Belakangan semua media ramai memberitakan rebaknya aliran baru al-Qiyadah al-Islamiyah yang didirikan oleh Ahmad Mushaddeq alias H. Abdul salam yang bercikal bakal di Kampung Gunung Sari, Desa Gunung Bunder, Bogor. Dengan pola perekrutan anggota yang cukup sestimatis dan rapi, tak heran jika aliran ini mampu menjaring anggota yang cukup banyak. Angka pasti jumlah pengikutnya belum terlacak, namun dapat diasumsikan per bulan Juni 2007 sebanyak 1.349 jiwa telah rela menjadi anggota di seluruh Indonesia. Pengikutnya pun tersebar di kota-kota besar, bahkan menurut berbagai sumber, pengikut mereka di Batam adalah kalangan orang terkaya di sana.
Menurut MUI, aliran ini dikatakan sesat karena bertentangan dengan ajaran Islam. Mereka meyakini hal-hal mendasar yang bertentangan seperti menciptakan syahadat baru, tidak mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, atau pula tidak mewajibkan shalat, puasa dan haji. Sebenarnya, al-Qiyadah al-Islamiyah muncul, di Indonesia telah tumbuh subur banyak aliran sejenis. Seperti Komunitas Eden.sebuah komunitas surga pimpinan Lia Aminuddin. Yang meyakini dirinya adalah rasul.
Aliran sesat, menurut bahasa, berarti pandangan agama yang berbeda dari pandanagan agama yang telah lazim diterima oleh penganut agama tertentu. Fenomena timbulnya aliran baru mulai popular dan menjadi sorotan di Amerika 70-an sebagai bagian dari apa yang disebut dengan new religions movement (NRM), atau gerakan agama baru.
Di Amerika banyak muncul kasus-kasus bertema aliran serupa al-Qiyadah maupun Komunitas Eden, seperti People’s Temple muncul di Guyana pada 1978, pimpinan Jim Jones, yang berhasil mengajak 900 pengikutnya melakukan bunuh diri massal dengan menegak sianida. Begitu pula pada 1997, menyeruak kasus Heaven’s Gate dan melakukan tindakan sarupa. Serta masih banyak lagi kelompok sewarna yang luput dari pemberitaan atau terbiarkan.
Pola sistematis
Bila kita cermati fenomena kemunculan aliran-aliran ini dan keberhasilan mereka merekrut anggota atau pengikutnya, akan terlihat adanya dua hal mendasar yang secara prinsip dapat kita satukan menjadi dalam sebuah pandangan.
Pertama, kecendrungan untuk mengajak atau menciptakan. Suatu aliran biasanya memilliki seorang pemimpin yang dianggap panutan sejati yang biasanya menjadi magnet bagi orang baru untuk tertarik masuk kedalam komunitas tersebut. Dalam psikologi, sang pemimpin baru ini biasanya menampilkan gejala psikiatrik berupa waham kebesaran, ia sebenarnya tengah mengalami disintegrasi kepribadian saat menjadikan dirinya sebagai pemimpin keagamaan. Bagi pengikutnya, pemimpin tersebut diyakini memiliki kharisma sangat tinggi, mampu menyeselaikan berbagai persoalan, mampu membaca situasi seperti paranormal atau lain sebagainya.
Waham ini ibarat fenomena salju yang makin hari makin membesar. Pada kasus ini aliran sesat keagamaan, kebetulan waham kebesaran agama diikuti dengan turunnya wahyu, suara-suara malaikat, atau klaim si pemimpin yang mengaku telah diberi kekuatan untuk menolong orang lain, atau lain sebagainya. Dan keyakinan inilah yang kian hari kian menguat dan diminati pengikutnya.
Dalam pedoman penggolongan gangguan jiwa DSM-IV-TR (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders), fenomena ini dianggap sebagai gangguan psikiatrik, dengan gejala utamanya waham. Umumnya, para pengidap gangguan ini tidak menampakkan adanya disintegrasi kepribadian atau keanehan dalam aktivitas keseharian. Mereka tampak baik-baik saja, kecuali menyangkut sistem wahamnya yang abnormal. Tak heran jika lingkungannya tidak menganggap mereka sebagai “orang sakit”, tetapi justru sebagai orang sakti mandraguna dan dipuja. Biasanya, banyak dari mereka cenderung mengisolasi diri dari lingkungan, dan hidup secara eksklusif dengan kelompoknya.
Kedua, jika diteliti secara seksama, kasus-kasus munculnya aliran-aliran sesat bukanlah sesuatu yang random (bersifat acak), tetapi ada pola sistematis mendasari proses perekrutan pengikut. Pada umumnya,para pengikut aliran ini memiliki rasa kepatuhan yang teramat sangat, bahkan rela mengorbankan jiwa raga maupun keluarga demi kepentingan kelompok atau sosok pemimpin agung yang diidolakannya.
Situasi psikologis ini membawa para pengikutnya kepada kondisi ketidakseimbangan psikologis. Mereka pun menjadi pribadi yang sangat patuh tanpa syarat. Artinya, kepatuhannya didasari apa yang dikatakan pemimpinnya. Dan didukung oleh kepribadian yang sugestible, mereka begitu mudah dipengaruhi tanpa mau berupaya menguji kebenaran yang disuguhkan kepadanya. Baginya, kebenaran hakiki adalah yang hanya didasari pendapat pemimpinnya.
Penulis: Agung R. Harmoko, Psikolog
Sumber: Majalah Gontor