oleh Ihsan Maulana
Dalil-dalil Hadiah Pahala Bacaan
Seorang teman, men-sms saya, dia menulis begini, “ Assalamu’alaikum, Ihsan, jika pean punya refrensi tentang tahlil dan diba’, dalil-dalil yang menjadi dasarnya apa?bunyinya bagaimana?diriwayatkan siapa, penting, tolong ya, matur suwun. Wassalamu’alaikum.” Demikianlah apa yang disampaikan teman saya tersebut. Daripada itu, saya pun berpikir kenapa jawaban saya tidak saya jabarkan secara luas saja karena saya yakin orang yang bertanya seperti teman saya di atas bukan hanya teman saya tapi juga banyak muslim lain di penjuru lain dunia ini.
Berikut adalah hasil penelusuran saya pada dalil-dalil tentang seputar tahlil.
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padahal imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (Mukhtasar Tadzkirah Qurtubi halaman: 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang datang padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-Qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadilah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca ke atas pekuburan sesudah pemakaman awal surat al-Baqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat Darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-Salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati di antara kamu”.
Berikut adalah hasil penelusuran saya pada dalil-dalil tentang seputar tahlil.
1. Hadits tentang wasiat ibnu umar tersebut dalam syarah aqidah Thahawiyah Hal :458 :
“ Dari ibnu umar Ra. : “Bahwasanya Beliau berwasiat agar diatas kuburnya nanti sesudah pemakaman dibacakan awa-awal surat albaqarah dan akhirnya. Dan dari sebagian muhajirin dinukil juga adanya pembacaan surat albaqarah”
Hadits ini menjadi pegangan Imam Ahmad, padahal imam Ahmad ini sebelumnya termasuk orang yang mengingkari sampainya pahala dari orang hidup kepada orang yang sudah mati, namun setelah mendengar dari orang-orang kepercayaan tentang wasiat ibnu umar tersebut, beliau mencabut pengingkarannya itu. (Mukhtasar Tadzkirah Qurtubi halaman: 25).
Oleh karena itulah, maka ada riwayat dari imam Ahmad bin Hnbal bahwa beliau berkata : “ Sampai kepada mayyit (pahala) tiap-tiap kebajikan karena ada nash-nash yang datang padanya dan juga karena kaum muslimin (zaman tabi’in dan tabiuttabi’in) pada berkumpul disetiap negeri, mereka membaca al-Qur’an dan menghadiahkan (pahalanya) kepada mereka yang sudah meninggal, maka jadilah ia ijma . (Yasaluunaka fid din wal hayat oleh syaikh DR Ahmad syarbasy Jilid III/423).
2. Hadits dalam sunan Baihaqi danan isnad Hasan
“ Bahwasanya Ibnu umar menyukai agar dibaca ke atas pekuburan sesudah pemakaman awal surat al-Baqarah dan akhirnya”
Hadits ini agak semakna dengan hadits pertama, hanya yang pertama itu adalah wasiat seadangkan ini adalah pernyataan bahwa beliau menyukai hal tersebut.
3. Hadits Riwayat Darulqutni
“Barangsiapa masuk kepekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.
4. Hadits marfu’ Riwayat Hafidz as-Salafi
“ Barangsiapa melewati pekuburan lalu membaca qulhuwallahu ahad (surat al ikhlash) 11 kali, kemudian menghadiahkan pahalanya kepada orang-orang yang telah mati (dipekuburan itu), maka ia akan diberi pahala sebanyak orang yang mati disitu”.(Mukhtasar Al-qurtubi hal. 26).
5. Hadits Riwayat Thabrani dan Baihaqi
“Dari Ibnu Umar ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika mati salah seorang dari kamu, maka janganlah menahannya dan segeralah membawanya ke kubur dan bacakanlah Fatihatul kitab disamping kepalanya”.
6. Hadits riwayat Abu dawud, Nasa’I, Ahmad dan ibnu Hibban:
“Dari ma’qil bin yasar dari Nabi SAW., Beliau bersabda: “Bacakanlah surat yaasin untuk orang yang telah mati di antara kamu”.
Pilihan Pembacaan Ayat Dalam Tahlil
1.Surat Al Faatihah.
1.Surat Al Faatihah.
Dari Abi Said Rafi’ bin Al Mu’alla ra. berkata: Rasulullah saw. berkata
kepadaku, “Mahukah aku ajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam Al
Qur’an, sebelum kamu keluar dari masjid?” Lalu beliau memegang tanganku, dan
ketika kami hendak keluar aku bertanya, “Ya Rasulullah, engkau berkata bahwa
engkau akan mengajarkanku surat yang palin agung dalam (Al Faatihah), ia
adalah tujuh ayat yang dibaca pada setiap shalat, ia adalah Al Qur’an yang
agung yang diberikan kepadaku.”(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)
2.Surat Al Faatihah dan beberapa ayat terakhir surat Al Baqarah.
Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Ketika Jibril a.s. sedang duduk di sisi Nabi
saw. baginda mendengar suara dari atas, lalu beliau mendongakkan kepala dan
bersabda, “Ini adalah pintu langit yang dibuka pada hari ini dan yang dibuka
pada hari ini dan tidak pernah dibuka kecuali hari ini.” Lalu turun malaikat
dari pintu tersebut, kemudian beliau bersabda, “Ini adalah malaikat yang
turun ke bumi dan dia tidak pernah turun kecuali hari ini.” Lalu dia
(malaikat) memberi salam seraya berkata, “Aku membawa berita gembira dengan
dua cahaya yang diturunkan kepada engkau dan tidak pernah diberikan kepada
nabi sebelummu, yaitu: Surat Al Faatihah dan beberapa ayat terakhir Surat Al
Baqarah, tidaklah kamu membaca satu huruf daripadanya kecuali kamu medapat
karunia.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Diriwayatkan Oleh Al imam sajjad dari rosul S.A.W,”Siapa yang membaca “4 ayat pertama dalam Al-baqarah, membaca Ayat kursi dan 2 Ayat setelah ayat kursi, dan membaca 3 surat akhir dalam surat Al-baqarah” Dia tidak akan pernah melihat sesuatu yang mengecewakan dalam hidupnya dan tidak akan pernah menemui apa saja yang membuat membuat risau semua terasa aman.” Semua mengenakkan, dia tidak akan didekati setan, dan ia akan tidak akan melupakan alQuran. Berkaitan surat yang paling mulia selain alfatikhah karena surat al-fatikhah adalah inti dari AlQur’an dan surat yang paling mulia setelah itu adalah surat Al-baqarah karena didalam surat ini terdapat ayat yang paling mulia yaitu “Ayat Kursi”.
kepadaku, “Mahukah aku ajarkan kepadamu surat yang paling agung dalam Al
Qur’an, sebelum kamu keluar dari masjid?” Lalu beliau memegang tanganku, dan
ketika kami hendak keluar aku bertanya, “Ya Rasulullah, engkau berkata bahwa
engkau akan mengajarkanku surat yang palin agung dalam (Al Faatihah), ia
adalah tujuh ayat yang dibaca pada setiap shalat, ia adalah Al Qur’an yang
agung yang diberikan kepadaku.”(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)
2.Surat Al Faatihah dan beberapa ayat terakhir surat Al Baqarah.
Dari Ibnu Abbas ra. berkata: Ketika Jibril a.s. sedang duduk di sisi Nabi
saw. baginda mendengar suara dari atas, lalu beliau mendongakkan kepala dan
bersabda, “Ini adalah pintu langit yang dibuka pada hari ini dan yang dibuka
pada hari ini dan tidak pernah dibuka kecuali hari ini.” Lalu turun malaikat
dari pintu tersebut, kemudian beliau bersabda, “Ini adalah malaikat yang
turun ke bumi dan dia tidak pernah turun kecuali hari ini.” Lalu dia
(malaikat) memberi salam seraya berkata, “Aku membawa berita gembira dengan
dua cahaya yang diturunkan kepada engkau dan tidak pernah diberikan kepada
nabi sebelummu, yaitu: Surat Al Faatihah dan beberapa ayat terakhir Surat Al
Baqarah, tidaklah kamu membaca satu huruf daripadanya kecuali kamu medapat
karunia.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Diriwayatkan Oleh Al imam sajjad dari rosul S.A.W,”Siapa yang membaca “4 ayat pertama dalam Al-baqarah, membaca Ayat kursi dan 2 Ayat setelah ayat kursi, dan membaca 3 surat akhir dalam surat Al-baqarah” Dia tidak akan pernah melihat sesuatu yang mengecewakan dalam hidupnya dan tidak akan pernah menemui apa saja yang membuat membuat risau semua terasa aman.” Semua mengenakkan, dia tidak akan didekati setan, dan ia akan tidak akan melupakan alQuran. Berkaitan surat yang paling mulia selain alfatikhah karena surat al-fatikhah adalah inti dari AlQur’an dan surat yang paling mulia setelah itu adalah surat Al-baqarah karena didalam surat ini terdapat ayat yang paling mulia yaitu “Ayat Kursi”.
3.Surat Al Baqarah.
Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kau jadikan
rumah-rumahmu seperti kuburan, sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang
di dalamnya dibaca surat Al Baqarah.”(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
rumah-rumahmu seperti kuburan, sesungguhnya setan akan lari dari rumah yang
di dalamnya dibaca surat Al Baqarah.”(Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
4.Ayat Kursi.
