkah engkau mendengar kata-kataku.”
Malah dia pernah mengatakan bahwa dia tidak percaya Nabi Isa dilahirkan demikian. Mereka akan mengolok-olok dan mempermainkan saya ketika saya membaca Quran. Kakek saya berhenti dari bercakap dengan saya, ibu dan juga nenek turut mengatakan bahwa saya akan masuk neraka. Malah ibu saya pernah berusaha untuk membawa saya berjumpa psikolog ketika saya masih muda. Dia menjelaskan kepada psikolog tersebut bahwa saya telah memeluk Islam.Ahli psikologi itu memberikan saya obat psychotik. Saya melemparkannya ke dalam tong sampah. Saya merasa sulit untuk belajar. Saya ingin belajar tentang Islam dan menjadi cendikiawan. Kemudian saya mula berusaha mencari jodoh.
Alhamdulillah, saya bertemu dengan seorang muslim dari Damaskus, Suriah. Kami menikah dan saya pindah dari Atlanta ke Houston. Setahun kemudian kami dikaruniakan anak bernama Yusuf. Alhamdulillah, saya sungguh gembira dan saya berharap, insya Allah saya ingin pindah ke Madinah.
Baru-baru ini, saya bertemu dengan seorang muslimah dari Jordan. Dia juga baru memeluk Islam dan melalui pelbagai kepahitan dan penderitaan seperti saya. Saya mendengar berbagai cerita tentang orang yang baru memeluk agama Islam seperti pria Yahudi dari New York yang pindah ke Jerusalem dan memeluk agama Islam. Isteri Yahudi itu asal Marokonya serta anak-anak mereka juga memeluk Islam. Mereka pindah dekat dengan penduduk Islam dan belajar bahasa Arab.
Segala puji bagi Allah. Saya bersyukur karena Allah telah menunjukkan jalan kepada saya. [sa/islampos/onislam]
|
nourdeen wilderman |
DI BELANDA, Islam dikenalkan salah satunya oleh Geert Wilders. Anggota parlemen ini diketahui sangat hasad terhadap Islam. Ia pernah membuat film “Fitna” dan berceramah kesana-kemari mempromosikan anti-Islam.
Toh begitu, minat orang Belanda untuk mengetahui Islam tidak pernah surut. Salah satunya adalah Nourdeen Wildeman. Ia masuk Islam pada 9 Desember 2007 dan langsung aktif dalam dakwah Islam.
Sebelum masuk Islam, Wildeman mengaku tidak tahu kapan persisnya ia benar-benar menjadi seorang Muslim. Perkenalannya dengan Islam dimulai empat atau lima tahun sebelum ia resmi mengucapakan dua kalimat syahadat. Semua dimulai dari keingintahuannya tentang Islam yang waktu itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan di media Eropa, pasca tragedi 11 September.
“Buku pertama yang saya baca tentang Islam sangat akademis dan sangat sulit dipahami. Karenanya saya memutuskan untuk mencari buku lain agar saya dapat lebih mudah memahami Islam, dan saya tetap membaca dan lebih banyak lagi,” kenang Wildeman.
“Setelah membaca banyak buku, saya menemukan bahwa Islam tidak seperti anggapan saya selama ini. Justru banyak ajaran Islam yang sesuai dengan apa yang saya percayai secara natural,” tambahnya.
Menurut Wildeman, sebagian besar pencitraan media terhadap Islam sepenuhnya salah. Anggapan media Barat bahwa Islam adalah agama penindas hak perempuan merupakan kekeliruan besar. Islam juga bukan agama kekerasan dan teroris. Baginya, Islam bukan hanya agama damai namun juga agama yang menghormati akal.
“Saya menemukan Islam sebagai agama yang sangat rasional. Agama yang mendukung ilmu pengetahuan. Ia mendorong manusia untuk memahami dan menafakkuri segala sesuatu di sekitarnya. Sebuah agama yang mengajak umatnya untuk berfikir kritis,” paparnya.
“Sebelum mendalami Islam, saya selalu berpikir bahwa menjadi seorang atheist mungkin lebih mudah dan enak, saya bisa bebas melakukan apa pun yang saya inginkan, namun hati kecil saya selalu mengkritik gaya hidup seperti itu, dan akhirnya saya mencapai kesadaran tentang Tuhan. Inilah kebenaran yang saya rasakan dalam Alquran dan hadis,” akunya.
Respons Keluarga dan Lingkungan
Wildeman lahir dan besar dalam keluarga dengan multikepercayaan, ayahnya seorang atheist, sementara ibunya penganut agamanya Kristen Protestan. Keputusannya untuk menjadi mualaf tidak mendapat penentangan yang berarti dari keluarganya.
