Ketika Allah menggambarkan tentang sesuatu di dalam Al-Quran, tentu ada maksud dan hakikat yang ingin disampaikan, boleh jadi akan keterkaitan gambaran tersebut dengan sebuah nilai atau karena ada hubungannya dengan aktualisasi keimanan terhadap diri pribadi dan kehidupan nyata.
Gambaran Al-Quran tentang kehidupan dunia di dalam banyak ayat hampir sama dan serupa yang berpulang pada suatu muara bahwa kehidupan dunia adalah permainan, senda gurau dan kenikmatan yang sedikit.
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 57)
Tatkala kehidupan dunia diukur dengan ukuran duniawi dan timbangan duniawi, tampaklah pada mata dan rasa sebagai sesuatu yang besar dan mencengangkan. Namun, tatkala diukur dengan timbangan alam nyata dan ditimbang dengan timbangan akhirat, tampaklah sebagai sesuatu yang hina dan tak berarti.
Di dalam ayat ini dunia digambarkan demikian, sehingga ia tampak seperti permainan anak-anak jika dikaitkan dengan kesungguhan yang ada di akhirat yang menjadi muara seluruh penghuni dunia setelah sebelumnya sebagai mainan kehidupan.
Kedengarannya terlalu ekstrim memang, jika dianggap hanyalah permainan anak kecil dan senda gurauan yang melenakan, apabila hal itu dihubungkan dengan realitas keseharian yang menyita perhatian penduduknya, yang di sana ada kompetisi dan keseriusan dalam mencapai tujuan-tujuan hidup masing-masing orang. Namun itulah gambaran yang Allah berikan atas dunia ini, bukan tanpa alasan dan tujuan.
Ustadz Sayyid Qutb menjelaskan dalam tafsirnya, “Tujuan ayat ini ialah untuk meluruskan ukuran perasaan dan nilai-nilai psikologis serta mengatasi tipuan harta yang cepat sirna serta daya tariknya yang mengikat ke bumi. Pandangan atas kehidupan dunia yang seperti ini sangat diperlukan oleh seorang mukmin dalam rangka mengaktualisasikan keimanannya, bahwa di sana ada dorongan akan kehidupan dunia yang melalaikan dan tuntutan akhirat yang membuat dirinya melambung tinggi ke langit karena menginginkan sesuatu yang abadi, tanpa henti dan tanpa akhir dan tak pernah habis”.
Oleh sebab itulah dalam ayat ini Al-Quran mengilustrasikan dunia dengan perumpamaan yang mengesankan bahwa dunia itu “seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan petani”. Di sini kata “al-kuffar” diartikan petani, karena secara bahasa kafir berarti penanam karena ia suka menutupi biji ke dalam tanah. Penggunaan kata itu di sini merupakan sindiran kepada orang-orang kafir yang yang terpesona oleh kehidupan dunia. Karena bagi orang beriman gambaran dunia itu telah jelas, merupakan tempat singgah menuju kehidupan haqiqi.
“kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.”
Tanaman berupa padi, jagung atau apapun setelah dipanen maka ia akan mengering lalu hancur karena ia memiliki batas akhir. Seluruh rangkaian kehidupan berakhir dinamis seperti itu, yang berasal dari pemandangan yang biasa dilihat manusia. Dunia berakhir dalam pandangan kehancuran.
Adapun permasalahan akhirat sungguh berbeda dari permasalahan dunia. Suatu permasalahan yang layak untuk diperhitungkan, dicermati dan tentunya dipersiapkan. Karena akhirat tidak pernah berakhir dengan kehancuran seperti hancurnya tanaman yang telah mencapai batas akhir.
Ayat ini ditutup dengan: “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 57)
“kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur.”
Tanaman berupa padi, jagung atau apapun setelah dipanen maka ia akan mengering lalu hancur karena ia memiliki batas akhir. Seluruh rangkaian kehidupan berakhir dinamis seperti itu, yang berasal dari pemandangan yang biasa dilihat manusia. Dunia berakhir dalam pandangan kehancuran.
Adapun permasalahan akhirat sungguh berbeda dari permasalahan dunia. Suatu permasalahan yang layak untuk diperhitungkan, dicermati dan tentunya dipersiapkan. Karena akhirat tidak pernah berakhir dengan kehancuran seperti hancurnya tanaman yang telah mencapai batas akhir.
Ayat ini ditutup dengan: “Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” (QS. Al-Hadid: 57)
Kesenangan ini tidaklah memiliki substansi karena topangannya berupa tipuan dan kemayaan. Di samping itu, duniapun melenakan dan melupakan, karena memang begitulah permainan jika sedang asyik dimainkan, kadang seorang lupa makan dan ibadah. Dunia itu sendiri merupakan kenyataan tatkala hati mencari hakikat dengan mendalam. Ia merupakan hakikat yang Al-Quran tidak bermaksud memisahkan manusia dari kehidupan dunia dan tidak bermaksud supaya dia mengabaikan pengolahan dan penataannya, karena manusia itu diserahi pekerjaan ini. Pekerjaan yang besar dan agung sebagai khalifah Allah di muka bumi.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat,"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (QS. Al-Baqoroh: 30)
Karena itu, Allah menyeruh manusia supaya berkompetisi di arena pertandingan yang hakiki untuk meraih tujuan yang berhak dimiliki oleh pemenang . Tujuan yang menjadi akhir tempat kembali mereka, yang memastikan mereka tinggal di alam keabadian. Wallahu a’lam bishowab.
Oleh: H. Zulhamdi M. Saad, Lc
No comments:
Post a Comment