Dari Ubai bin Ka’ab ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu
Munzir, tahukah engkau ayat manakah dalam Al Qur’an yang paling agung
menurutmu?” Aku menjawab, “Allahu laailaaha illa huwalhayyul qoyyuum (ayat
kursi)”, Lalu beliau menepuk dadaku dan bersabda, “Semoga Allah memudahkan
ilmu bagimu wahai Abu Munzir.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Dari Ubai bin Ka’ab ra. berkata: Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Abu
Munzir, tahukah engkau ayat manakah dalam Al Qur’an yang paling agung
menurutmu?” Aku menjawab, “Allahu laailaaha illa huwalhayyul qoyyuum (ayat
kursi)”, Lalu beliau menepuk dadaku dan bersabda, “Semoga Allah memudahkan
ilmu bagimu wahai Abu Munzir.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
5.Dua ayat terakhir surat Al Baqarah.
Dari Abi Mas’ud Al Badri ra. dari Rasulullah saw. beliau bersabda,
“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir surat Al Baqarah pada waktu malam
niscaya ia akan mencukupinya.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim)
Dari Abi Mas’ud Al Badri ra. dari Rasulullah saw. beliau bersabda,
“Barangsiapa membaca dua ayat terakhir surat Al Baqarah pada waktu malam
niscaya ia akan mencukupinya.” (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam
Muslim)
6.Al Baqarah dan Ali ‘Imran.
Dari Abi Umamah Al Bahili berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Bacalah Al Qur’an karena di hari kiamat kelak ia akan memberikan syafaat
bagi pembacanya, bacalah zahrawaen, yaitu: surat Al Baqarah dan surat Ali
‘Imran. Sesungguhnya pada hari kiamat nanti keduanya akan datang bagaikan
dua awan atau dua kawanan burung yang berbaris yang siap membantu
orang-orang yang pernah membacanya. Dan bacalah surah Al Baqarah kerana
membacanya adalah suatu barakah dan meninggalkannya adalah suatu kerugian.
Dan tukang sihir tak akan sanggup menghasilkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam
Muslim)
Dari Abi Umamah Al Bahili berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Bacalah Al Qur’an karena di hari kiamat kelak ia akan memberikan syafaat
bagi pembacanya, bacalah zahrawaen, yaitu: surat Al Baqarah dan surat Ali
‘Imran. Sesungguhnya pada hari kiamat nanti keduanya akan datang bagaikan
dua awan atau dua kawanan burung yang berbaris yang siap membantu
orang-orang yang pernah membacanya. Dan bacalah surah Al Baqarah kerana
membacanya adalah suatu barakah dan meninggalkannya adalah suatu kerugian.
Dan tukang sihir tak akan sanggup menghasilkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam
Muslim)
7.Surat Al Ikhlash.
Dari Abi Said Al Khudri ra. bahawa Rasulullah saw. bersabda tentang Qul
Huwallahu ahad; “Demi Allah –Yang diriku berada di dalam genggaman-Nya–,
sesungguhnya ia (Al Ikhlash) menyamai sepertiga Al Qur’an.” Pada riwayat
lain Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Adakah di antara kamu
yang tidak sanggup membaca sepertiga Al Qur’an dalam satu malam?” Hal ini
memang berat bagi mereka, lalu mereka bertanya, “Siapakah di antara kami
yang mampu ya… Rasulullah?” Beliau bersabda, “Qul Huwallahu ahad
Allahush-Shamad, adalah sepertiga Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam
Bukhari)
Huwallahu ahad; “Demi Allah –Yang diriku berada di dalam genggaman-Nya–,
sesungguhnya ia (Al Ikhlash) menyamai sepertiga Al Qur’an.” Pada riwayat
lain Rasulullah saw. bersabda kepada para sahabatnya, “Adakah di antara kamu
yang tidak sanggup membaca sepertiga Al Qur’an dalam satu malam?” Hal ini
memang berat bagi mereka, lalu mereka bertanya, “Siapakah di antara kami
yang mampu ya… Rasulullah?” Beliau bersabda, “Qul Huwallahu ahad
Allahush-Shamad, adalah sepertiga Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Imam
Bukhari)
8. Membaca sepuluh kali surat Al Ikhlash.
Dari Mu’az bin Anas ra. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca Qul
huwallahu ahad sebanyak sepuluh kali niscaya Allah akan membangun rumah
baginya di surga.”(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad)
Dari Mu’az bin Anas ra. Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa membaca Qul
huwallahu ahad sebanyak sepuluh kali niscaya Allah akan membangun rumah
baginya di surga.”(Diriwayatkan oleh Imam Ahmad)
9.Surat Al Falaq dan An-Naas.
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Adakah kau lihat
ayat-ayat yang diturunkan pada malam ini dan selainnya tidak dapat dilihat
sepertinya?, dialah: Qul a’udzu birabbil falaq’ dan ‘Qul a’udzu
birabbin-naas.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
Dari ‘Uqbah bin ‘Amir ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda, Adakah kau lihat
ayat-ayat yang diturunkan pada malam ini dan selainnya tidak dapat dilihat
sepertinya?, dialah: Qul a’udzu birabbil falaq’ dan ‘Qul a’udzu
birabbin-naas.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim)
10.Surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An-Naas.
Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. apabila akan berangkat tidur tiap-tiap
malam beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupkannya
seraya membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An-Naas. Kemudian beliau
mengusapkannya ke seluruh tubuhnya (sebatas yang bisa) dimulai dari kepala
lalu muka kemudian bagian depan dari badan. Beliau melakukannya sebanyak
tiga kali.(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)
Dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw. apabila akan berangkat tidur tiap-tiap
malam beliau mengumpulkan kedua telapak tangannya kemudian meniupkannya
seraya membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An-Naas. Kemudian beliau
mengusapkannya ke seluruh tubuhnya (sebatas yang bisa) dimulai dari kepala
lalu muka kemudian bagian depan dari badan. Beliau melakukannya sebanyak
tiga kali.(Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim)
11.Membaca surat Al Ikhlash, Al Falaq dan An-Naas ketika sakit.
Abdullah bin Yusuf bercerita kepada kami, Malik bercerita kepada kami dari
Ibnu Syihab, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah ra.: Bahwa Rasulullah saw.” Bila
merasa sakit beliau membaca sendiri ‘Al Mu’awwizaat’(Al Ikhlash, Al Falaq
dan An-Naas) kemudian meniupkannya. Dan apabila rasa sakitnya bertambah aku
yang membacanya kemudian aku usapkan ke tangannya mengharap keberkahan
darinya”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)
Abdullah bin Yusuf bercerita kepada kami, Malik bercerita kepada kami dari
Ibnu Syihab, dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah ra.: Bahwa Rasulullah saw.” Bila
merasa sakit beliau membaca sendiri ‘Al Mu’awwizaat’(Al Ikhlash, Al Falaq
dan An-Naas) kemudian meniupkannya. Dan apabila rasa sakitnya bertambah aku
yang membacanya kemudian aku usapkan ke tangannya mengharap keberkahan
darinya”. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhari)
Fatwa Ulama Tentang Sampainya Hadiah Pahala Bacaan kepada Mayyit
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar si pembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…(allahumma wassil ma qara’nahu ila….)” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu Taymiyah :
“Sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan seumpamanya”. (yas alunaka fi al-din wal hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab Ibnu Taimiyah berjudul Majmuk Fatawa jilid 24 pada muka surat 324. Ibnu Taimiyah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil, bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada si mayat muslim lantas Ibnu Taimiyah menjawab bahwa amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih, takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ia sampai dan bagus serta baik. Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan ini.
1. Berkata Muhammad bin ahmad al-marwazi :
“Saya mendengar Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Jika kamu masuk ke pekuburan, maka bacalah Fatihatul kitab, al-ikhlas, al falaq dan an-nas dan jadikanlah pahalanya untuk para penghuni kubur, maka sesungguhnya pahala itu sampai kepada mereka. Tapi yang lebih baik adalah agar si pembaca itu berdoa sesudah selesai dengan: “Ya Allah, sampaikanlah pahala ayat yang telah aku baca ini kepada si fulan…(allahumma wassil ma qara’nahu ila….)” (Hujjatu Ahlis sunnah waljamaah hal. 15)
2. Berkata Syaikh aIi bin Muhammad Bin abil lz :
“Adapun Membaca Al-qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang mati secara sukarela dan tanpa upah, maka pahalanya akan sampai kepadanya sebagaimana sampainya pahala puasa dan haji”. (Syarah aqidah Thahawiyah hal. 457).
3. Berkata Ibnu Taymiyah :
“Sesungguhnya mayyit itu dapat beroleh manfaat dengan ibadah-ibadah kebendaan seperti sedekah dan seumpamanya”. (yas alunaka fi al-din wal hayat jilid I/442).
Di atas adalah kitab Ibnu Taimiyah berjudul Majmuk Fatawa jilid 24 pada muka surat 324. Ibnu Taimiyah ditanya mengenai seseorang yang bertahlil, bertasbih,bertahmid,bertakbir dan menyampaikan pahala tersebut kepada si mayat muslim lantas Ibnu Taimiyah menjawab bahwa amalan tersebut sampai kepada si mayat dan juga tasbih, takbir dan lain-lain zikir sekiranya disampaikan pahalanya kepada si mayat maka ia sampai dan bagus serta baik. Manakala Wahhabi menolak dan menkafirkan amalan ini.
Di atas pula adalah kitab Ibnu Taimiyah berjudul Majmuk Fatawa juz 24 pada muka surat 324.Ibnu Taimiyah di tanya mengenai seorang yang bertahlil 70000 kali dan menghadiahkan kepada si mayat muslim lantas Ibnu Taimiah mengatakan amalan itu adalah amat memberi manafaat dan amat baik serta mulia.
