1. Baiat.
Di pertengahan bulan Rajab tahun enam puluh hijriah, Muawiyah bin Abu Sufyan meninggal dunia. Tanpa menyia-nyiakan waktu lagi, sang anak, Yazid, mengirimkan surat kepada gubernur Madinah, Walid bin Utbah bin Abi Sufyan yang juga anggota keluarga Bani Umayyah, tercatat di dalamnya pemberitahuan akan kematian Muawiyah sekaligus sebuah perintah: “Ambillah baiat padaku dari warga kota, undanglah Husain bin Ali dan ambil pula baiat darinya, jika dia menolak berbaiat padaku, maka kirimkan kepalanya kepadaku”.
Di samping semua kejahatan yang dilakukannya, ada dua dampak buruk lain di balik baiat kepada orang seperti Yazid, yang bahkan tidak muncul saat Muawiyah dibaiat. Yang pertama yaitu sekiranya Imam Husain as. memenuhi permintaan (baiat) Yazid tersebut, ini artinya beliau telah mengakui sistem kedinastian dan monarki dalam khilafah Islam.
Dampak buruk kedua lebih berkaitan dengan pribadi Yazid itu sendiri, satu keperibadian yang membedakan situasi saat itu dari yang lain. Lebih dari sekedar orang fasik dan kejam, Yazid adalah orang yang vulgar menampakkan kefasikannya. Dia bukan orang yang punya kapabilitas politis. Ini berbeda dengan Muawiyah dan mayoritas khalifah Bani Abbas. Meski mereka itu manusia-manusia fasik dan jahat, namun mereka mengerti betul bahwa jika mereka hendak melestarikan kerajaan dan kekuasaan yang ada di tangan mereka, sampai batas-batas tertentu mereka akan memperhatikan kemaslahatan Islam. Inilah hal yang tidak disadari Yazid. Dia adalah orang yang tak tahu malu.
Mungkin sekali Muawiyah itu minum arak (saya hanya katakan mungkin, karena sepengetahuan saya, tidak ada referensi sejarah yang kuat, dan boleh jadi ada orang lain yang menelaah lebih dalam dan mendapatkan bukti-bukti yang lebih akurat). Meski begitu, sejarah tidak pernah mencatat bahwa Muawiyah minum arak dalam pertemuan terbuka, juga tidak ada fakta sejarah yang melaporkan kepada kita bahwa dia mabuk di hadapan khalayak. Sementara Yazid minum arak dan mabuk-mabukan secara terbuka dalam pertemuan-pertemuan resmi.
Masih dalam catatan otentik sejarah, bahwa Yazid gemar bermain-main dengan kera dan macan kumbang. Karena inilah mengapa Imam Husain as. mengatakan: “Apabila umat ini dipimpin oleh seorang seperti Yazid, maka ucapkanlah selamat tinggal Islam!”. Pada dasarnya, keberadaan orang semacam Yazid sama dengan penggembosan Islam. Orang seperti inilah yang meminta baiat dari Imam Husain as.
Gubernur Madinah mengundang Imam Husain as. ketika beliau berada di masjid Nabawi. Saat itu, Abdullah bin Zubair juga bersama beliau. Utusan gubernur mengajak dua orang tersebut untuk menghadap gubernur. Abdullah berkata pada Imam Husain as.: “Apa dugaanmu? Imam Husain as. menjawab: “Aku kira yang firaun-nya mereka sudah mati, dan kita dipanggil untuk berbaiat”. Abdullah kembali bertanya: “Aku juga berpikir demikian, lalu apa tindakanmu sekarang? Imam Husain as. menjawab: “Aku akan pergi menemui gubernur”.
Sementara Abdullah bin Zubair melarikan diri menuju Mekkah tidak melalui jalan utama dan mencari perlindungan di sana, Imam Husain as. pergi menemui gubernur. Beliau mengajak sebagian pemuda Bani Hasyim bersamanya seraya mengingatkan mereka: “Kalian berdiri siaga di luar, dan jika teriakanku terdengar segeralah masuk ke dalam, tapi selama teriakanku belum terdengar, janganlah kalian masuk”.
