MENGAPA Engkau Menangis?
Penulis:Saad Saefullah
KETIKA mendengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, "Apakah
yang telah
terjadi di kota Madinah?"
"Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang-
barang
dagangannya," seseorang menjawab.
Ummul Mukminin berkata lagi, "Kafilah yang telah menyebabkan semua
ini?"
"Benar, ya Ummul Mukminin. Karena ada 700 kendaraan."
Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya jauh menerawang
seolah-olah
hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya.
Kemudian ia
berkata, "Aku ingat, aku pernah mendengar Rasululah berkata, `Kulihat
Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan."
Sebagian sahabat mendengar itu. Mereka pun menyampaikannya kepada
Abdurrahman
bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali
perniagaannya dilepaskan, ia segera melangkahkan kakiknya ke rumah
Aisyah.
"Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa."
Abdurrahman
bin Auf berkata lagi, "Maka dengan ini aku mengharap dengan sangat
agar engkau
menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut
kendaraan dan
perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah."
Dan dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua
penduduk Madinah
dan sekitarnya. Sebuah infak yang mahabesar.
Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemipin yang mengendalikan
hartanya. Bukan
seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai bukti, ia
tidak mau
celaka dengan mengumpulkan harta kemudian menyimpannya. Ia
mengumpulkan harta
dengan jalan yang halal. Kemudian, harta itu tidak ia nikmati
sendirian.
Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat ikut
juga menikmati
kekayaan Abdurrahman bin Auf.
Saking kayanya Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah
berkata, "Seluruh penduduk
Madinah bersatu dengan Abdurrahman bin Auf. Sepertiga hartanya
dipinjamkan
kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-
utang mereka.
Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada mereka."
Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak
akan
mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya jika tidak ia
pergunakan untuk
membela agama Allah dan membantu kawan-kawannya. Adapun, jika ia
memikirkan
harta itu untuk dirinya, ia selalu ragu saja.
Pada suatu hari, dihidangkan kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk
berbuka.
Memang, ketika itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh
pada hidangan
tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia
malah
menangis dan berkata, "Mush'ab bin Umair telah gugur sebagai seorang
syahid. Ia
seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya mendapat kafan
sehelai burdah;
jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Dan jika
ditutupkan kedua
kakinya, terbuka kepalanya."
Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Kemudian
melanjutkan, "Demikian pula
Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur sebagai syahid,
dan di saat
akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah
dihamparkan bagi
kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil
sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir telah didahulukan pahala
kebaikan
kami."
Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa hartanya hanya
akan
memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering sekali,
akhirnya
menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mengambil harta
yang haram
sedikitpun.
Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama Abdurrahman bin
Auf
menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setalah makanan diletakkan
di hadapan
mereka, tiba-tiba ia kembali menangis. Sontak para sahabat terkejut.
Mereka pun
bertanya, "Kenapa kau menangis, wahai Abdurrahman bin Auf?"
Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab. Ia menangis tersedu-
sedu. Sahabat
benar-benar melihat bahwa betapa halusnya hati seorang Abdurrahman
bin Auf. Ia
mudah tersentuh dan begitu penuh kekhawatiran akan segala apa yang
diperbuatnya
di dunia ini. Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf
menjawab, "Rasulullah saw.
wafat dan belum pernah beliau berikut keluarganya makan roti gandum
sampai
kenyang. Apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak
menambah
kebaikan?"
Jika sudah begini, bukan hanya Abdurrahman bin Auf yang menangis,
para sahabat
pun akan ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah
tersentuh,
dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap rida Allah.
Kisah-kisah menawan Hati - Page 6 - WebGaul Forum : : A ZEIN Company
Penulis:Saad Saefullah
KETIKA mendengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, "Apakah
yang telah
terjadi di kota Madinah?"
"Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang-
barang
dagangannya," seseorang menjawab.
Ummul Mukminin berkata lagi, "Kafilah yang telah menyebabkan semua
ini?"
"Benar, ya Ummul Mukminin. Karena ada 700 kendaraan."
Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya jauh menerawang
seolah-olah
hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya.
Kemudian ia
berkata, "Aku ingat, aku pernah mendengar Rasululah berkata, `Kulihat
Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan."
Sebagian sahabat mendengar itu. Mereka pun menyampaikannya kepada
Abdurrahman
bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali
perniagaannya dilepaskan, ia segera melangkahkan kakiknya ke rumah
Aisyah.
"Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa."
Abdurrahman
bin Auf berkata lagi, "Maka dengan ini aku mengharap dengan sangat
agar engkau
menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut
kendaraan dan
perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah."
Dan dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua
penduduk Madinah
dan sekitarnya. Sebuah infak yang mahabesar.
Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemipin yang mengendalikan
hartanya. Bukan
seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai bukti, ia
tidak mau
celaka dengan mengumpulkan harta kemudian menyimpannya. Ia
mengumpulkan harta
dengan jalan yang halal. Kemudian, harta itu tidak ia nikmati
sendirian.
Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat ikut
juga menikmati
kekayaan Abdurrahman bin Auf.
Saking kayanya Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah
berkata, "Seluruh penduduk
Madinah bersatu dengan Abdurrahman bin Auf. Sepertiga hartanya
dipinjamkan
kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-
utang mereka.
Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada mereka."
Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak
akan
mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya jika tidak ia
pergunakan untuk
membela agama Allah dan membantu kawan-kawannya. Adapun, jika ia
memikirkan
harta itu untuk dirinya, ia selalu ragu saja.
Pada suatu hari, dihidangkan kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk
berbuka.
Memang, ketika itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh
pada hidangan
tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia
malah
menangis dan berkata, "Mush'ab bin Umair telah gugur sebagai seorang
syahid. Ia
seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya mendapat kafan
sehelai burdah;
jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Dan jika
ditutupkan kedua
kakinya, terbuka kepalanya."
Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Kemudian
melanjutkan, "Demikian pula
Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur sebagai syahid,
dan di saat
akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah
dihamparkan bagi
kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil
sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir telah didahulukan pahala
kebaikan
kami."
Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa hartanya hanya
akan
memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering sekali,
akhirnya
menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mengambil harta
yang haram
sedikitpun.
Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama Abdurrahman bin
Auf
menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setalah makanan diletakkan
di hadapan
mereka, tiba-tiba ia kembali menangis. Sontak para sahabat terkejut.
Mereka pun
bertanya, "Kenapa kau menangis, wahai Abdurrahman bin Auf?"
Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab. Ia menangis tersedu-
sedu. Sahabat
benar-benar melihat bahwa betapa halusnya hati seorang Abdurrahman
bin Auf. Ia
mudah tersentuh dan begitu penuh kekhawatiran akan segala apa yang
diperbuatnya
di dunia ini. Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf
menjawab, "Rasulullah saw.
wafat dan belum pernah beliau berikut keluarganya makan roti gandum
sampai
kenyang. Apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak
menambah
kebaikan?"
Jika sudah begini, bukan hanya Abdurrahman bin Auf yang menangis,
para sahabat
pun akan ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah
tersentuh,
dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap rida Allah.
No comments:
Post a Comment