4. Berkata Ibnu Qayyim al-Jauziyah:
“Sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya al-Ruh : “Al Khallal dalam kitabnya al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-Qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-Baqarah di samping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu Qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk di samping kubur (sambil membaca al-Qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-Qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin Qudamah kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-Halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, ia mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin A’la bin al-Laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan di samping kepalanya permulaan surat al-Baqarah dan akhirnya dan dia berkata, “Aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab al-Ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata Syaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-Qur’an atau selain demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam Sya’bi, “Orang-orang anshar jika ada di antara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca al-Qur’an di sampingnaya”. (ucapan Imam Sya’bi ini juga dikutip oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam kitab al-Ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh Ali Ma’sum, “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”. (Hujjatu ahlisunnah wal Jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-Arabi, “Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq .” (kitab Majmu’ Tsalatsi Rasail).
9. Berkata Imam Qurtubi, “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-Qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlusunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.
4. Berkata Ibnu Qayyim al-Jauziyah:
“Sesuatu yang paling utama dihadiahkan kepada mayyit adalah sedekah, istighfar, berdoa untuknya dan berhaji atas nama dia. Adapun membaca al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayyit secara sukarela dan tanpa imbalan, maka akan sampai kepadanya sebagaimana pahala puasa dan haji juga sampai kepadanya (yasaaluunaka fiddin wal hayat jilid I/442)
Berkata Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya al-Ruh : “Al Khallal dalam kitabnya al-Jami’ sewaktu membahas bacaan al-Qur’an disamping kubur” berkata : Menceritakan kepada kami Abbas bin Muhammad ad-dauri, menceritakan kepada kami yahya bin mu’in, menceritakan kepada kami Mubassyar al-halabi, menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Ala’ bin al-lajlaj dari bapaku : “ Jika aku telah mati, maka letakanlah aku di liang lahad dan ucapkanlah bismillah dan baca permulaan surat al-Baqarah di samping kepalaku karena seungguhnya aku mendengar Abdullah bin Umar berkata demikian.
Ibnu Qayyim dalam kitab ini pada halaman yang sama : “Mengabarkan kepadaku Hasan bin Ahmad bin al-warraq, menceritakan kepadaku Ali-Musa al-Haddad dan dia adalah seorang yang sangat jujur, dia berkata : “Pernah aku bersama Ahmad bin Hanbal, dan Muhammad bin Qudamah al-juhairi menghadiri jenazah, maka tatkala mayyit dimakamkan, seorang lelaki kurus duduk di samping kubur (sambil membaca al-Qur’an). Melihat ini berkatalah imam Ahmad kepadanya: “Hai sesungguhnya membaca al-Qur’an disamping kubur adalah bid’ah!”. Maka tatkala kami keluar dari kubur berkatalah imam Muhammad bin Qudamah kepada Imam Ahmad bin Hanbal : “Wahai Abu Abdillah, bagaimana pendapatmu tentang Mubassyar al-Halabi?. Imam Ahmad menjawab : “Beliau adalah orang yang tsiqah (terpercaya), apakah engkau meriwayatkan sesuatu darinya?. Muhammad bin qodamah berkata : Ya, ia mengabarkan kepadaku Mubasyar dari Abdurahman bin A’la bin al-Laj-laj dari bapaknya bahwa dia berwasiat apabila telah dikuburkan agar dibacakan di samping kepalanya permulaan surat al-Baqarah dan akhirnya dan dia berkata, “Aku telah mendengar Ibnu Umar berwasiat yang demikian itu”. Mendengar riwayat tersebut Imam ahmad berkata : “Kembalilah dan katakan kepada lelaki itu agar bacaannya diteruskan (Kitab al-Ruh, ibnul qayyim al jauziyah).
5. Berkata Syaikh Hasanain Muhammad makhluf, Mantan Mufti negeri mesir : “Tokoh-tokoh madzab hanafi berpendapat bahwa tiap-tiap orang yang melakukan ibadah baik sedekah atau membaca al-Qur’an atau selain demikian daripada macam-macam kebaikan, boleh baginya menghadiahkan pahalanya kepada orang lain dan pahalanya itu akan sampai kepadanya.
6. Imam Sya’bi, “Orang-orang anshar jika ada di antara mereka yang meninggal, maka mereka berbondong-bondong ke kuburnya sambil membaca al-Qur’an di sampingnaya”. (ucapan Imam Sya’bi ini juga dikutip oleh Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam kitab al-Ruh hal. 13).
7. Berkata Syaikh Ali Ma’sum, “Dalam madzab maliki tidak ada khilaf dalam hal sampainya pahala sedekah kepada mayyit. Menurut dasar madzab, hukumnya makruh. Namun ulama-ulama mutakhirin berpendapat boleh dan dialah yang diamalkan. Dengan demikian, maka pahala bacaan tersebut sampai kepada mayyit dan ibnu farhun menukil bahwa pendapat inilah yang kuat”. (Hujjatu ahlisunnah wal Jamaah halaman 13).
