Pages

Saturday, February 6, 2010

KESULTANAN MELAKA.

KESULTANAN MELAKA.
Pengarang: YUSRA HABIB ABD GANI
Disalin Ulang Oleh: IQBAL IDRIS

Kisah kesultanan Melaka (1400-l511), juga merupakan salah satu khazanah penting dalam sejarah Asia Tenggara. Banyak perkara penting telah disumbang kepada pembangunan peradaban bangsa-bangsa Melayu di kawasan Dunia Melayu.

Prinsip saling menguntungkan dalam bidang ekonomi, telah menempatkan Melaka menjadi poros perdagangan yang paling penting di kawasan Dunia Melayu pada masa itu. Bangsa Arab, Cina, India dan Eropa telah menjalin hubungan dagang dengan Sultan Melaka, seterusnya berhasil merangsang, menghidupkan pelabuhan-pelabuhan di Semenanjung dan di pantai Timur, Utara Sumatra. Sebagai Pelabuhan bebas, Melaka telah menjadi simbol kemegahan bangsa Melayu, atas kemajuan dalam berbagai bidang yang dicapainya.

Dalam bidang kesusasteraan, Kesultanan Melaka telah bekerja sama memajukan pendidikan dengan Dinasty Ming dan berhasil mendirikan satu fakultas pada institusi pendidikan Tinggi di Cina yang mengkaji tentang kesusasteraan dan bahasa Melayu. Salah satu hasil yang membanggakan ialah disusunnya kamus bahasa Melayu-Cina dan Melayu-Perancis oleh lembaga kajian sastera melayu di Cina.

Selain itu diakui bahwa, solidaritas antara sesama bangsa-bangsa di Semenanjung dan Sumatera pada waktu itu sangat kental, termasuk hubungan dagang, budaya dan politik. Bumi Semenanjung yang dipisahkan oleh Selat melaka dengan Sumatera, dalam kenyataannya tidak dipandang sebagai tapal batas yang memisahkan interaksi antara sesama rumpun Melayu. Selat Melaka hanyalah sebuah parit, tempat anak-anak negeri bersabung dan mempertaruhkan kesinambungan hidupnya.

Dalam lapangan diplomat kesultanan Melaka telah mencatat kemajuan, sebab menerapkan prinsip saling percaya dengan bangsa lain. Sultan Melaka telah berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan Cina, Arab, India, dan bangsa-bangsa Eropa. Diketahui bahwa selama pemerintahan Kesultanan Melaka (1400-l511), telah terjadi empat kali kunjungan resmi kenegaraan antara Sultan Melaka dan Kaisar Cina. Kunjungan Cina kerap disertai oleh kalangan korporat yang ingin melihat peluang perniagaan di Melaka. Bagaimanapun, korporat Cina mula memikirkan pentingnya mendapat tanah di kawasan kota dan tepi pantai untuk keperluan tempat tinggal dan pemiagaan. Untuk mendapat tanah, pendatang Cina memakai politik “revolusi akrab” dengan Sultan dan kalangan masyarakat Melayu supaya tanah mereka bisa dibeli atau disewa. Walaupun dalam pandangan dan adat orang Melayu dipercayai bahwa: menjual tanah milik seseorang/keluarga dengan tidak ada alasan yang munasabah dipandang malu dan hina. Namun begitu secara khusus atau dalam konteks tertentu tentu ada pertimbangan-pertirnbangan lain melatar belakangi perkara itu berlaku. Akhirnya dalam jangka masa 600 tahun (1400-1999), tanah-tanah orang Melayu di kawasan kota dan pantai yang strategik, secara politik dan ekonomi telah dikuasai sepenuhnya oleh etnis Cina di Malaysia.

Terlepas dari pertimbangan tadi, kedaulatan tanah dalam pandangan orang Melayu, tetap berhubung kait dengan politik, ekonomi bahkan dengan maruah bangsa. Oleh karena itu, untuk mempertahankan semua itu, mereka telah berani bertarung dan bersabung mempertaruhkan nyawa, darah dan harta untuk melawan kuasa kolonialisme, imperialisme dan komunisme. Orang Melayu tetap mempunyai pendirian bahwa untuk menyara hidup, . . . menyambung zuriat, . . . bersahabat dengan berbilang etnik dan agama berlaku di atas tanah Melayu yang siap sedia menunggu dan menyahut setiap panggilan pembangunan, agar tercipta kesinambungan hidup yang dinamik, bergerak menuju satu cita-cita- rahmatan lil àlamin. Suatu masyarakat yang tidak dapat membuktikan mampu berubah, tentu masyarakat menjadi fosil. Tetapi bumi melayu yang selama berabad-abad lamanya dijamah dan digagahi oleh serangkaian penjajah dan majikan (Portugis, Belanda, British, Jepang dan British), nyatanya mengalami nasib yang keadaannya lebih kurang seperti dikatakan Zurr el-Ghaffari

