Ihsan adalah engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. (HR. Muslim dari Umar bin Khoththob ra)
Rasulullah menegaskan bahwa seseorang yang beribadah menyembah Allah, seharusnya dapat merasakan ’seakan-akan’ (ka anna) melihat Tuhan. Dalam tata bahasa, ‘ka’ dinamakan harfut-tamtsil, menunjukkan umpama atau contoh. Sedangkan ‘anna’ adalah lit-taukid, untuk menguatkan. Maka artian yang tepat dari kata ‘ka-anna’ adalah ’seperti sungguh-sungguh’. Seorang aktor yang baik harus mampu menunjukkan permainannya seperti sungguhan sesuai dengan peran yang dimainkannya. Ekspresi wajah, vokal, gerak tubuh dan lainnya harus cenderung kepada keadaan sebenarnya.
Maka setiap melakukan ibadah, terutama pada saat mendirikan sholat, bila tidak disertai perasaan ’seperti sungguh-sungguh’ melihat Tuhan, maka ibadah itu tidak tergolong dalam ibadah yang ihsan (baik/sempurna).
Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya. (QS. Al-Baqarah: 45-46)
Terdapat beberapa pendapat tentang ‘melihat Tuhan’. Secara garis besar
ada 3 kelompok, yaitu:
1. Dapat melihat Tuhan hanya di akhirat saja.
2. Dapat melihat Tuhan di dunia dengan mata-bathin, sedang di akhirat lebih nyata lagi.
3. Tidak dapat melihat Tuhan di dunia maupun di akhirat.
Dua kelompok pertama merupakan kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Jadi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah sepakat bahwa kita dapat melihat Allah di akhirat. Sedangkan kelompok ketiga adalah dari golongan Mu’tazilah.
Banyak dalil yang menyatakan bahwa kita dapat melihat Allah di akhirat, antara lain:
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat. (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
Dari Abi Hurairah ra, sesungguhnya para shahabat bertanya: “Ya Rasulallah, apakah kita bisa melihat Tuhan kita di hari Kiamat?” Maka Rasulullah menjawab: “Sulitkah kamu melihat melihat bulan di malam bulan purnama?” Para shahabat menjawab: “Tidak yaa Rasulallah.” Rasul berkata lagi: “Apakah kamu sulit melihat Matahari di waktu tanpa awan? Sesungguhnya kamu akan melihat Tuhan seperti itu.” (HR. Bukhori)
Ada yang memaknai hadits ini bahwa sebenarnya para shahabat telah percaya perihal melihat Tuhan di akhirat, namun mereka membayangkan bahwa mereka akan bergerombol dan berdesak-desakan untuk melihat Tuhan di akhirat. Lalu Rasul menjelaskan bahwa mereka dapat melihat Tuhan tanpa harus bergerombol dan berdesak-desakan sebagaimana orang yang memandang bulan purnama dan matahari tidak perlu berdesak-desakan.
Syaikh Ar-Rabi’ berkata bahwa beliau telah mendengar Asy-Syafi’i berkata mengenai hal melihat Tuhan ini: “Kami telah mengetahui mengenai hal melihat Tuhan ini. Sesungguhnya ada golongan yang tidak terdinding memandang kepada-Nya. Mereka tidak bergerombol melihat-Nya.”
Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka. (QS. Al-Muthoffifin: 15)
Imam An-Nasa’i memberikan keterangan mengenai ayat ini: “Adanya hijab untuk orang kafir adalah dalil tentang tidak adanya hijab bagi orang-orang yang mendapat kemulyaan (al-abror).”
