Pages

Monday, April 5, 2010


Nikah Mut'ah Booming Lagi di Irak

E-mailPrintPDF
User Rating: / 2
PoorBest 
Najaf - Samira Abdullah Shehim, ibu dari tiga anak, dia tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. Suami dari kawannya "menawarinya menikah sementara" dengan bayaran sejumlah emas dan uang bulanan. Wanita berusia 32 tahun dan mempunyai 3 anak tersebut adalah seorang janda yang tinggal di kota Najaf.
"Laki-laki itu mengatakan kepadaku, dia mau menikahiku untuk kenikmatan saja dan akan mengaikhirinya jika dia sudah tidak ingin", wanita tersebut menjelaskan. Pernikahan sementara atau yang dikenal sebagai Mut'ah, mempunyai waktu berkisar antara beberapa jam hingga beberapa bulan atau tahun.
Si wanita mendapatkan bayaran variatif, mulai dari 100 dolar sampai 1000 dolar per-bulan, pada pernikahan hari pertama biasanya ditambahkan hadiah berupa emas atau uang kontan senilai dengan emas tersebut.
Ulama Muslim Sunni telah menyatakan bahwa pernikahan semacam itu dilarang agama Islam dan menyatakan pernikahan tidak boleh dibatasi oleh beberapa waktu.
Sedang kafir Syiah membolehkan Mut'ah.
"Saya merasa sangat sakit hati", kata Shehim, yang sudah berusaha berbulan-bulan mencari pekerjaan untuk memberi makan anak-anaknya.
"Aku langsung berteriak kepadanya dan dia langsung kuminta meninggalkan rumahku".
Namun setelah beberapa pekan tak mendapatkan pekerjaan, Shehim menghubungi laki-laki yang merupakan suami kawannya tersebut.
"Aku minta maaf atas perkataanku beberapa hari lalu dan aku pun menerima tawarannya".
Pernikahan berkala saat ini sedang marak di Irak, di propinsi selatan yang didominasi mayoritas kafir Syiah, terutama Karbala, Najaf, Muthana dan Basra.
Walaupun tidak ada angka resmi, namun sebuah organisasi lokal memperkirakan 200 pernikahan sementara atau Mut'ah dilakukan setiap hari di propinsi selatan.
"Biasanya saya melakukan paling tidak tiga Mut'ah setiap hari", kata Abdel-Rehman Hasan al-Half, seorang pemuka Syiah di Basra kepada IOL.
Nikah Mut'ah dilarang pada jaman Saddam Hussein berkuasa, yang kedapatan melakukan Mut'ah akan dihukum atau dipenjara. Namun setelah invasi 2003 dan Syiah berkuasa di Irak, fenomena ini muncul lagi.
Shehim ibu beranak tiga itu tidak tahu, jika dengan menerima Mut'ah itu ia sama saja akan berpindah dari "wajan penggorengan menuju api". Akhirnya laki-laki yang menawari Shehim Mut'ah datang lagi namun mengurangi setengah bayaran dari yang ditawarkan pertama. Dalam enam bulan nikah Mut'ahnya dengan suami dari kawannya tersebut, tiap laki-laki itu datang kerumah Shehim dipaksa mengunci anak-anaknya di kamar mandi hingga laki-laki tersebut pergi dari rumah.
Situasi bertambah buruk saat Shehim mulai mengandung. Dia dipaksa melakukan aborsi dan memutuskan perjanjian, meninggalkan wanita hamil dari hasil Mut'ah tersebut sendirian tanpa bantuan, dan memunculkan stigma di lingkungannya jika wanita tersebut menjadi pekerja seks komersial.
Mahmud al-Rabia, seorang ulama Sunni Baghdad, mengecam pernikahan model ini (Mu'tah) dan mengatakan pernikahan semacam ini sebagai kamuflase saja untuk melegalkan prostitusi yang akan menghancurkan nilai-nilai moral dalam pernikahan Islam.
"Saya mau tahu apakah ada nikah Mut'ah yang bertujuan untuk menolong janda atau wanita yang diceraikan?", kata ulama tersebut kepada IOL.
"Mereka semua hanya mempunyai satu tujuan : kenikmatan seksual belaka, dan ini tidak bisa diterima pada kehidupan Islam", tutup ulama tersebut. [zq/voa-islam/iol]

1 comment:

hanafi said...

saya setuju dengan tidak diperbolehkannya mut'ah tapi aku tidak setuju kalau diharamkan karena pada zaman nabi nabi tidak pernah melarang