8. Berkata Allamah Muhammad al-Arabi, “Sesungguhnya membaca al-qur’an untuk orang-orang yang sudah meninggak hukumnya boleh (Malaysia : Harus) dan sampainya pahalanya kepada mereka menurut jumhur fuqaha islam Ahlusunnah wal-jamaah walaupun dengan adanya imbalan berdasarkan pendapat yang tahqiq .” (kitab Majmu’ Tsalatsi Rasail).
9. Berkata Imam Qurtubi, “telah ijma’ ulama atas sampainya pahala sedekah untuk orang yang sudah mati, maka seperti itu pula pendapat ulama dalam hal bacaan al-qur’an, doa dan istighfar karena masing-masingnya termasuk sedekah dan dikuatkan hal ini oleh hadits : “Kullu ma’rufin shadaqah / (setiapkebaikan adalah sedekah)”. (Tadzkirah al-Qurtubi halaman 26).
Begitu banyaknya Imam-imam dan ulama ahlusunnah yang menyatakan sampainya pahala bacaan alqur’an yang dihadiahkan untuk mayyit (muslim), maka tidak lah kami bisa menuliskan semuanya dalam risalah ini karena khawatir akan terlalu panjang.
Dalam Madzab Syafi’i
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-Qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafi’i dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafi’i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj, “Dalam Madzab syafi’i menurut qawl yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qawl yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qawl yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan di hadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
Untuk menjelaskan hal ini marilah kita lihat penuturan imam Nawawi dalam al-adzkar halaman 140 : “Dalam hal sampainya bacaan al-Qur’an para ulama berbeda pendapat. Pendapat yang masyhur dari madzab Syafi’i dan sekelompok ulama adalah tidak sampai. Namun menurut Imam ahmad bin Hanbal dan juga Ashab Syafi’i berpendapat bahwa pahalanya sampai. Maka lebih baik adalah si pembaca menghaturkan doa : “Ya Allah sampaikanlah bacaan yat ini untuk si fulan…….”
Tersebut dalam al-majmu jilid 15/522 : “Berkata Ibnu Nahwi dalam syarah Minhaj, “Dalam Madzab syafi’i menurut qawl yang masyhur, pahala bacaan tidak sampai. Tapi menurut qaul yang Mukhtar, adalah sampai apabila dimohonkan kepada Allah agar disampaikan pahala bacaan terbut. Dan seyogyanya memantapkan pendapat ini karena dia adalah doa. Maka jika boleh berdoa untuk mayyit dengan sesuatu yang tidak dimiliki oleh si pendoa, maka kebolehan berdoa dengan sesuatu yang dimiliki oleh si pendoa adalah lebih utama”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam madzab syafei terdapat dua qaul dalam hal pahala bacaan :
1. Qawl yang masyhur yakni pahala bacaan tidak sampai
2. Qawl yang mukhtar yakni pahala bacaan sampai.
Dalam menanggapai qaul masyhur tersebut pengarang kitab Fathul wahhab yakni Syaikh Zakaria Al-anshari mengatakan dalam kitabnya Jilid II/19 :
“Apa yang dikatakan sebagai qaul yang masyhur dalam madzab syafii itu dibawa atas pengertian : “Jika alqur’an itu tidak dibaca dihadapan mayyit dan tidak pula meniatkan pahala bacaan untuknya”.
Dan mengenai syarat-syarat sampainya pahala bacaan itu Syaikh Sulaiman al-jamal mengatakan dalam kitabnya Hasiyatul Jamal Jilid IV/67 :
“Berkata syaikh Muhammad Ramli : Sampai pahala bacaan jika terdapat salah satu dari tiga perkara yaitu : 1. Pembacaan dilakukan disamping kuburnya, 2. Berdoa untuk mayyit sesudah bacaan Al-qur’an yakni memohonkan agar pahalanya disampaikan kepadanya, 3. Meniatkan samapainya pahala bacaan itu kepadanya”.
Hal senada juga diungkapkan oleh Syaikh ahmad bin qasim al-ubadi dalam hasyiah Tuhfatul Muhtaj Jilid VII/74 :
“Kesimpulan Bahwa jika seseorang meniatkan pahala bacaan kepada mayyit atau dia mendoakan sampainya pahala bacaan itu kepada mayyit sesudah membaca Al-qur’an atau dia membaca disamping kuburnya, maka hasilah bagi mayyit itu seumpama pahala bacaannya dan hasil pula pahala bagi orang yang membacanya”.
