Sudah berapa lama kita hidup?
Dan pasti selama itu pula kita berusaha untuk mencari nafkah/bekal dunia untuk menghidupi diri kita dan keluarga kita, namun akan ada waktunya nanti ketika kita tidak lagi diberi kesempatan untuk mencari bekal dan hanya menikmati jerih payah kita, semua itu akan terjadi ketika maut bertamu kepada kita.
Kematian bisa saja datang kapan saja, boleh jadi hari ini, besok, lusa, bulan depan, tahun depan. Bayangkan jika kelak malaikat maut sudah bertamu kehadapan anda, bagaimana ekspresi keluarga, anak, istri, sanak kerabat dan handai taulanmu. Betapa kesedihan melanda mereka, istrimu menjadi janda, anak-anakmu menjadi yatim, sanak kerabat kehilangan dirimu. Ketika kita dihantarkan ramai-ramai ke suatu tempat yang sangat sempit, hanya 2×1 M.
Jasadmu terbujur kaku , tubuhmu menjadi dingin, kain kafan menghiasi sekujur tubuhmu, kapas putih menutup hidungmu dan orang-orang silih berganti datang melayatmu dengan berbagai komentarnya “tidak disangka ya mas begitu cepat dia meninggal padahal…” ataupun komentar komentar lainnya, tidak hanya itu, lama kita menempati tempat tersebut pun lebih lama dari hidup kita di dunia yang sebenarnya diberikan oleh Allah subhanahu wata’ala sebagai kesempatan kita mencari bekal menghadapi hal tersebut.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, senantiasa mengingatkan kita ummatnya untuk selalu mengingat kematian, beliau bersabda:
أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ يَعْنِي الْمَوْت
“Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan yaitu kematian”. [HR.Tirmizi ]
Mengingat kematian akan membuat seseorang akan lebih banyak menangis dan senantiasa khawatir dengan nasibnya setelah mati. Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لو تعلمون ما أعلم لضحكتم قليلا ولبكيتم كثيرا
“Seandainnya kalian mengetahui apa yang ku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.” [HR. Muttafaq ‘alaihi.]
Seseorang berkata kepada Alhasan: “wahai Abu Said, apa yang harus kami lakukan?? tatkala kami bermajlis dengan suatu kaum yang senantiasa menakuti kami dengan kematian yang membuat hati kami hampir-hampir terbang,” maka Alhasan menjawab: “demi Allah jikalah engkau dapat bermajlis dengan suatu kaum yang senantiasa menakuti-nakuti dengan kematian sehingga engkau beramal) itu lebih baik bagimu agar kelak engkau mati dalam keadaan aman(selamat), daripada duduk bermajlis dengan suatu kaum yang membuatmu merasa aman(dengan perkara dunia) namun kelak engkau benar-benar akan ketakutan (ketika matimu karena lalai beramal”).
Berkata AlHakim bin Nuh kepada sahabat-sahabatnya: “Suatu ketika Malik Bin Dinar tidur sepanjang malam tanpa mengerjakan sholat walaupun satu raka’at, ketika itu kami bersamanya di atas perahu di tengah lautan. Pagi hari aku berkata padanya: Wahai Malik, alangkah panjangnya tidurmu malam ini sehingga engaku tidak sempat sholat malam ataupun berdoa. Maka seketika itu dia menangis dan berkata: seandainya manusia mengetahui apa yang akan mereka hadapi kelak (ketika kematian) pasti mereka tidak akan pernah merasakan nikmatnya hidup ini, sebab aku-demi Allah- tatkala melihat gelap dan seramnya keadaan tadi malam, aku teringat dahsyatnya keadaan di padang mahsyar, setiap orang sibuk dengan dirinya masing-masing, tiada berguna waktu itu bapak bagi anaknya dan sebaliknya, setelah itu dia menangis tersedu-sedu sejadi-jadinya, setelah sekian lama barulah tangisannya reda, maka teman-teman yang bersamaku diperahu berdatangan memarahiku dan berkata: tidak kah kau paham bahwa dia tidak dapat menahan diri jika diinggatkan tentang (kematian dan akhirat) kenapa kau mengingatkannya? Berkata Alhakim: sejak itu aku tidak lagi berani mengingatkannya tentang perkara itu.”
