Pertanyaan: Saya adalah seorang penganut Syi’ah, saya ingin bertanya bagaimana pandangan Ahlussunnah tentang Imam Husein?
Jawaban:
Yang Ahlussunnah ketahui tentang Imam Husein, bahwa beliau adalah cucu Nabi dan belahan jiwanya, juga yang paling mirip wajahnya dengan Nabi. Beliau sering mencium cucunya yang satu ini. Imam Husein dan saudaranya Imam Hasan, adalah penghulu pemuda penghuni sorga. Mereka berdua adalah anak dari Amirul Mukminin Ali bin Abi Tolib, orang yang mencintai dan dicintai Allah dan RasulNya. Ali adalah seorang yang harus dicintai oleh setiap mereka yang mengaku beriman. Ahlussunnah menganggap bahwa mencintai Ali adalah bagian dari iman, dan sebaliknya, membenci dan memusuhi Ali adalah bagian dari kemunafikan, salah satu sifat tercela yang harus dijauhi. Imam Husein adalah anak dari penghulu wanita penghuni sorga, belahan hati Rasulullah, Fatimah Azzahra, juga termasuk Ahlul Bait yang dibersihkan oleh Allah sebersih-bersihnya. Nabi berwasiat pada kita supaya menjaga Ahlul Bait ketika berkhotbah siang hari di tengah terik matahari Ghadir Khum : “Aku ingatkan kalian atas Ahlul Baitku”. Imam Husein adalah penghulu Ahlussunnah, dan cucu Nabi kami, Ahlussunnah mencintai Imam Husein dan yakin bahwa cinta padanya adalah ikatan tali iman. Mencintai Imam Husein termasuk amal terbaik yang dapat dipersembahkan oleh orang beriman pada Allah, dalam rangka melaksanakan sabda Nabi : “seseorang akan bersama dengan yang dicintainya”. Barang siapa mencintai Imam Husein berarti dia telah mencintai Nabi dan sebaliknya, yang membenci Imam Husein berarti telah membenci Nabi. Kami Ahlussunnah beranggapan mengenai Imam Husein sama seperti anggapan Umar bin Khottob tentang beliau : “siapa yang menumbuhkan rambut di kepala kami kalau bukan Allah lalu kalian wahai Ahlul Bait?”
Kami Ahlussunnah meyakini bahwa Imam Husein telah mati dibunuh musuh-musuh yang menzaliminya, kami berlepas diri dari seluruh orang celaka yang telah membunuhnya atau bantu-membantu dalam membunuh Imam Husein, atau mereka yang ridho atas kezaliman yang menimpanya. Kami meyakini bahwa kezaliman yang menimpa Imam Husein adalah curahan karunia dari Allah pada beliau, untuk meninggikan derajatnya, memuliakan pangkatnya, seperti sabda kakeknya : “para Nabi adalah orang yang paling berat ujiannya, lalu orang yang terbaik di setelah mereka dan seterusnya”. Dengan perantaraan ujian yang berat ini Allah mengaruniakan padanya pangkat mulia sebagai seorang syahid. Dengan ujian ini Allah mengangkatnya ke derajat para pendahulu ahlul bait yang sabar ditimpa cobaan di masa awal Islam, begitulah, Imam Husein juga bersabar dalam menghadapi ujian berat yang menimpa dirinya, sehingga Allah menyempurnakan nikmatnya dengan karunia syahadah. Perlu diketahui, bahwa karunia sebagai syahid tidak pernah diberikan kecuali pada orang yang sabar dalam menghadapi cobaan, ternyata Imam Husein termasuk mereka yang layak mendapatkannya. Kami yakin, sejak itu, kaum muslimin tidak pernah ditimpa musibah lebih besar dari syahidnya Imam Husein.