Melihat Allah di Dunia
Sebagian Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang berpendapat bahwa kita juga dapat melihat Allah di dunia mengatakan bahwa ketika Rasul SAW mi’raj, beliau benar-benar melihat Allah, sehingga Sayyidina Hasan bin Ali ra berani bersumpah sewaktu menerangkan hal itu. Demikian pula dengan hadits riwayat Muslim dari Sayyidina Ibnu ‘Abbas ra yang oleh Imam An-Nawawi disimpulkan: “Sesungguhnya rajih menurut sebagian besar Ulama bahwa Rasulullah SAW melihat Tuhannya dengan mata-kepalanya/nyata (’ainu ra’sihi) pada malam Isra’ berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan lainnya.”
Syaik Ibnu Hajar Haitami berkata: “Bahkan sepakat kalangan Ahlus Sunnah atas terjadinya Rasulullah melihat Tuhannya di malam Mi’raj dengan mata/nyata.”
Menurut Abdul Qadir Al-Jilani dan Al-Junaid, melihat Tuhan bisa terjadi di dunia dengan pandangan mata bathin yang mendapat nur dari Allah (nurul imtinan). Berkata Syaikh Abdul Qadir: “Apabila ruhaniyah dapat menguasai basyariyah (fisik), maka mata tidak akan melihat kecuali apa yang dicerap oleh mata bathin.”
Dalam Sirojuth-Tholibin dikatakan: “Adapun di dalam tidur, sepakat sebagian besar Ulama Shufi mengenai kemungkinan terjadinya melihat Tuhan.”
Mungkin orang atheis menolak eksistensi Tuhan dengan berkata, “Jika Tuhan itu ada mengapa ia tidak bisa dicerap sebagaimana rasa manis dapat dicerap atau tidak bisa dirasakan adanya sebagaimana rasa senang atau rasa sedih bisa dirasakan?” Karena Tuhan hanya bisa ‘dicerap’ oleh ruh yang murni, bukan oleh mata, otak atau pun ruh seorang atheis yang penuh nafsu. Alam ini tidak dapat menampung Allah, tetapi hari seorang Mu`min dapat ‘menampung’ Allah.
Seorang atheis baru bisa membedakan bahwa alam mimpi itu tidak nyata dan alam dunia itu nyata. Sedangkan Mu`min sejati telah sanggup membedakan bahwa alam dunia tidak nyata dan Tuhan itu nyata. Orang yang telah melihat Allah dengan nyata akan menyadari bahwa alam dunia itu maya. Orang yang baru bisa melihat alam dunia, wajar saja jika dia beranggapan bahwa dunia itu nyata dan alam mimpi itu maya. Padahal alam dunia dan alam mimpi sama mayanya.
Lihat kembali perkataan Syaikh Abdul Qodir, lalu ingatlah mimpi Anda. Bukankah ketika tidur, dan hijab alam mimpi diangkat, apa yang kita lihat bukanlah gelapnya kelopak mata melainkan dunia yang penuh warna? Saat itu bukan lagi mata-fisik yang melihat. Jika ruh telah semakin bersih, ketika hijab diangkat, tidak mustahil seseorang dapat melihat Allah.
Ruh murni dapat melihat Allah. Ruh yang tengah lepas dari segala elemen ruh. Allah tidak dapat dicerap oleh elemen ruh yang padanya ditanamkan aqal, nafsu, alam dunia, alam mimpi, dan lainnya.
Ingatkah Anda ketika Musa hendak ‘bertemu’ dengan Allah di lembah qudus Thuwa? Allah berfirman, “Lepaskan kedua terompahmu, wahai Musa!” Begitulah jika seseorang hendak berjumpa dengan Allah. Dia harus memurnikan ruhnya. Aqal memang dapat mengantarkan kita ke Istana Qudsiyah. Tetapi ia tidak dapat dibawa masuk ke dalam Istana Qudsiyah. Ia harus ditanggalkan di luar Istana. Aqal dan nafsu bagai terompah yang biasa bersentuhan dengan dunia yang kotor bagai bangkai. Maka mereka tidak dapat bersentuhan dengan Yang Mahaqudus. Setelah lepas dari terompahnya dan diizinkan masuk, maka ruh murni akan dapat berjumpa dengan Al-Quddus.