Kebebasan yang diberikan keluarganya ini diakui Wildeman sebagai anugrah besar. Karena menurutnya, tak sedikit teman-teman mualaf yang menghadapi masalah yang cukup serius akibat dari penentangan pihak keluarga.
“Kenyataannya, memang banyak dari mualaf yang menghadapi masalah keluarga ketika mereka menyatakan diri sebagai Muslim. Rata-rata yang mengahadapi problem seperti ini adalah perempuan,” ujarnya.
“Saya sangat menghormati perempuan di negara ini yang menjadi mualaf, karena kondisi yang mereka hadapi lebih sulit, belum lagi problem pakaian yang mereka kenakan. Bahkan ada yang diusir dari rumah mereka dan keluarga mereka tidak mau menerima mereka lagi. Karenanya, saya sangat beruntung, alhamdulillah, dengan keluarga saya.
Respons positif pun Wildeman dapatkan dari atasan kerjanya. Setelah resmi menjadi Muslim, Wildeman kemudian mengirim e-mail kepada atasannya untuk memberitahu atasanya tersebut bahwa ia telah menjadi seorang Muslim.
“Namun, alhamdulillah, saya tidak kena damprat. Justru saya mendapat bonus pada akhir tahun berdasarkan evaluasi kerja saya. Atasan saya mengatakan bahwa di samping saya memeliki kinerja yang baik, saya juga mampu membuat pilihan yang sulit ketika saya memilih menjadi seorang Muslim. Dia mengatakan bahwa saya memiliki keberanian untuk mengambil pilihan yang sulit di samping saya mampu bekerja dengan baik,” paparnya.
Mendalami Islam
Setelah resmi masuk Islam, Wildeman masih terus bersemangat dalam mempelajari Islam. Ia juga sering berdiskusi dengan umat Islam yang lebih senior, namun kegemarannya melahap buku-buku Islam justu menjadikannya lebih banyak tahu tentang Islam dibanding mereka.
“Saya membaca buku karangan Tariq Ramadan berjudul In the Footsteps of the Prophet (Jejak-jejak Nabi). Buku ini banyak membantu saya sebagai Muslim Eropa karena ditulis dengan cara yang cocok bagi orang Barat. Metode Arab dalam penulisan cerita berbeda dengan metode Barat, tetapi Tariq Ramadan mampu menyampaikan pesannya dengan menggunakan pendekatan Barat,” ujar Wildeman.
“Saat ini, saya juga mempelajari Alquran di Dar al-‘Ilm di Belanda. Tempat ini menyediakan kajian Alquran secara menyeluruh dari A hingga Z berdasarkan Tafsir Ibnu Kathir,” imbuhnya.
Menanggapi perkembangan isu keislaman dan perbedaan kultur dan kondisi antara Barat dan Timur, Wildeman mengatakan bahwa beberapa fatwa yang dikeluarkan di banyak negara-negara Muslim tidak dapat dilaksanakan secara keseluruhan di negara-negara Muslim minoritas. Beberapa modifikasi harus dilakukan agar sesuai dengan kondisi Barat. [islampos/onislam]
|
sulaiman |
KETIKA Sulaiman pertama kali mendengar suara adzan di Bahrain dalam sebuah perjalanan, ia merasakan sebuah keindahan. Sulaiman pun bertanya-tanya apa makna kata-kata tersebut. Orang-orang pun memberitahunya. Namun sejauh itu, semua hanya informasi. “Yang terasa bagi saya dalam perjalan itu hanya sekadar turisme,” tuturnya.
Dari Bahrain, ia menuju Shorjah, lalu Irak, akhirnya sampai di Turki. Di sini, ia menemukan sesuatu yang berbeda. “Itu bukan berarti Islam terlihat lebih baik dan lebih agung di Turki, tidak sama sekali. Faktanya, secara menyedihkan Islam di Turki ditekan dalam banyak aspek,” ungkapnya.
Saat berada di negara itu, Sulaiman menemukan banyak hal luar biasa, salah satunya arsitektur Islam dari periode Ottoman yang ia anggap sangat indah. “Tak butuh waktu lama hingga saya bisa mengenal orang-orang di Turki dengan baik,” tuturnya.
Lalu tibalah Ramadhan. Ia pernah mengalaminya berulang kali di Teluk namun lewat begitu saja, tak ada yang berkesan. Tapi di Turki, Sulaiman merasakan hal berbeda. “Saya merasakan sesuatu yang lain. Segera saya sadari bahwa mereka yang berpuasa saat Ramadhan adalah orang-orang yang saya kenal dan saya sukai.”
Saat itu ia melihat ada hubungan gamblang antara orang-orang terbaik dengan orang yang berpuasa. “Ini menunjukkan pada saya sebagian dari Muslim terbaik dan saya pun tertarik dengan mereka.”