Setiap kami mengingat musibah itu, kami selalu mengucapkan perkataan yang diajarkan oleh Fatimah binti Husein, yang ikut hadir saat ayahnya syahid, dari ayahnya dari kakeknya yaitu Rasulullah, bahwa beliau bersabda : “barang siapa ditimpa musibah dan ingat akan musibah itu, lalu ber istirja’ (mengucapkan Inna lillahi...dst) maka Allah akan memberinya pahala sama seperti pahala musibah itu ketika menimpanya walaupun musibah itu sudah lama terjadi.” Maka kami mengucapkan “Inna lillahi wa inna ilaihi Roji’un”, karena kami ingin mendapat berita gembira dari Allah : “berilah kabar gembira bagi orang-orang yang bersabar, yaitu mereka yang mengatakan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ketika ditimpa musibah. Mereka akan mendapat pujian dan rahmat dari Allah, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”
Walaupun kami mencintai Imam Husein, tapi kami tidak akan melanggar batas yang telah ditetapkan oleh kakeknya, Rasulullah, yang telah bersabda : “ janganlah kalian berlebihan dalam memujiku seperti kaum nasrani berlebihan dalam memuji Isa bin Maryam, tapi cukup katakanlah : Muhammad adalah Hamba Allah dan RasulNya”
Ahlussunnah tidak berdoa dan meminta pertolongan pada Imam Husein dengan alasan menghormatinya [1] , karena Allah melarang kami berbuat demikian. Ahlussunnah tidak memperlakukan Nabi dan Ahlulbaitnya seperti memperlakukan Allah, sebagaimana kaum Nasrani menyekutukan Allah dengan Isa dan Maryam yang akhirnya menjadikan mereka berdua sebagai tuhan selain Allah. Ahlussunnah beranggapan bahwa Ahlul Bait tidak memiliki posisi dan kewenangan yang hanya dimiliki para Nabi, seperti kemaksuman dan kewenangan membuat syareat baru, yang hanya dimiliki oleh para Nabi sebagai penyampai Risalah Allah. Ahlussunnah meyakini bahwa Ahlul Bait adalah pengikut Nabi yang terbaik dan penyampai dakwah Nabi Muhammad, kita semua mengetahui bahwa Ahlul Bait adalah manusia biasa, tapi mereka adalah manusia-manusia terbaik. Namun ahlul bait tidak pernah merasa bahwa menjadi kerabat Nabi adalah jaminan keselamatan di akherat, seperti anggapan sebagian orang yang mengaku keturunan Nabi saat ini. Ahlul Bait adalah mereka yang paling keras membela Islam dan paling depan dalam melaksanakan ajaran Islam, seperti dijelaskan Imam Ali Zainal Abidin : Aku berharap Allah akan memberi pahala dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat baik, namun takut Allah akan memberi dosa dua kali lipat bagi ahlul bait yang berbuat dosa.
Ahlussunnah tidak melanggar perintah kakek Imam Husein, Rasulullah, yang melarang ummatnya meratap, memukul badan dan menobek pakaian ketika ditimpa musibah [2] . Rasulullah menerangkan bahwa perbuatan itu termasuk perbuatan jahiliyah. Bahkan Hamzah, paman Nabi, telah dibunuh dan dirusak mayatnya, Nabi pun bersedih, beliau tidak pernah ditimpa musibah seberat ketika pamannya dibunuh dan dirusak mayatnya di perang uhud. Namun tidak pernah menjadikan hari terbunuhnya Hamzah sebagai hari duka cita yang penuh dengan tangis ratapan. Begitu juga Ali, tidak pernah berbuat demikian saat memperingati wafatnya Nabi, juga Imam Hasan dan Imam Husein tidak pernah mengadakan acara duka cita dan ratapan pada hari peringatan wafatnya Ali. Maka Ahlussunnah tidak menjadikan hari peringatan wafatnya Imam Husein sebagai hari duka cita, kami meniru hal itu dari petunjuk Nabi yang diikuti oleh Ali dan kedua puteranya, Hasan dan Husein.
