TEBING BARAT (SuaraMedia) – Seorang akademisi di Tebing Barat telah membuat sebuah projek yang tidak biasa di wilayah Palestin. Dalam muzeum Holocaust yang dibangunnya, dia menarik garis paralel dari kejadian tersebut dengan penderitaan yang dialami rakyat Palestin pada saat ini.
Desa Na’alin adalah sebuah lokasi yang ganjil untuk sebuah projek yang tidak biasa. Setelah kemenakannya terbunuh dalam sebuah demonstrasi, Hassan Musa bersumpah akan melakukan segalanya untuk mencegah lebih banyak jatuh korban jiwa. Dia kemudian mendirikan sebuah bangunan yang hampir tidak terdengar gaungnya di Palestin – sebuah muzeum Holocaust. Namun, pesan-pesan yang ada di dalamnya memiliki porsi yang sama bagi orang-orang Israel dan Palestin.
“Holocaust sudah berakhir dan (kejadian tersebut) dilakukan di Jerman, namun konsekuensinya, hasilnya dilampiaskan kepada rakyat Palestin,” kata Musa. “Padahal rakyat Palestin tidak bersalah dan tidak ada hubungannya dengan hal tersebut.”
Muzeum tersebut menunjuk pemerintah Jerman, dan menuding Jerman telah memberikan “wang ganti rugi” agar Israel melampiaskan segalanya kepada rakyat Palestin – sebuah tudingan yang terus disangkal oleh Israel.
Kebanyakan sistem pengangkutan Israel dibina dengan dana dari Jerman dan pada tahun 1950an dan 1960an, dana sistem reparasi Jerman dipergunakan untuk meratakan jalanan Israel dan membangun sistem pengangkutan awam.
Sejak tahun 1952 hingga limabelas tahun berikutnya, Jerman memberikan dana dua miliar marks (mata wang Jerman dulu) sebagai pampasan atas pembunuhan Yahudi selama Holocaust. Kesepakatan tersebut menguntungkan kedua pihak.
Kala itu, Israel adalah sebuah “negara” baru yang sukar mendapatkan dana dan Jerman tengah mencari cara untuk memulihkan citra dari keterkejutan dunia atas tindakan Jerman pada Perang Dunia II.
“Pada dekad 1950an, sebahagian besar orang Israel menolak menjalin hubungan dengan Jerman tanpa ada imbalan,” kata Shlomo Shpiro dari Pusat Komunikasi dan Kebijakan Internasional. “Perasaan anti-Jerman itu begitu kuat sehingga paspot Israel dinyatakan berlaku di semua negara kecuali Jerman. Bahkan tidak ada yang sudi menginjakkan kaki di Jerman.”
Setelah sekian lama, Noah Clug, masih berkutat dengan dilema yang sama. Dia adalah seorang yang “selamat” dari Holocaust yang kehilangan sebagian besar anggota keluarganya dalam perang. Setiap bulannya dia menerima €200 dari pemerintah Jerman sebagai wang ganti rugi.
“Ini adalah sebuah masalah – sebuah masalah moral,” katanya. “Akan tetapi Jerman membunuh 6 juta Yahudi dan merompak 9 juta lainnya. Saya rasa mereka berkewajiban moral untuk membayar, selain itu juga sebagai bentuk tanggung jawab.”
Sebuah dilema yang sangat difahami oleh Chen Yurista yang tergiur dengan pembayaran dari pihak Jerman. Dia bernegosiasi dengan pemerintah Jerman dengan mengatasnamakan korban Holocaust, namun anehnya Datuknya sendiri menolak menerima wang ganti rugi dari Jerman.
“Dia (Datuknya) punya hak untuk mengatakan tidak, sementara saya punya ‘kewajiban moral’ untuk terus melangkah maju dan mencoba untuk menolong orang-orang yang memerlukan bantuan,” katanya. “Negosiasi berjalan dengan alot, namun kami kembali setiap tahunnya selama enam puluh tahun terakhir, dan kami telah mencapai banyak hal.”
Saat ini, hubungan diplomatik antara kedua negara berjalan dengan baik. Sementara Jerman tidak lagi memberikan dana kepada Israel, kedua negara masih memiliki hubungan dagang yang dekat dan juga menjalin kerjasama dalam bidang ilmu pengetahuan.
Selama hal-hal seperti ini berlanjut, rakyat Palestin di Tepi Barat akan terus menyalahkan Jerman kerana telah menimpakan segala kesalahan kepada Palestin dan membuat Palestina berada dalam kesengsaraan. (dn/rt) Dikutip oleh SuaraMedia.com
No comments:
Post a Comment