Sulaiman tak sekadar tertarik ikut dengan aktivitas mereka. Ia pun mulai berpuasa saat Ramadhan meski saat itu ia bukanlah Muslim. “Sungguh membahagiakan di banyak hal, memang sangat menantang di sisi lain, namun sangat menyenangkan,” tuturnya.
Sulaiman mengaku menikmati puasa. “Terutama di saat menunggu Adhzan Maghrib dan ketika menunggu dengan diam dan tenang bersama orang-orang lain yang berpuasa sepanjang hari,” akunya.
Mereka, meski berpuasa tetap bekerja karena seperti negara bermayoritas Muslim lain, di Turki pun aktivitas publik dan pekerjaan terus berjalan. Kenyataan itu memikat Sulaiman, orang-orang berpuasa sepenuhnya dari awal hari hingga senja dan tetap bekerja sepanjang hari.
“Saya juga melakukan itu dan sangat sulit, namun alhamdulillah saya berhasil,” ungkapnya. Ia pun terkesan dan merasa melakukan prestasi besar. “Pengalaman itu menginspirasi saya untuk lebih banyak mengkaji Islam,” ujarnya.
Sulaiman mulai membaca Al Qur’an, dan biografi Rasul, kisah kehidupan Nabi Muhammad yang ternyata sungguh menginspirasinya. “Ini sangat menarik karena pria ini adalah seseorang yang besar dalam sejarah dan itu fakta. Sesuatu yang bisa saya hubungkan dengan ketertarikan Barat terhadap logika,” ujarnya.
Sulaiman terus mengikuti kata hatinya yang kian cenderung pada Islam. “Namun masih belum ada orang yang melakukan dakwah serius kepada saya, tak seorangpun mencoba meyakinkan saya bahwa saya harus berganti jalan menuju jalan lain,” ujarnya.
Setelah kembali dari Turki ke Dubai, Sulaiman bekerja dengan seseorang yang—menurutnya—Istimewa. “Orang ini yang dulu adalah bos saya kini menjadi sahabat terbaik saya,” ujarnya.
“Malam seusai kerja kami berdiskusi sambil makan malam. Mungkin juga ketika saat di kantor. Ia akan membantu saya mempelajari hal-hal yang benar dan mengajak saya bertemu orang-orang yang tepat. Ia juga mencoba menjawab beberapa pertanyaan-pertanyaan saya sebaik yang ia bisa,” tutur Sulaiman.
Namun, si kawan masih bisa melihat semua keberatan Sulaiman terutama berkaitan dengan logika. “Semua pertanyaan tentang adat dan praktik-praktik ibadah, semua ini keluar dari bawaan sekuler,” ungkapnya. Sulaimen mengaku tak pernah benar-benar menjadi seorang Kristen. “Saya hanyalah orang yang agnostik—percaya tuhan tapi tidak percaya agama.”
Sulaiman tak akan pernah melupakan ketika ia masuk Islam. Beberapa orang Eropa merubunginya. Semuanya Muslim. “Mereka sangat berpendidikan, bijak dan pengkaji Islam yang beralih menjadi Muslim sekitar 10 atau 20 tahun sebelumnya. Pengetahuan mereka tentang Islam, sangat besar. Hingga kini mereka masih melakukan dakwah di penjuru dunia,” tuturnya.
Saat itu Rabu malah di tengah pekan tepat pukul 1.00 dini hari. Mereka berkata pada Sulaiman. “Jadi apakah kamu masih memiliki pertanyaan lagi?”
“Tidak…saya tak punya, saya sudah kehabisan pertanyaan,” balas Sulaiman. Merka balik merespon “Kini apa, apakah anda akan menerima Islam?”
“Apa yang bisa saya katakan, saat itu saya hanya bisa menjawab ‘Ya’,” kata Sulaiman menuturkan situasi malam itu.
Mereka pun mengundang Sulaiman datang ke rumah pada Jumat berikut, dua hari lagi. Saat tiba di sana, rumah dalam kondisi dipersiapkan sangat baik. “Mereka memberi saya pelajaran dan anjuran terakhir, hal-hal yang perlu saya ketahui tentang shalat, wudhu, dan kami pun pergi ke Masjid Jumairah di mana saya mengucapkan syahadat,” kenang Sulaiman
Pengalaman berharga yang saat itu ia terima, segera saja ia memiliki ribuan saudara. Mereka memeluk Sulaiman dan bahagia. “Saya tak pernah melihat begitu banyak wajah bahagia, tidak, tak saat di pesta ulang tahun saya, tidak saat perkumpulan Kristen juga dalam pertemuan lain, Di sini banyak orang bahagia dan mereka semua bahagia untuk saya,” [islampos/onislam]
|
Eric |
NAMA saya Eric Mason, setelah masuk Islam nama saya menjadi Jebril (Gabriel) Mason, diambil dari nama Malaikat Jibril. Saya tinggal di Arab Saudi dan memiliki sebuah restoran dan fasilitas rekreasi. Kami membawa tamu dari luar negeri untuk menyelam dengan kami di perusahaan yang disebut Dream Divers.