Marwan bin Hakam –salah satu pentolan Bani Umayah yang sempat menjadi gubernur Madinah pada periode kekuasaan Muawiyah- juga hadir dalam pertemuan itu. Di dalamnya, gubernur Madinah Walid bin Utbah bin abu Sufyan membacakan surat terbuka Yazid untuk Imam Husain as. lalu berkata: “Masyarakat sudah membaiat Yazid. Maslahat Islam menuntut demikian. Aku harap kamu juga membaiatnya”. Imam Husain as. berkata: “Untuk apa kalian menginginkan baiatku? Bukankah kalian menginginkannya karena masyarakat dan tidak karena Allah? Bukankah kalian menginginkan baiatku supaya orang lain juga berbaiat. Gubernur menjawab: “Ya, benar”. Imam Husain as. melanjutkan: “Kalau begitu, apa untungnya baiatku di ruangan tertutup ini yang hanya dihadiri oleh tiga orang saja?”. Gubernur berpendapat: “Apa yang dia katakan itu benar, kalau begitu biar nanti saja!”.
Setelah pertemuan itu, Imam Husain as. tinggal di Madinah selama tiga malam. Setiap malam beliau pergi menyimbahkan diri di atas makam Nabi Muhammad saww. Untuk malam ketiga, seperti biasa beliau berziarah ke makam suci itu, berdoa dan menangis lama, sampai terbawa tidur. Dalam tidurnya, Beliau bertemu Rasulullah saww. Beliau bermimpi bahwa ada ketentuan (Tuhan) yang diilhamkan kepadanya.
Pada esok harinya, kira-kira pada tanggal 27 bulan Rajab, Imam Husain as. keluar dari Madinah pergi menuju Mekkah melalui jalan utama, tidak sembunyi-sembunyi lewat jalan-jalan lainnya. Beliau sampai di Mekkah pada tanggal 3 bulan Sya’ban. Beliau masih tinggal di sana pada bulan-bulan Ramadan, Syawal, Dzulqa’dah, sampai tanggal 8 Dzulhijjah. Di Mekkah, Imam Husain as. secara berurutan tinggal di rumah Tan’im, Soffah, Dzatu ‘irq, Hajiz Batni Rummah, Zarrud, Tsa’labiyah, Zubalah, Bathn Aqabah, Syaraf, Dzu Husum, Udzaibul Hijanat, Qasr Bani Muqatil, sampai akhirnya beliau turunkan bekal perjalanan di Nainawa.
2. Undangan.
Di akhir bulan Rajab, bertepatan dengan awal pemerintahan Yazid, Imam Husain as. keluar dari Madinah menuju Mekkah untuk menghindari baiat pada Yazid. Beliau memilih Mekkah mengingat kota ini adalah haram (tempat suci) Allah yang aman, setidaknya keamanan di sana lebih terjamin daripada di tempat lain. Tidak sekedar satu tempat terbaik untuk berlindung, lebih dari itu Mekkah adalah pusat pertemuan (jemaah) yang juga terbaik, mulai dari bulan Rajab dan Sya’ban yang merupakan hari-hari umroh, kemudian musim haji yang juga kesempatan lain paling tepat untuk melakukan dakwah.
Sekitar dua bulan sejak kedatangan Imam Husain as. di Mekkah, mengalirlah surat-surat (undangan) dari warga Kufah (Irak) ke tangan beliau. oleh karena itu, undangan warga Kufah lebih merupakan faktor turunan ketimbang diangkat sebagai faktor utama kebangkitan Imam Husain as. Peran maksimal dari undangan warga Kufah saat itu ialah bahwa dunia serta pengadilan sejarah yang akan datang dapat memberikan penilaian bahwa undangan ini tampaknya telah meluangkan kesempatan yang tepat untuk (kebangkitan) beliau.
Yakni, pengaruh terbesar undangan warga Kufah itu tampak pada bentuk kebangkitan Imam Husain as, bahwanya beliau mesti bergerak dari Mekkah dan tidak menjadikannya sebagai medan pertempuran. Selain itu, undangan tersebut menjadi alasan kuat untuk menolak saran Ibnu Abbas supaya beliau hijrah mencari perlindungan ke Yaman dan daerah pegunungan di sana. Beliau pun tidak memusatkan kebangkitannya di kota kakeknya Madinah. Untuk itu, beliau bergerak menuju Kufah.
3. Amar Makruf Nahi Munkar
Faktor ini dinyatakan secara tegas oleh Imam Husain as. Sejarah menuturkan bahwa pada saat itu, tangan Muhammad bin Hanafiah -saudara Imam Husain as.- lumpuh yang membuatnya tidak bisa ikut bersama Imam Husain as. Lalu, beliau menulis wasiat dan menyerahkannya kepada Muhammad. Di dalamnya beliau juga menjelaskan falsafah kebangkitannya: “Sungguh aku tidak bangkit karena kesombongan dan keangkuhan, aku bukanlah perusak (mufsid) atau orang dzalim, aku bangkit hanya untuk melakukan reformasi pada umat kakekku, aku ingin mengajak pada kebaikan dan mencegah kemungkaran, aku berjalan di atas jalan kakek dan ayahku Ali bin Abi Thalib”.
