Hanafi kecil bergegas datang kepada gurunya Syaikh Habban untuk menyampaikan dan menanyakan tentang takwil mimpinya semalam. Dilihatnya sang guru sedang termenung yang agaknya sedang menghadapi masalah yang cukup berat. Tergambar pada kerut wajah sang guru dengan pandangan matanya jauh ke depan.
Tanpa menoleh ke arah si murid, sang guru bertanya, “Ada apa, anakku?” Hanafi kecil menjawab, “Saya ingin menceritakan mimpi saya tadi malam, guru.”
Sang guru memandang tajam kepada si murid dan berkata, “Terangkan mimpimu itu!” Imam Hanafi kecil menceritakan mimpinya, “Dalam mimpi, aku melihat seekor babi hendak menumbangkan pohon besar sambil mengorek-ngorek membongkar tanah dan akar pohon itu. Tiba-tiba datang seekor ular kecil, lalu mematuk dan melilit babi besar itu. Akhirnya babi itu mati.”
Syaikh Habban berkata, “Anakku, inilah yang sedang kurenungkan dari tadi. Aku menerima surat dari raja, memerintahkan aku agar segera datang ke kota. Di sana sedang ada bencana besar dengan datangnya seorang Dahry (Atheis). Si Dahry telah menantang para ulama untuk berdebat dan mengadu hujjah tentang ada atau tidak adanya Tuhan. Si Dahry tentu saja berpendirian bahwa Tuhan itu tidak ada. Raja memintaku untuk menghadapi si Dahry. Pohon besar dalam mimpimu itu adalah aku. Babi itu adalah si Dahry. Sedangkan ular kecil itu adalah engkau, anakku. Sekarang pergilah menghadap Raja atas namaku. Allah menyertaimu.”
Ketika Hanafi kecil menghadap Raja dengan membawa surat balasan, Sang Raja agak terkejut. Anak belasan tahun berani menghadapi si Dahry. Namun Raja sadar bahwa Syaikh Habban adalah seorang khawwashul khawwash.
Pada hari yang ditentukan, persidangan pun diadakan dengan dihadiri orang banyak. Ketika mengetahui bahwa lawannya adalah seorang anak kecil, si Dahry protes, “Tuanku, saya keberatan melakukan perdebatan dengan seorang anak kecil.”
Mendengar protes si Dahry, Hanafi kecil mengacungkan tangan dan bersuara dengan lantang, “Tuanku Raja yang mulia, saya juga sangat berkeberatan untuk melakukan debat dengan ‘orang yang tidak punya aqal’ seperti si Dahry ini.
Si Dahry mencak-mencak di hadapan Raja karena merasa terhina, “Tuanku, saya telah dihina di depan umum. Saya mohon agar Tuanku Raja menangkap anak kecil ini atau guru yang memberi kuasa kepadanya.”
Hanafi kecil membantahnya, “Tuanku Raja, ini adalah awal perdebatan. Bukan suatu penghinaan.”
Raja agak heran dan bertanya, “Hai anak kecil, apa alasanmu bahwa ucapanmu itu bukan suatu penghinaan?”
Hanafi kecil berdiri sambil menudingkan tangannya kepada si Dahry, “Hai Dahry! Kalau Anda mengaku beraqal, coba buktikan, di depan saya dan persidangan ini, mana dia aqal Anda, bagaimana bentuknya, apa warnanya? Silahkan buktikan kepada kami jika aqal Anda memang benar-benar ada. Agar kami semua bisa menyaksikannya.”
Si Dahry bertambah marah, “Hai anak ingusan! Itu pertanyaan gila dan tolol. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menunjukkan bentuk, rupa dan warna aqalnya. Pertanyaan bodoh, hai anak kecil!”
Dengan tersenyum si Hanafi kecil berkata, “Hai Dahry, pertanyaan Anda lebih bodoh dari pertanyaan saya. Kenapa Anda hendak meminta dibuktikan bentuk dan rupa Tuhan, sedang Anda sendiri tidak bisa membuktikan bentuk dan rupa aqal Anda.”
Si Dahry pun diam seribu bahasa. Dia merasa terjebak dengan perkataannya sendiri.