Ketika masih muda, saya tinggal di Nigeria, ibu saya adalah seorang Katholik Roma, dan ayah saya adalah seorang Protestan Anglikan. Mereka bertemu pasca-perang dan memiliki empat anak. Saya adalah anak bungsu mereka. Ayah saya bekerja untuk pemerintah Nigeria selama bertahun-tahun, dan kami semua tinggal dengan orangtua kami.
Di tempat itu saya melihat, banyak pekerja ayah orang-orang muslim. Salah satunya Hausa, yang berasal dari utara. Mereka masih muda, sangat mengesankan. Lalu saya bertanya kepada ayahku, mengapa semua anggota keamanan, pengemudi truk, dan semua pembantu adalah orang-orang muslim. Ayah mengatakan, “Karena mereka adalah orang-orang yang baik, kamu dapat mempercayai mereka.”
Sekarang ini media membahas banyak tentang Islam. Muslim sama juga dengan penganut agama lain. Ada muslim yang baik tapi ada pula muslim yang buruk. Namun sebagian besar kaum muslimin adalah orang-orang yang baik. Dan harus menjadi baik.
Saya sendiri masuk Islam sekitar lima atau enam tahun yang lalu, tapi saya punya Al-Qur’an sejak masih di Nigeria. Dan saya tidak pernah bepergian tanpa membawa kitab suci itu. Saya ingin menjadi penganut Islam yang sebenar-benarnya. Tidak untuk hal lain. Hanya untuk saya dan Tuhan. Hanya ada satu Tuhan, yaitu Allah, dan Muhammad adalah rasul-Nya. Itu saja. Jadi itulah mengapa saya masuk Islam.
Ketika saya masuk Islam, beberapa orang tidak percaya, dan bahkan merasa sulit untuk menerimanya. Beberapa mengatakan, “Eric, kok Anda menjadi seorang muslim? Anda memakai celana pendek, rambut Anda pirang, Anda mengatakan ‘Dude’. Bukankah itu satu hal yang bagus? Tapi jangan berlaku seperti mereka. Jangan pernah punya ide melemparkan bom.”
Tentu saja, ada banyak “preman” di semua agama. Anda tidak bisa menghentikannya. Hal-hal yang tidak sama. Ada muslim yang baik dan ada muslim yang tidak baik, juga ada orang Katholik yang baik dan orang Katholik yang buruk. Saya katakan siapa saja yang merugikan orang tak bersalah adalah “preman”. Dan ini bukan masalah tentang membunuh orang. Ini tentang wacana dan pemahaman, dan itulah apa yang kita miliki di sini, di Arab Saudi. Ini adalah negara yang indah dan sangat halus. Ucapan saya ini benar. Jika tidak, saya tidak akan berada di sini selama 36 tahun. Saya akan meninggalkannya sejak 30 tahun yang lalu.
Saya akan melakukan ibadah haji tahun depan dengan beberapa rekan Eropa saya. Kami semua berkumpul dan kami semua ingin melakukannya bersama-sama. Kami berasal dari bangsa yang berbeda-beda: Amerika, Jerman, Prancis, Italia, dan Inggris. Tapi saya telah melakukan umrah dua kali pada tanggal 27 di Ramadhan. Saya juga telah mengunjungi Masjid Nabawi di Madinah.
Jadilah orang yang baik. Tidak perlu banyak. Baca Al-Qur’an. Berdoalah. Jadilah orang yang baik. Itu saja. [sa/islampos/onislam]
|
marilyn mornington |
“Allah Swt melihat saya, itu saja. Sejak saat itu, tanpa saya inginkan, saya terus bertemu dari satu orang ke orang yang lain, yang mengarahkan saya pada jalan dimana tidak ada tempat buat saya untuk kembali menengok ke belakang. Semakin saya tahu tentang Islam, tentang Nabi Muhammad Saw., menjadi semakin jelas buat saya bahwa inilah yang saya inginkan, tempat dimana saya ingin berada dan inilah apa yang saya ingin yakini.”
MARILYIN Mornington adalah hakim distrik di Inggris, dosen bertaraf internasional dan penulis di bidang hukum keluarga dan kekerasan dalam rumah tangga.
Sebagai perempuan, Marilyn memiliki prestasi luar biasa di bidang hukum yang digelutinya. Ia meraih gelar sarjana hukumnya dari Sheffield University dan mendapatkan beasiswa dari Notre Dame Convent.