Hari Asyura adalah hari di mana Allah menyelamatkan Nabi Musa dari ancaman dan kejaran Fir’aun, Rasulullah berpuasa pada hari itu sebagai ungkapan syukur pada Allah, Ahlussunnah berpuasa pada hari itu mencontoh Nabi yang telah berpuasa pada hari itu. Pada hari itu cucu Rasulullah jatuh syahid menemui Allah, menyusul kakek, ayah, ibu dan kakaknya. Kami bersabar dan mengharap pahala Allah atas kesedihan kami terhadap musibah itu. Pada hari itu Ahlussunnah melaksanakan dua amalan besar, yaitu bersyukur atas selamatnya Nabi Musa dan bersabar atas musibah yang menimpa, yaitu syahidnya Imam Husein. Sama dengan tanggal 17 Ramadhan, Ahlussunnah bersyukur memperingati kemenangan Nabi dan para sahabatnya di perang Badar, sekaligus bersedih memperingati syahidnya Ali bin Abi Thalib. Juga hari Senin, dimana pada hari itu Nabi Muhammad lahir dan wafat. Kami berpuasa sebagai ungkapan rasa syukur atas selamatnya Nabi Musa, kami juga bersedih dan bersabar, serta tak lupa mengucapkan istirja’ Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’uun atas musibah syahidnya cucu baginda Nabi, Imam Husein, dengan hati yang penuh pengharapan, kiranya dapat masuk ke golongan mereka yang diberi kabar gembira.
Saudara penanya, firasat saya mengatakan, bahwa dengan mengajukan pertanyaan ini, anda sedang mencari kebenaran karena desakan rasa ingin tahu yang ada dalam hati anda. Anda hendaknya sudi mencontoh Imam Ali, yang meskipun sedang berusia muda, tapi berani mengambil sikap tegas dan meninggalkan ajaran kaumnya, masuk dalam agama Islam yang turun pada Nabi Muhammad, walaupun ketika itu pengikut Nabi baru sedikit, lagi lemah dan tertindas. Seluruh kehidupan Imam Ali menjadi teladan bagi kita agar selalu mengikuti dan mempertahankan kebenaran walaupun dengan harga yang amat mahal.
Ketahuilah wahai saudaraku, umur yang kita punya sungguh amat pendek untuk habis tenggelam dalam bahtera keraguan. Waktu yang ada sungguh sempit untuk habis karena ikut pada kesesatan. Mari kita mencari kebenaran sekuat tenaga, bersimpuh kepada Allah memanjatkan doa munajat, agar berkenan memberikan pada kita petunjuk jalan yang benar, mengilhamkan kepada kita semua hidayah ketika manusia berselisih pendapat, membimbing kita semua menuju ridhoNya, membimbing kita ke jalan yang lurus, jalan mereka yang telah diberi nikmat oleh Allah, jalan para Nabi, Shiddiqin, Syuhada dan Sholihin. Kita harus mengerti dan sadar, jika bukan karena rahmat dan hidayah Allah yang tercurah pada kita, kita akan terus berkubang dalam kesesatan dan kebingungan. Ya Allah, dengan kecintaan kami pada NabiMu dan Ahlul Bait, kami memohon padaMu, kiranya Engkau sudi membimbing kami ke jalan NabiMu dan Ahlul Bait, menuntun kami agar dapat bersama mereka kelak di akherat, memberi hidayah agar kami dapat mengikuti jalan mereka. Amin.
Dr. Abdul Wahhab Al Turairi
[1] Ahlussunnah tidak mengatakan: Ya Husein… adrikni, atau Ya Sohibazzaman… Adrikni
[2] Syi’ah memperingati Syahidnya Imam Husein dengan memukul badan, baik dengan tangan kosong maupun dengan senjata tajam, merobek pakaian dan meratap-ratap.
sumber asal
2 comments:
Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan kebrkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah isteri dari Nabi Ibrahim.
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah Ibu Nabi Musa As. atau ya Saudara Nabi Musa As.
3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sesudah ayar 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. isteri plus anak-anak beliau.
Coba baca catatan kaki dari kitab: Al Quran dan Terjemahannya, maka ahlulbaik yaitu hanya ruang lingkup keluarga rumah tangga MUHAMMAD RASULULLAH SAW. Dan jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas, maka ruang lingkup ahlul bait tsb. menjadi:
1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg 'nabi' sudah meninggal terlebih dahulu.
2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya saudara kandung beliau ini tak ada karena beliau 'anak tunggal' dari Bapak Abdullah dengan Ibu Aminah.
3. Isteri-isteri beliau.
4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus anak lelaki beliau, sayangnya tak ada yang hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan keturunan.
