ABDALLAH, seorang lelaki berdarah India namun lahir dan besar di Toronto. Agama dan budaya yang ia anut sebelum masuk Islam adalah agama Hindu dan budaya barat Kanada.
Semasa kecil ia selalu mengunjungi kuil, melakukan kemah musim panas, sekolah pada hari Minggu dan selalu mengikuti kegiatan keagamaan lainnya. Hal ini membuat ia mengenal semua adat istiadat dan ritual yang dilakukan kedua orangtuanya dan orang-orang yang berada di lingkungan sekolahnya.
Abdallah mengungkapkan bahwa perjalanannya menuju Islam berbeda jauh dari kebanyakan mualaf lain yang rata-rata memiliki masalah emosional yang mendorong mereka menuju kebenaran. Ia hanya mengaku bahwa semasa muda ia merasa tidak cocok dengan agama yang dianut orangtuanya meski ada suatu saat ketika ia begitu membela dan taat terhadap agama orang tuanya.
“Saya begitu taat seperti kerang. Namun saat itu yang ada terasa kosong dalam diri saya. Saya sadar bahwa saya hanya mencoba membela diri dan berpikir orang-orang akan menyerang keyakinan ini dari berbagai aspek,” ujar Abdallah.
Ketidakcocokan Abdallah terhadap agama yang dianut orangtuanya dikarenakan ia sangat sulit menerima gagasan banyak tuhan untuk disembah. Banyak pemaparan yang berbeda-beda yang ia dapatkan yang sama sekali tidak logis dan tidak ilmiah. Hal tersebut membuatnya tidak puas dengan kebenaran yang ia yakini saat itu.
Rasa ketidakpuasan tersebut membuat Abdallah meninggalkan agama Hindu pada uisa remaja dan menemukan kitab Injil.
“Saya membaca kitabInjil. Saat itu saya mengagumi kitab tersebut karena didalamnya terdapat konsep satu Tuhan. Kalau tidak salah saya temukan itu pada Kitab Perjanjian Lama,” tutur Abdallah.
Tuhan yang Abdallah kenal dari Injil, menurutnya sangat baik hati dan di saat bersamaan hadir konsep nabi, yaitu seorang manusia pembawa pesan tuhan dan ia bukanlah entitas Esa.
“Bisa dibilang konsep itu sangat menarik hati saya. Setelah itu pencarian saya terus berjalan,” lanjut Abdallah.
Ia pun membuka bagian Kitab Perjanjian Baru. Lagi-lagi ia merasa takjub dengan nilai-nilai yang ia temukan didalamnya. Ia langsung jatuh cinta dengan karakter Yesus. Namun sosok dia sebagai entitas Tuhan, sulit diterima dalam hatinya dan ia kembali merasa tidak cocok.
Saat itulah ia mulai menolak semua agama dan menjadikan atheis sebagai pilihan hidupnya untuk sementara waktu. Namun ia pun sulit untuk bisa menerima konsep atheisme. Karena ia menyadari dalam hati ataupun dari logika bahwa seluruh hal yang ia temukan di sekitarnya pasti diciptakan oleh sesuatu yang luar biasa. Hal ini membuatnya terus berjalan dari satu agama ke agama lain, Budha, Katholik, kuil Sikh, bahkan juga kembali berdoa bersama orang tuanya.
Satu-satunya agama yang tidak pernah ia usik dan ia lihat saat itu adalah Islam. Hal ini dikarenakan ketika orangtuanya tinggal di kota Muslim di India, mereka termasuk Abdallah selalu berpikir bahwa Islam adalah teroris dan Islam selalu menindas hak wanita. Inilah yang selalu menahannya melihat Islam itu lebih jauh.
Namun pada akhirnya ketika Abdallah masuk sebuah universitas, ia menemukan sebuah tempat dimana ia bisa membuka diri dari berbagai gagasan apapun. Hingga akhirnya ia menemukan buku tentang sains dalam Al Qur’an ketika ia hendak menulis tugas akhir untuk gelar sarjana. “Itulah pertama kalinya saya benar-benar mengkritisi dan melihat apa yang diajarkan oleh Islam,” kenang Abdallah.
Saat mengkaji Islam, Abdallah mengaku dalam kondisi sangat rasional. Ia ingin berpikir berdasarkan fakta alih-alih emosi. Ia bersikap seperti itu karena sebelumnya ketika ia mencari kebenaran akan suatu agam ia selalu melibatkan emosi namun hasilnya tidak ada yang mengena. Selain itu pemahaman Abdallah saat itu adalah kebenaran bukan hanya sebuah perkara emosi, tapi juga mengandung komponen logis dan rasional.
Pada momen penentuan itulah justru Abdallah menemukan pencerahan. Semua bahan bacaan mengenai sains dalam Al Qur’an mulai mendorong kuat dirinya untuk menggali lebih dalam lagi tentang Islam yang membawa dirinya mengucapkan dua kalimah syahadat.
Setelah menjadi Muslim, Abdallah bercerita kepada orang tuanya dan orang-orang di sekitarnya. Ia juga mulai memelihara janggut. Seperti yang ia duga bahwa keluarga dan orang-orang disekitarnya memiliki pandangan negatif terhadao saya karena seorang Muslim. Namun Abdallah tidak menyalahkan mereka. “Sebenarnya itu disebabkan murni ketidaktahuan karena tidak ada seorang pun yang menjelaskan kepada mereka, tidak ada yang merangkul mereka untuk memaparkan seperti apa kebenaran dan betapa indahnya Islam itu,” kata Abdallah. Begitupun saat orangtuanya sedikit bereaksi negatif, Abddalah melihat itu sekedar reaksi emosi. Karena pada akhirnya orangtua Abdallah tidak memandang rendah ketika Abdallah menjadi orang lebih baik. Namun kendala lain ia dapatkan kembali ketika ia tidak menemukan dukungan dari lingkungan sosial yang bisa memandunya sebagai Mualaf.
“Tidak ada ‘mesin besar’ untuk menyebarluaskan kebenaran tentang agama Islam ini. Karena itu saya berpikir untuk mengkontribusikan diri sebagai pengingat yang lainnya sekaligus jalan bagi saya untuk memahami agama ini setiap hari,” ujar Abdallah. “Saya melakukan ini agar bisa memberi panduan bagi mualaf lain, membantu mereka melakukan transisi semulus dan semudah mungkin dan membuat mereka memahami bahwa ketika mereka menjadi Muslim, mereka tidak akan kehilangan identitas.”
Abdallah ingin memastikan bahwa mereka masih tetap menjadi diri mereka yang dulu dengan kesukaan, ketertarikan dan hobi masing-masing.
“Saya pikir hal terbesar yang saya dapat dari Islam adalah kepuasan dalam hati. Saya akhirnya memahami mengapa saya di sini dan mengapa alam semesta diciptakan. Saya merasa menyatu dan sejalan dengan alam di sekitar saya, menyatu dengan setiap manusia, bahkan makhluk-makhluk Allah yang lainnya. Sungguh menimbulkan perasaan indah setiap kali saya bangun pagi, mengingat Tuhan dan mengingat anugerah yang telah Ia berikan kepada manusia. Itulah yang memunculkan sikap hormat saya terhadap setiap manusia, setiap makhluk, hewan, tumbuhan, apa saja. Islam adalah sistem kebenaran di banyak hal. Saya kini belajar untuk lebih menghormati orang tua, tetangga saya, orang-orang dari keyakinan lain dan dari budaya lain.” Kata Abdallah. [ns/islampos/islamislogic]
No comments:
Post a Comment