Marilyn mulai menjalankan profesinya di bidang hukum khususnya untuk masalah keluarga pada tahun 1976 di Liverpool. Selama perjalanan karirnya, ia pernah menjabat berbagai posisi penting di sejumlah organisasi kemasyarakatan dan keilmuan.
Tahun 1994, Marilyn ditunjuk sebagai hakim distrik di Birkenhead, Liverpool. Ia menjadi advokat pertama yang terpilih sebagai hakim distrik pada usia 40 tahun. Selain menjadi hakim distrik, Mornington juga diakui sebagai salah satu anggota World Academy of Arts and Science.
Marilyn adalah seorang mualaf. Selama 10 sampai 12 tahun sebelum masuk Islam, Marilyn menangani isu-isu terkait kekerasan dalam rumah tangga, terutama pada anak-anak dan kaum perempuan, dan dalam beberapa kasus terjadi di kalangan komunitas Muslim. Khsusus untuk muslim, agar bisa memahami persoalan dengan lebih baik, Marilyn banyak membaca tentang agama Islam dan bergaul kalangan Muslim.
“Saya sudah mengkhususkan diri di bidang kejahatan terhadap perempuan, kekerasan terhadap perempuan dan penganiyaan terhadap anak-anak selama 10 sampai 12 tahun, untuk tingkat kebijakan yang diterapkan di Inggris Raya. Karena pekerjaan ini, dan ini bukan pilihan saya sendiri, saya menjadi banyak terlibat dalam kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di komunitas Muslim di negeri ini. Agar saya bisa memahami dengan lebih baik darimana mereka berasal, saya mulai banyak membaca tentang Islam, mulai membaca Quran dan bergaul dengan kalangan Muslim,” ujar Marilyn.
Apa yang membuat Marilyn memeluk Islam? “Saya harus mengatakan, saya tidak berpikir bahwa saya benar-benar punya pilihan dalam masalah ini, bahwa Allah Swt melihat saya, itu saja. Sejak saat itu, tanpa saya inginkan, saya terus bertemu dari satu orang ke orang yang lain, yang mengarahkan saya pada jalan dimana tidak ada tempat buat saya untuk kembali menengok ke belakang. Semakin saya tahu tentang Islam, tentang Nabi Muhammad Saw., menjadi semakin jelas buat saya bahwa inilah yang saya inginkan, tempat dimana saya ingin berada dan inilah apa yang saya ingin yakini.”
“Saya merasakan sangat nyaman dengan kehidupan keluarga dan kisah-kisah para isteri Rasulullah Saw. serta para sahabatnya. Dan seiring dengan berjalannya waktu, juga setelah mendengar ceramah dan membaca tulisan Syaikh Hamza, saya makin yakin, inilah kehidupan sejati yang saya inginkan,” pungkas Marilyn. [sa/islampos/onislam]
|
Mathew |
Assalamu `alaikum. Nama saya Mathew. Saya dari Prancis, saya berumur 22 tahun. Saya lahir di Timur Utara Perancis, dekat dengan Belgia.
Sejak usia 13, saya pindah ke Pantai Barat Selatan. Dan sekarang saya sedang belajar di universitas, tingkat 4. Saya sedang menyelesaikan master administrasi bisnis. Saat ini saya terlibat dalam studi di Victoria University of Wellington berkat kesepakatan antara universitas saya dan universitas di Selandia Baru. Saya akan belajar saya di sini, dan di masa depan, saya ingin terlibat dalam bisnis internasional.
Ayah saya tidak percaya pada Tuhan, dan ibu saya adalah seorang Katolik tapi dia tidak pernah pergi ke gereja. Jadi saya tidak menerima ajaran-ajaran tentang agama di awal pertumbuhan saya.
Bagaimana Saya Tahu Tentang Islam
Ajaran pertama tentang agama Islam saya dapatkan dari teman-teman saya dari Maroko, Turki, Aljazair dan Tunisia. Untungnya, saya tinggal di tempat di mana begitu banyak imigran tinggal. Saya adalah satu-satunya orang Prancis dalam kelompok itu. Kami sering melakukan kegiatan olahraga bersama-sama.
Pada awalnya, teman-teman saya yanag Muslim hanya berbicara tentang Islam di antara mereka saja. Kemudian mulailah saya diundang ke masjid, dan saya datang. Sejak saat itu, saya mulai banyak bertanya kepada orang-orang tentang Islam.
Saya sangat tertarik karena saya tidak tahu apa-apa. Saya merasa heran ketika melihat orang-orang berpuasa dan tidak makan apapun di siang hari selama satu bulan penuh. Saya bertanya-tanya bagaimana mereka dapat melakukan hal itu. Dan yang lebih menakjubkan adalah manifestasi yang berbeda tentang Islam setelah Ramadan, seperti Idul Fitri dan segala sesuatu seperti itu. Akhirnya saya memutuskan untuk belajar tentang agama ini.