Namun Demikian akan menjadi lebih baik dan lebih terjamin jika ;
1. Pembacaan yang dilakukan di hadapan mayyit diiringi pula dengan meniatkan pahala bacaan itu kepadanya.
2. Pembacaan yang dilakukan bukan dihadapan mayyit agar disamping meniatkan untuk simayyit juga disertai dengan doa penyampaian pahala sesudah selesai membaca.
Langkah seperti ini dijadikan syarat oleh sebagian ulama seperti dalam kitab tuhfah dan syarah Minhaj (lihat kitab I’anatut Tahlibin Jilid III/24).
Dalil-dalil orang yang membantah adanya hadiah pahala dan jawabannya
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku argumentasi Ulama Syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)
Jawaban di atas mungkin tidak lengkap, tapi semoga dapat sedikit memuaskan teman saya yang bertanya tadi dan orang-orang yang selama ini juga mempunyai pertanyaan yang sama. Saran dan diskusinya saya harapkan dengan harapan agar kita dapat lebih saling memahami dan tidak saling menyalahkan satu sama lain.
1. Hadis riwayat muslim :
“Jika manusia, maka putuslah amalnya kecuali tiga : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya”
Jawab : Tersebut dalam syarah Thahawiyah hal. 456 bahwa sangat keliru berdalil dengan hadist tersebut untuk menolak sampainya pahala kepada orang yang sudah mati karena dalam hadits tersebut tidak dikatakan : “inqata’a intifa’uhu (terputus keadaannya untuk memperoleh manfaat). Hadits itu hanya mengatakan “inqatha’a ‘amaluhu (terputus amalnya)”. Adapun amal orang lain, maka itu adalah milik (haq) dari amil yakni orang yang mengamalkan itu kepadanya maka akan sampailah pahala orang yang mengamalkan itu kepadanya. Jadi sampai itu pahala amal si mayyit itu. Hal ini sama dengan orang yang berhutang lalu dibayarkan oleh orang lain, maka bebaslah dia dari tanggungan hutang. Akan tetapi bukanlah yang dipakai membayar utang itu miliknya. Jadi terbayarlah hutang itu bukan oleh dia telah memperoleh manfaat (intifa’) dari orang lain.
2. Firman Allah surat an-najm ayat 39 :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
Jawab : Banyak sekali jawaban para ulama terhadap digunakannya ayat tersebut sebagai dalil untuk menolak adanya hadiah pahala. Diantara jawaban-jawaban itu adalah :
a. Dalam syarah thahawiyah hal. 1455 diterangkan dua jawaban untuk ayat tersebut :
1. Manusia dengan usaha dan pergaulannya yang santun memperoleh banyak kawan dan sahabat, melahirkan banyak anak, menikahi beberapa isteri melakukan hal-hal yang baik untuk masyarakat dan menyebabkan orang-orang cinta dan suka padanya. Maka banyaklah orang-orang itu yang menyayanginya. Merekapun berdoa untuknya dan mengahadiahkan pula pahala dari ketaatan-ketaatan yang sudah dilakukannya, maka itu adalah bekas dari usahanya sendiri. Bahkan masuknya seorang muslim bersama golongan kaum muslimin yang lain didalam ikatan islam adalah merupakan sebab paling besar dalam hal sampainya kemanfaatan dari masing-masing kaum muslimin kepada yang lainnya baik didalam kehidupan ini maupun sesudah mati nanti dan doa kaum muslimin yang lain. Dalam satu penjelasan disebutkan bahwa Allah SWT menjadikan iman sebagai sebab untuk memperoleh kemanfaatan dengan doa serta usaha dari kaum mukminin yang lain. Maka jika seseorang sudah berada dalam iman, maka dia sudah berusaha mencari sebab yang akan menyampaikannya kepada yang demikian itu. (Dengan demikian pahala ketaatan yang dihadiahkan kepadanya dan kaum mukminin sebenarnya bagian dari usahanya sendiri).
2. Ayat al-Qur’an itu tidak menafikan adanya kemanfaatan untuk seseorang dengan sebab usaha orang lain. Ayat al-qur’an itu hanya menafikan “kepemilikan seseorang terhadap usaha orang lain”. Allah SWT hanya mengabarkan bahwa “laa yamliku illa sa’yah (orang itu tidak akan memiliki kecuali apa yang diusahakan sendiri). Adapun usaha orang lain, maka itu adalah milik bagi siapa yang mengusahakannya. Jika dia mau, maka dia boleh memberikannya kepada orang lain dan pula jika ia mau, dia boleh menetapkannya untuk dirinya sendiri. (jadi huruf “lam” pada lafadz “lil insane” itu adalah “lil istihqaq” yakni menunjukan arti “milik”).
Demikianlah dua jawaban yang dipilih pengarang kitab syarah thahawiyah.
b. Berkata pengarang tafsir Khazin :
“Yang demikian itu adalah untuk kaum Ibrahin dan musa. Adapun ummat islam (umat Nabi Muhammad SAW), maka mereka bias mendapat pahala dari usahanya dan juga dari usaha orang lain”.