Penjelasan ini sama sekali tidak menyinggung soal undangan warga Kufah. Ini artinya, kalaupun mereka tidak menghendaki baiatku, aku tetap tidak akan tinggal diam. Semua penghuni bumi ini mesti sadar bahwa Husain bin Ali bukanlah pecinta tahta dan harta, Husain bukanlah perusak, pemberontak atau orang dzalim. Husain hanyalah seorang reformis. Di sejumlah tempat, Imam Husain as. menjelaskan pada masyarakat maksud dan sikapnya terhadap Yazid, seperti dalam pidato beliau saat dimintai baiat padanya, surat beliau untuk Muawiyah, dan pidato beliau di Mina.
Menimbang kadar tiga faktor di atas, memang tidak sama sebanding. Masing-masing faktor memberi bobot arti pada kebangkitan Imam Husain as. sampai batas-batas tertentu.
Sekaitan dengan undangan warga Kufah, kadar pengaruh faktor ini sangat sederhana (yakni, sederhana jika kita timbang dengan nilai amal Imam Husain as, bukan dengan nilai perilaku kita). Sebab, kadar faktor ini ialah kesiapan satu propinsi atau wilayah tertentu mendukung kebangkitan. Dan menurut kaidah, kemungkinan maksimal yang dapat diprediksikan adalah lima puluh persen menang, dan tak seorangpun kan menghitung kemenangan tersebut lebih dari lima puluh persen.
Berkenaan dengan penuntutan baiat yang sejak awal ditolak mentah-mentah oleh Imam Husain as., faktor ini memberi bobot arti yang lebih besar pada kebangkitan Husaini ketimbang arti undangan. Karena, faktor ini telah muncul sejak awal, sebelum ada satu orangpun yang menyatakan dukungan dan kesiapannya untuk bangkit bersama beliau. Pemerintahan yang diktator, yang telah mengoptimalkan kekerasan selama dua puluh tahun di bawah kekuasaan Muawiyah bin abi sufyan, sekarang menuntut baiat dari Husain bin Ali dalam situasi yang sangat sulit itu. Putra mahkota telah menduduki tampuk khilafah, orang yang lebih muda, lebih congkak, lebih haus darah, dan sama sekali tidak tahu politik, sampai terkadang mengabaikan perhitungan politis secara total. Pada kondisi semacam itu, mengucapkan kata “Tidak” terhadap penguasa diktator adalah pekerjaan yang sangat besar.
Dari sudut pandang inilah kita menyaksikan bagaimana Imam Husain as. seorang diri menentang tuntutan ilegal penguasa yang betul-betul dzalim dan sewenang-wenang, di saat belum ada satu nama pun yang bisa didaftar sebagai pendukungnya. Maka itu, faktor ini mempunyai pengaruh dan nilai dalam melahirkan kebangkitan Aba abdillah Husain as. lebih dari arti undangan warga Kufah.
Adapun amar makruf nahi munkar, kadar pengaruh dan bobot nilai yang disusupkan faktor ini pada kebangkitan Imam Husain as. jauh lebih besar daripada dua faktor sebelumnya. Faktor inilah yang membuat kebangkitan itu berhak hidup untuk selama-lamanya, karena tidak lagi bergantung pada undangan dan juga tidak pada penuntutan baiat.
Yakni, Imam Husain as. bergerak menuju Kufah karena undangan warganya yang memberikan kemungkinan menang sampai lima puluh persen atau kurang. Sedangkan faktor kedua meminta beliau untuk berbaiat tapi beliau menolaknya. Jadi, kalau mereka tidak menuntut baiat dari Imam Husain as. niscaya beliau pasif, diam dan tenang, tidak ada peristiwa khas yang akan terjadi. Adapun pada faktor ketiga, Imam Husain as. adalah seorang yang protes dan menentang. Semua tempat telah dipenuhi kerusakan; yang dihalalkan Allah telah diharamkan, dan yang diharamkan-Nya juga telah dihalalkan, baitulmal muslimin juga jatuh ke tangan orang-orang yang tidak layak serta dipakai bukan dalam rangka keridhaan Allah swt. Rasulullah saww. bersabda: “barangsiapa menyaksikan kondisi semacam ini dan tidak berusaha mengubahnya, maka Allah swt pantas mengumpulkannya bersama orang-orang yang dzalim, sewenang-wenang, dan orang-orang yang mengubah agama Allah swt, nasibnya akan sama seperti mereka”.[]
Murtadha Muthahari ra.
No comments:
Post a Comment