Keluarga & Teman
Saya masih sangat muda ketika saya menyatakan ingin masuk Islam. Orang tua saya terkejut namun mereka tidak menentangnya. Mereka tetap menganggap saya sebagai anak mereka hingga mereka ingin membantu saya sebisa mungkin. Dan mereka tidak ingin mengecewakan saya. Mereka menganggap saya sebagai bagian dari keluarga mereka. Jadi itu sangat melegakan saya.
Untungnya orang tua saya, jika saya dibandingkan dengan orang lain yang mencoba masuk Islam, memiliki banyak masalah dengan keluarga mereka, sehingga orang tua saya tidak terlalu sulit. Mereka membiarkan saya memilih apa yang ingin saya lakukan. Pada saat yang sama, mereka ingin saya untuk tinggal di tempat yang aman dan masjid, menurut mereka masjid adalah tempat itu, karena di masjid saya tidak lagi menghina orang di jalanan, mencuri atau berkelahi. Jadi mereka lebih suka saya tinggal di masjid daripada berada di jalanan.
Apa yang Islam Berikan
Saya berpikir bahwa Islam adalah jenis obat untuk semua orang, Saya berpikir bahwa Islam adalah hal yang sangat baik bagi saya. Islam mengajari saya untuk menghormati orang lain, cara berpikir dan bertindak dalam kehidupan pada umumnya, karena Islam juga mendorong untuk selalu belajar dan memperoleh pengetahuan.
Sayangnya teman-teman saya tidak tertarik untuk terlibat dalam Islam, dan mereka akhirnya mulai kecanduan narkoba, atau mulai minum alkohol, hubungan seks sebelum menikah. Saya merasa beruntung saya berhasil menemukan Islam dan membantu saya dalam kehidupan sehari-hari saya.
Saya berpikir bahwa Islam adalah jenis obat untuk orang yang membutuhkan. Misalnya, orang dalam penjara yang menemukan Islam dan mereka berhasil menjadi orang-orang yang sangat baik. Contoh lain adalah orang-orang yang kecanduan obat-obatan atau alkohol, mereka tidak berhasil menemukan apa pun untuk membantu mereka, dan ketika mereka menemukan Islam mereka menjadi sangat tertolong. Islam adalah obat yang sangat baik dan Allah adalah dokter yang paling indah. Anda dapat selalu menemukan-Nya untuk merawat Anda. Jika Anda berhasil menemukan-Nya, Dia akan banyak membantu Anda.
Mengingat bahwa saya menjadi Muslim beberapa tahun yang lalu, saya tidak pernah punya masalah menjadi seorang Prancis dan seorang Muslim. Tapi itu benar bahwa di Eropa saat ini orang mulai takut kalau Islam akan menyebar cepat di Eropa, dan benar pula adanya bahwa banyak orang Eropa mencoba untuk masuk Islam. [sa/islampos/onislam]
ANTHONY Vatswaf Galvin Green lahir Dar es Salam, Tanzania. Ibunya seorang Katolik yang taat dan ayahnya seorang agnostik, dan sejak kecil Anthony dididik sebagai seorang Katolik yang taat. Ayahnya seorang administrator kolonilal kerajaan Inggris. Kini, kerajaan yang terbentang begitu luasnya lebih dari sepertiga permukaan bumi itu telah hancur. Satu-satunya yang tersisa adalah beberapa pulau di Falklands. Begitu banyak hal yang berubah, termasuk Antony, bahkan namanya kini berubah menjadi Abdur Raheem Green—setelah ia masuk Islam tentunya.
Oleh ibunya, Anthony kecil adiknya, Duncan disekolahkan di asrama biara. Setiap hari ia hidup bersama para biarawan di Ampleforth College, di Yorkshire, Inggris Utara. Sang ibu menganggap dengan bersekolah di asrama akan membuat Anthony menjadi penganut Katolik yang taat.
“Seharusnya ibu juga menikah dengan seorang Katholik, tapi karena ibu menikah dengan ayah yang agnostik, ia merasa menjadi seorang penganut Katolik yang buruk. Maka, ia ingin menjadikanku seorang Katolik yang taat,” terang Anthony.
Saat Anthony berumur sembilan tahun, sang ibu mengajarinya sebuah doa yang biasa diucapkan oleh umat Katholik. Doa itu dimulai dengan kalimat “Salam maria, ibu Tuhan”. Namun, kalimat itu membuat Anthony heran. Bahkan dalam usianya yang baru sembilan tahun, kalimat itu seperti pukulan pertama, mendengar ibu berkata salam maria ibu Allah
“Aku kemudian bertanya pada diri sendiri bagaimana Tuhan bisa memiliki ibu?” katanya. Ia berpikir Tuhan seharusnya tanpa awal dan tanpa akhir. Bagaimana bisa Tuhan memiliki seorang ibu? Anthony kecil kemudian mengambil kesimpulan “jika Maria adalah ibu Tuhan, maka pasti Maria menjadi Tuhan lebih baik daripada Yesus.”
