Sebagai bukti terbesar yang menunjukan bahwa homoseks merupakan perbuatan yang sangat keji serta menjadi penyebab turunnya adzab yang menyakitkan. Orang yang terkena bencana dengan melakukan perbuatan keji itu yang dibarengi dengan hilangnya agama dari dirinya, niscaya ia telah menggantikan kebaikan dengan keburukan, sehingga ia akan memandang baik sesuatu yang buruk dan menjauhkan dirinya dari sesuatu yang baik. Hal itu menjadi bukti kerusakan akhlak.*
Dalam kisah Nabi Luth AS serta kisah Nabi Ibrahim AS terdapat ketentuan hukum yang membolehkan sindiran:
Adapun sindiran pada kisah Nabi Ibrahim AS terdapat dalam perkataannya, “Lalu ia memandang sekali pandang ke bintang-bintang. Kemudian ia berkata, “Sesungguhnya aku sakit.” (Ash-Shaffat: 88-89)
Sedang sindiran pada kisah Nabi Luth AS terdapat dalam perkataannya, “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu.” (Hud: 87)
Sindiran dapat dilakukan melalui ucapan dan tindakan, dimana pembicara sengaja mengatakan sesuatu perkataan atau perbuatan yang dipandang tidak ada masalah mengucapkannya atau melakukannya sehingga pendengar atau orang yang melihat menduga sesuatu yang lain untuk meraih suatu manfaat atau menolak suatu kemadharatan.
Faidah lainnya, bahwa di antara tanda orang berakal adalah tepat dalam perkataan dan perbuatannya, di antaranya: menolong orang-orang yang teraniaya, menghibur orang-orang yang susah, memerintahkan kepada kebaikan serta mencegah kejahatan. Itulah tanda orang berakal yang hakiki (sejati). Berkenaan dengan hal tersebut, maka Nabi Luth AS berkata, “Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal.” (QS. 11:78) Yakni seseorang yang memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran serta menolak orang yang jahat dan lalim.
Faidah lainnya adalah anjuran agar berusaha memberikan pertolongan dalam hal kebaikan dan menolak keburukan. Jika penolong itu berasal dari kalangan orang-orang yang jahat, maka Allah akan menguatkan agama dengan orang durhaka dan orang-orang yang tidak berakhlak di sisi Allah. Berkenaan dengan hal itu, maka Nabi Luth AS berkata, “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” (Hud: 80)
Kebanyakan para nabi diutus oleh Allah kepada kalangan pembesar (terhormat) dari kaum mereka, sehingga dengan hal itu diperoleh kekuatan dalam membela kebenaran dan mencegah kebathilan serta dimungkinkan untuk menyerukan sesuatu yang tidak akan berhasil tanpa adanya kekuatan tersebut. Hal itu dapat diambil pelajaran dari perjalanan kisah Nabi Syu’aib AS serta perkataan kaumnya kepadanya, “… kalau tidaklah karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.” (Hud: 91)
Begitu juga halnya dengan Nabi kita Muhammad SAW yang diutus di lingkungan keluarga yang dihormati dan dimuliakan di kalangan kaum Quraisy, dimana kaumnya telah mengobarkan permusuhan yang mencapai puncaknya dan mengadakan sejumlah pertemuan untuk membathilkan seruan dan agamanya, bahkan merencanakan pembunuhan terhadapnya.
Di antara sebab-sebab yang membuat kaumnya bersikap seperti itu terhadap Nabi Muhammad SAW karena mereka merasa khawatir dengan tindakan yang akan diambil oleh kabilahnya (Quraisy). Perhatikanlah keadaan Nabi Muhammad SAW ketika menghadapi kesulitan yang telah dilakukan mereka, dimana kabilahnya yang bergabung dengan mereka berkumpul dan berpihak kepadanya; baik yang muslim maupun yang kafir, dan Nabi Muhammad SAW tidak merasa khawatir dengan bencana yang disebarkan mereka, bahkan mereka merencanakan pembunuhan terhadap dirinya yang mulia, dimana mereka melakukan makar yang besar itu setelah mereka sepakat bahwa seluruh kabilah harus mengirim satu orang utusan untuk membunuhnya serta membagi-bagikan darahnya kepada kabilah-kibalah yang ada, tetapi kaum itu gagal menarik simpati, bahkan mereka berbuat makar dan Allah pun berbuat makar, dan sesungguhnya Allah sebaik-baiknya pembuat makar.
* Al-Allamah Muhammad Rasyid Ridha telah menuturkan sejumlah kerusakkan yang diakibatkan perbuatan keji tersebut, seraya berkata: “Sejumlah pendapat tentang perbuatan keji tersebut bahwa perbuatan tersebut merupakan:
- Pelanggaran terhadap fitrah manusia.
- Penghancuran terhadap generasi muda karena mengikuti dorongan syahwatnya, dimana perbuatan keji itu dapat dilakukan dengan mudah.
- Penghinaan terhadap kaum laki-laki berkenaan dengan pembicaraan seputar mereka yang menyakiti (perasaan) anak perempuam.
- Penghancuran terhadap kaum wanita; yang suami mereka berpaling dari mereka sehingga mengabaikan kewajiban dengan menjauhi mereka.
- Pengurangan terhadap keturunan, karena kelazimannya adalah suami mencintai dan senang berhubungan dengan istri sebagai ladang tempat menanam benih mereka dan pelakunya mendapat laknat dari Allah.
- Homoseks menjadi sarana maraknya masturbasi (onani) dan persutubuhan dengan binatang dengan tujuan hanya sekedar memenuhi tuntutan syahwat, tetapi pemenuhan itu tidak dilakukan pada tempatnya, dimana tempatnya adalah istri yang sah menurut ketentuan syari’at.” Lihat: Tafsir Al-Manar (8/521-522) dengan sedikit perubahan.
sumber: www.alsofwah.or.id
Diposkan oleh abu dihyah al-haazim di 16:47:00 0 komentar
Label: Kisah
Reaksi:
No comments:
Post a Comment