Jadi ayat itu menerangkan hokum yang terjadi pada syariat Nabi Musa dan Nabi Ibrahim, bukan hukum dalam syariat nabi Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan pangkal ayat tersebut berbunyi :
“ Atau belum dikabarkan kepadanya apa yang ada dalam kitab nabi musa dan nabi Ibrahim yang telah memenuhi kewajibannya bahwa seseorang tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya tiada yang didapat oleh manusia selain dari yang diusahakannya”.
c. Sahabat Nabi, Ahli tafsir yang utama Ibnu Abbas Ra. Berkata dalam menafsirkan ayat tersebut :
“ ayat tersebut telah dinasakh (dibatalkan) hukumnya dalam syariat kita dengan firman Allah SWT : “Kami hubungkan dengan mereka anak-anak mereka”, maka dimasukanlah anak ke dalam sorga berkat kebaikan yang dibuat oleh bapaknya’ (tafsir khazin juz IV/223).
Firman Allah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas Ra sebagai penasakh surat an-najm ayat 39 itu adalah surat at-thur ayat 21 yang lengkapnya sebagai berikut :
“Dan orang-orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti mereka dengan iman, maka kami hubungkan anak cucu mereka itu dengan mereka dan tidaklah mengurangi sedikitpun dari amal mereka. Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya”.
Jadi menurut Ibnu abbas, surat an-najm ayat 39 itu sudah terhapus hukumnya, berarti sudah tidak bias dimajukan sebagai dalil.
d. Tersebut dalam Nailul Authar juz IV ayat 102 bahwa kata-kata : “Tidak ada seseorang itu…..” Maksudnya “tidak ada dari segi keadilan (min thariqil adli), adapun dari segi karunia (min thariqil fadhli), maka ada bagi seseorang itu apa yang tidak dia usahakan.
Demikianlah penafsiran dari surat An-jam ayat 39. Banyaknya penafsiran ini adalah demi untuk tidak terjebak kepada pengamalan denganzhahir ayat semata-mata karena kalau itu dilakukan, maka akan banyak sekali dalil-dalil baik dari al-qur’an maupun hadits-hadits shahih yang ditentang oleh ayat tersebut sehingga menjadi gugur dan tidak bias dipakai sebagai dalil.
3. Dalil mereka dengan Surat al-baqarah ayat 286 :
“Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kesanggupannya. Baginya apa yang dia usahakan (daripada kebaikan) dan akan menimpanya apa yang dia usahakan (daripada kejahatan)”.
Jawab : Kata-kata “laha maa kasabat” menurut ilmu balaghah tidak mengandung unsur hasr (pembatasan). Oleh karena itu artinya cukup dengan : “Seseorang mendapatkan apa yang ia usahakan”. Kalaulah artinya demikian ini, maka kandungannya tidaklah menafikan bahwa dia akan mendapatkan dari usaha orang lain. Hal ini sama dengan ucapan : “Seseorang akan memperoleh harta dari usahanya”. Ucapan ini tentu tidak menafikan bahwa seseorang akan memperoleh harta dari pusaka orang tuanya, pemberian orang kepadanya atau hadiah dari sanak familinya dan para sahabatnya. Lain halnya kalau susunan ayat tersebut mengandung hasr (pembatasan) seperti umpamanya :
“laisa laha illa maa kasabat”
“Tidak ada baginya kecuali apa yang dia usahakan atau seseorang hanya mendapat apa yang ia usahakan”.
4. Dalil mereka dengan surat yasin ayat 54 :
“ Tidaklah mereka diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”.
Jawab : Ayat ini tidak menafikan hadiah pahala terhadap orang lain karena pangkal ayat tersebut adalah :
“Pada hari dimana seseorang tidak akan didhalimi sedikitpun dan seseorang tidak akan diberi balasan kecuali terhadap apa yang mereka kerjakan”
Jadi dengan memperhatikan konteks ayat tersebut dapatlah dipahami bahwa yang dinafikan itu adalah disiksanya seseorang sebab kejahatan orang lain, bukan diberikannya pahala terhadap seseorang dengan sebab amal kebaikan orang lain (Lihat syarah thahawiyah hal. 456).
(ringkasan dari Buku argumentasi Ulama Syafi’iyah terhadap tuduhan bid’ah,Al ustadz haji Mujiburahman, halaman 142-159, mutiara ilmu)
Jawaban di atas mungkin tidak lengkap, tapi semoga dapat sedikit memuaskan teman saya yang bertanya tadi dan orang-orang yang selama ini juga mempunyai pertanyaan yang sama. Saran dan diskusinya saya harapkan dengan harapan agar kita dapat lebih saling memahami dan tidak saling menyalahkan satu sama lain.
No comments:
Post a Comment