Belum lagi soal pelajaran di sekolahnya yang semakin membuatnya galau. Di sekolah, dalam satu kali setahun selalu ada pengakuan dosa kepada pastor. “Kamu harus mengakui semua dosa, jika tidak maka pengakuan dosa-dosamu tidak akan diampuni,” demikian kata sang pastur yang terus diingat oleh Anthony.
Anthony merasakan keimanannya semakin bermasalah. Pikirannya mulai liar, ia bahkan memiliki ide “Tuhan menjadi manusia”.
Pikirannya mulai terbuka. Ia sering bertanya mengapa harus sekolah di asrama, jauh dari siapapun dan dimanapun. Saat berusia sebelas tahun, sang ayah dipindah tugaskan ke Mesir. Ayahnya menjadi General Manager Barclays Bank di Kairo. Hampir selama sepuluh tahun, ia selalu menghabiskan waktu liburan di Mesir. Sekolah di London, dan liburan di Mesir.
Ia mulai jatuh cinta pada Mesir. Saat kembali ke sekolah seusai liburan, ia bertanya untuk apa kembali ke asrama Yorkshire Moor, ia merasa tak menyukai tempat itu. “Saya mulai bertanya pada diri sendiri mengapa saya ada, apa tujuan hidup saya, hidup ini untuk apa?”
Ia lantas mulai mencari jawaban, memulai pecarian. Pencarian itu barangkali bisa ditemukan melalui agama lain yang mungkin bisa memberikan pemahaman tentang tujuan hidup.
Sepuluh tahun waktu yang di ia habiskan di Mesir. Ada satu masa saat ia berumur 19 tahun berbincang tentang Islam dengan seseorang. Ia memang meragukan Katholik sebagai agamanya. Tapi saat itu siapapun yang mempertanyakan agamanya itu, ia akan tetap membela keimanannya. Ia merasakan ini sebagai sebuah paradoks yang aneh.
“Aku berbincang dnegan orang itu selama 40 menit. Pemuda itu memintaku menjawab beberapa pertanyaan darinya,” katanya.
Si pemuda menanyakan “Apakah kau mempercayai Yesus?”, Anthoni menjawab “Ya”. Pemuda itu kemudian bertanya lagi, “Apakah kamu percaya Yesus mati disalib?”, Anthoni kembali menjawab “Ya.”
Si pemuda kembali bertanya “Jadi kamu percaya Tuhan mati?”.
Seketika Anthony terperangah, menyadari sebuah ironi. Sambil mengakui kebodohan dirinya, ia menjawab, “Tentu saja saya tidak percaya Tuhan mati. Manusia tidak bisa membunuh Tuhan,” tandas Anthony.
Pertemuan dengan pemuda Mesir itu menjadi titik balik dalam kehidupan Anthony. Sebelumnya ia tak pernah bermimpi bahkan memikirkan tentang Islam. Anthony berpikir bahwa karena taka da agama, maka ia harus jadi orang kaya. Ia berpikir bagaimana menghasilkan uang tapi hanya sedikit usaha. “Siapa yang ingin mengabiskan banyak waktu untuk bekerja?” pikirnya. Ia mengingat orang Inggris yang memiliki banyak uang tapi mereka bekerja terlalu keras, bahkan sampai terjadi revolusi industri. Orang Amerikapun harus berjuang keras untuk menjadi kaya. Orang Jepang pun dikenal sebagai penggila kerja.
“Kemudian saya berpikir tentang orang Arab. Mereka duduk di atas unta dan berteriak ‘Allahu Akbar’, tapi mereka kaya,” ujarnya.
Anthoni merasakan ketertarikan luar biasa untuk membeli Alquran. Ia mengambil terjemahannya. “Aku tak ingin mencari kebenaran. Aku hanya ingin tahu apa isi kitab suci ini,” katanya.
Anthony adalah pembaca yang cukup cepat. Ia membaca Alquran saat berada di kereta api. Seketika itu pula ia menyimpulkan dan berkata pada diri sendiri, “Jika saya pernah membaca buku yang berasal dari Tuhan, maka ini dia bukunya.”
Ia menyakini Alquran itu berasal dari Allah. Ketika menyadari itu ia mulai bergerak lebih jauh, tak hanya membaca Alquran saja, tapi untuk mengamalkannya juga. “Sama saja seperti kita melihat apel yang terlihat harum, kita tak akan pernah tahu rasanya kalau tidak mencicipinya,” katanya.