Ketika kita mengingat akan hal itu tentu kita sebagai orang yang mengaku beriman setidaknya ada rasa takut dan berusaha mempersiapkan diri, dikarenakan lamanya dan susahnya menjalani perjalanan setelah kita hidup di dunia ini. Sebagai bukti bahwa kita mengimani hal tersebut.
Berkata Ad-Daqqaq: “Barang siapa yang senantiasa mengingat kematian maka dia akan akan mudah untuk mengerjakan tiga hal: dia akan segera bertaubat, akan merasa qana’ah(rela dengan apa yang Allah berikan dalam hal dunia), dan akan semangat dalam beribadah. Sebaliknya barang siapa yang lalai untuk mengingat kematian, dia akan merugi dalam tiga hal: menunda-nunda bertaubat, tidak pernah merasa cukup dan puas (dengan dunia yang dimilikinya) dan akan membuatnya malas untuk beribadah”
Ketahuilah saudaraku, bahwa tauhid yang bersih merupakan kunci untuk meraih ampunan. Namun, hal ini tidaklah sesederhana dan semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang.
Meninggal di atas tauhid yang bersih merupakan syarat mendapatkan ampunan dosa. Dalam hal ini terdapat perincian sebagai berikut:
[1] Orang yang meninggal dalam keadaan melakukan syirik besar atau tidak bertaubat darinya maka dia pasti masuk neraka.
[2] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih terkotori dengan syirik kecil sementara kebaikan-kebaikannya ternyata lebih berat daripada timbangan keburukannya maka dia pasti masuk surga.
[3] Orang yang meninggal dalam keadaan bersih dari syirik besar namun masih memiliki syirik kecil sedangkan keburukan/dosanya justru lebih berat dalam timbangan maka orang itu berhak masuk neraka namun tidak kekal di sana (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 44)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Allah ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Seandainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa hampir sepenuh isi bumi lalu kamu menemui-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu apapun, niscaya Aku pun akan mendatangimu dengan ampunan sebesar itu pula.” (HR. Tirmidzi, dan dia menghasankannya)
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa tauhid merupakan syarat untuk bisa meraih ampunan Allah ta’ala. Syaikh Abdurrahman bin Hasan rahimahullah berkata mengomentari hal ini, “Ini adalah syarat yang berat untuk bisa mendapatkan janji itu yaitu curahan ampunan. Syaratnya adalah harus bersih dari kesyirikan, banyak maupun sedikit. Sementara tidak ada yang bisa selamat/bersih darinya kecuali orang yang diselamatkan oleh Allah ta’ala. Itulah hati yang selamat sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), “Pada hari ketika tidak lagi bermanfaat harta dan keturunan kecuali bagi orang yang menghadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara: 88-89).” (Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 53-54)
Namun sebagaimana sudah disinggung di atas keutamaan ini hanya akan bisa diperoleh bagi orang yang bersih tauhidnya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“…Seandainya ada seorang yang bertauhid dan sama sekali tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatupun berjumpa dengan Allah dengan membawa dosa hampir seisi bumi, maka Allah pun akan menemuinya dengan ampunan sepenuh itu pula. Namun hal itu tidak akan bisa diperoleh bagi orang yang cacat tauhidnya. Karena sesungguhnya tauhid yang murni yaitu yang tidak tercemari oleh kesyirikan apapun maka ia tidak akan menyisakan lagi dosa. Karena ketauhidan semacam itu telah memadukan antara kecintaan kepada Allah, pemuliaan dan pengagungan kepada-Nya serta rasa takut dan harap kepada-Nya semata, yang hal itu menyebabkan tercucinya dosa-dosa, meskipun dosanya hampir memenuhi isi bumi. Najis yang datang sekedar menodai, sedangkan faktor yang menolaknya sangat kuat.” (Dinukil dari Fath al-Majid bi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 54-55)
Wallahu'alam bissawab
(KabarDuniaIslam)
No comments:
Post a Comment