Seandainya ada anak lelaki beliau yang berkeluarga, ada anak lelaki pula, wah ini masalah pewaris tahta 'ahlul bait' akan semakin seru. Inilah salah satu mukjizat, mengapa Saidina Muhammad SAW tak diberi oleh Allah SWT anak lelaki sampai dewasa dan berketurunan. Pasti, perebutan tahta ahlul baitnya dahsyat jadinya.
Bagaimana tentang pewaris tahta 'ahlul bait' dari Bunda Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidak mengambil garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam. Lalu, apakah anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali boleh kita nasabkan kepada Bunda Fatimah, ya jika merujuk pada Al Quran tidak bisalah. Kalaupun kita paksakan, bahwa anak Bunda Fatimah juga ahlul bait, maka karena kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), seharusnya pemegang waris tahta ahlul bait diambil dari anak perempuannya seperti Zainab, bukan Hasan dan Husein sbg penerima warisnya. Jadi tidak sistim nasab itu berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari kembali ke nasab laki-laki.
Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta 'ahlul bait'.
Kesimpulan dari tulisan di atas, maka pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanyalah bunda Fatimah, sementara anaknya Saidina Hasan dan Husein bukan lagi pewaris dari tahta AHLUL BAIT.
Ya jika Saidina Hasan dan Husein saja bukan Ahlul Bait, pastilah anak-anaknya otomatis bukan pewaris Ahlul Bait juga. Tutuplah debat masalah Ahlul Bait ini, karena fihak-fihak yang mengklaim mereka keturunan ahlul bait itu sebenarnya tidak ada karena tahta ahlul bait memang tak diwariskan lagi
Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.
1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan kebrkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah isteri dari Nabi Ibrahim.
2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah Ibu Nabi Musa As. atau ya Saudara Nabi Musa As.
3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".
Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW. Sedangkan sesudah ayar 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. isteri plus anak-anak beliau.
Coba baca catatan kaki dari kitab: Al Quran dan Terjemahannya, maka ahlulbaik yaitu hanya ruang lingkup keluarga rumah tangga MUHAMMAD RASULULLAH SAW. Dan jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas, maka ruang lingkup ahlul bait tsb. menjadi:
1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg 'nabi' sudah meninggal terlebih dahulu.
2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya saudara kandung beliau ini tak ada karena beliau 'anak tunggal' dari Bapak Abdullah dengan Ibu Aminah.
3. Isteri-isteri beliau.
4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus anak lelaki beliau, sayangnya tak ada yang hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan keturunan.
Seandainya ada anak lelaki beliau yang berkeluarga, ada anak lelaki pula, wah ini masalah pewaris tahta 'ahlul bait' akan semakin seru. Inilah salah satu mukjizat, mengapa Saidina Muhammad SAW tak diberi oleh Allah SWT anak lelaki sampai dewasa dan berketurunan. Pasti, perebutan tahta ahlul baitnya dahsyat jadinya.
Bagaimana tentang pewaris tahta 'ahlul bait' dari Bunda Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidak mengambil garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam. Lalu, apakah anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali boleh kita nasabkan kepada Bunda Fatimah, ya jika merujuk pada Al Quran tidak bisalah. Kalaupun kita paksakan, bahwa anak Bunda Fatimah juga ahlul bait, maka karena kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), seharusnya pemegang waris tahta ahlul bait diambil dari anak perempuannya seperti Zainab, bukan Hasan dan Husein sbg penerima warisnya. Jadi tidak sistim nasab itu berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari kembali ke nasab laki-laki.
Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta 'ahlul bait'.
Kesimpulan dari tulisan di atas, maka pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanyalah bunda Fatimah, sementara anaknya Saidina Hasan dan Husein bukan lagi pewaris dari tahta AHLUL BAIT.
Ya jika Saidina Hasan dan Husein saja bukan Ahlul Bait, pastilah anak-anaknya otomatis bukan pewaris Ahlul Bait juga. Tutuplah debat masalah Ahlul Bait ini, karena fihak-fihak yang mengklaim mereka keturunan ahlul bait itu sebenarnya tidak ada karena tahta ahlul bait memang tak diwariskan lagi
Post a Comment