Tertarik dengan pengamalan Alqurlan ia pun mulai mencoba untuk shalat meski saat itu ia belum resmi mengucap syahadat. Tak tahu bagaimana cara shalat, ia mengingat-ingat bagaimana seseorang yang pernah ia temui di Mesir melakukan shalat. “Saya mengingat seorang lelaki shalat dengan cara yang lebih indah dibandingan saya ketika saya masih menjadi Katholik,” ingatnya.
Suatu hari Anthony pergi ke toko buku yang kebetulan berada di dalam masjid. Toko itu memiliki koleksi buku tentang Muhammad dan tata cara shalat. Seorang pria menanyakan apakah ia seorang Muslim. Anthony lantas menjawab, “Apakah saya Muslim, apa yang ia maksud dengan itu? Saya bilang ‘Ya saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusannya’.”
“Ah, bila demikian, Anda Muslim. Ini waktunya shalat, mari kita shalat,” ajak lelaki itu.
Anthony kebetulan datang ke toko buku itu saat hari Jumat. Ia yang tak paham gerakan shalat hanya berusaha shalat dengan gerakan yang ia tahu saja. Masih salah disana-sini. “Setelah itu orang-orang mengelilingi saya dan mengajarkan saya cara shalat yang benar. Itu rasanya fantastis!”
Namun butuh dua tahun sebelum akhirnya ia resmi bersyahadat dan menjadi Muslim. Anthony mengaku menyesal telah menyia-nyiakan waktu dua tahun sebelum menjalani Islam dengan baik. “Aku tahu kebenaran tapi tak segera menjalankannya. Itu adalah kondisi yang buruk. Jika kita tidak tahu, maka tidak dikenai dosa. Tapi masalahnya saya tahu apa yang benar,” katanya. Kini Anthony telah berganti nama menjadi Abdur Raheem Green. Seorang Muslim. [sa/islampos/onislam]
JANNAH, entah apa nama aslinya, adalah seorang mualaf Amerika. Ia lahir dan besar di Jersey City. Orang tuanya berasal dari Kolombia dan Italia. Sedari kecil memang, ia dikenalkan tradisi Kristen. Namun, pergaulannya membuat ia menyadari bahwa agama bukanlah prioritas untuknya saat ini.
Pertama kali tertarik, Jannah mencari tentang Islam di internet. Berikut penuturan selengkapnya.
“Lalu aku menemukan laman whyIslam, yang menurutku menawarkan informasi yang cukup lengkap.
Ketika aku mendapatkan informasi yang dibutuhkan, aku mulai secara intensif mendalami apa yang aku ketahuin. Aku membaca setiap hari informasi tentang Islam dan begitu menikmati hal tersebut.
Setelah merasa berani, aku mengunjungi masjid. Memang, aku tidak langsung ke sana melainkan berkomunikasi terlebih dahulu via surat elektronik.
Selang beberapa lama, pihak masjid memberikan balasan. Aku pun untuk kali pertama mengunjungi masjid. Sebelum itu, aku bertemu dengan seorang Muslimah yang lebih dulu mengajakku memasuki toko. Di toko itu, aku diperlihatkan bagaimana mengenakan jilbab.
Aku merasa nyaman dengan apa yang kulihat. Ini membuatku tak ragu untuk memeluk Islam. Setiap pertanyaanku telah terjawab.
Setibanya di masjid, aku mengucapkan dua kalimat syahadat. Sebelum itu, pembimbingku bertanya apakah akan orang lain boleh menyaksikan ini. Aku mengiayakan. Aku disambut oleh mereka. Begitu hangat, nyaman, dan aku terisak, Alhamdulillah.
Sejak saat itu, semuanya berubah. Aku percaya itu adalah proses, membaca lagi tentang Islam, belajar, pergi ke pengajian, untuk menemukan lebih banyak teman wanita Muslim, dan mereka yang bisa mengajariku, bagaimana aku akan berhubungan dengan orang lain. Bagiku Islam adalah cara hidup jadi semuanya aku ambil, terutama berkaitan dengan orang tuaku, karena mereka bukan Muslim.
Aku mulai memakai jilbab mungkin empat bulan setelah itu, perlahan-laha. Aku mulai melakukan shalat dan ibu melihatku, ayahku akan melihatku shalat. Aku berusaha untuk menunjukkan kepada mereka bahwa ini bukan sesuatu yang melenceng. Hal itu kemudian menjadi perjuangan dan tantangan sampai sekarang setelah bertahun-tahun aku masuk Islam. dapat mengatakan Al-Hamdulel-Allah, itu berubah begitu banyak, tapi masih kadang-kadang perjuangan di kali dengan mereka .
Sekarang, aku tengah mempelajari bahasa Arab, suatu hal tersulit sepanjang aku masuk Islam.” [sa/islampos/onislam]