bahwa: “ada tiga perkara yang menjadi milik masyarakat sebagai keseluruhan yang tidak diakui oleh siapapun -Api, Rumput dan Air.” Namun begitu, ada sesuatu yang tidak dapat digadai, sebab tidak ada yang lebih penting dalam kehidupan orang Melayu kecuali: agama dan bahasanya.

Ini ada benarnya, sebab dalam penelitian Francis Xavier, yang dikirim khusus sebelum Portugis menyerang Melaka tahun 1511. Xavier, telah mengkaji sejarah, falsafah dan sastera Melayu. Kesimpulan yang paling menarik dari Xavier ialah, bahwa terdapat hubungan yang erat sekali antara budaya dart bahasa/sastera dengan kekuatan semangat dan moral yang dipantulkan dari pemahaman agamanya -Islam. Kesimpulan Xavier juga diakui oleh sebilangan Orientalis lain yang meneliti kemudian, seperti: R.O. Winstedt, Wilkinson, Werndly TM, OT Dossek, William Farquhar, Frank Sweten dan H.O Overbeck.

Sebelum Portugis menakluki Melaka tahun 1511, kajian dan analisa Xavier mengenai falsafah hidup orang Melayu sangat banyak membantu dalam strategi untuk menaklukan Melaka. Sebab secara psikologis apa yang disimpulkan Xavier dapat dipandang sebagai pantulan pikiran, karakteristik dan visi yang sekaligus menggambarkan mentalitas orang Melayu seperti didapati dalam lirik pribahasa ini:

"Daripada hidup berputih mata, lebih baik mati berputih tulang"
"Daripada hidup bercermin bangkai, lebih baik mati berkalang tanah"

Inilah falsafah hidup dan di atas pemahaman itu pula orang Melayu menolak secara mentah-mentah dan memerangi semua kaedah kolonialisme yang bertentangan dengan budaya Melayu dan Islam.

Tetapi Xavier tidak berhenti di sini, sebaliknya, lirik yang nampak begitu garang itu, ternyata bukan harga mati bagi orang Melayu, sebab masih terdapat sisi lemahnya. Dalam batas-batas tertentu, orang Melayu sebenamya masih mau bersikap lebih toleran bahkan bersedia diperbudak, asalkan cukup alasan untuk itu. Sikap toleran ini didapati dalam lirik Pepatah di bawah:

“Ikut rasa binasa, ikut suka duka, ikut hati mati, dan biar titik jangan tumpah, biar rebah jangan roboh”

Seterusnya bunyi pantun di bawah juga sangat penting artinya dalam kajian Xavier:

“Puas Saya Menanam Keladi: Nenas Juga Ditanam Orang
Puas Saya Bertanam Budi: Emas Juga Dipandang Orang”

Lagi satu:

“Sudah dapat gading bertuah Tanduk tidak berguna lagi”

Dari kajian Xavier inilah, Portugis membuat kesimpulan untuk menyusun taktik dan strategi. Maka pada tahun 1509, Protugis mengadakan uji-coba atas kebenarannya. Dalam kunjungan resmi Portugis ke Melaka, kepada Bendahara Kesultanan Melaka yang dikenal jujur itu diberikan kenang-kenangan berupa kalung emas dan tidak diberikan kepada Sultan Melaka, Mahmud Syah. Peristiwa ini sengaja dihembus dan dihebohkan oleh Nina Chattu (keturunan Kling, India) dan Uthimutha (keturunan Jawa). Keduanya bekerja di Istana Sultan Melaka. Portugis sudah lama memperalat dua orang ini yang ditugasi mencari dan menyerahkan rahasia pertahanan Sultan Melaka. Jadi kejatuhan Melaka tidak terlepas dari pengkhianatan kedua orang ini, seperti telah diungkapkan: “Kejatuhan Melaka sebenamya berpunca daripada pengkhianatan oleh dua orang pegawai Sultan: Nina Chattu seorang keturunan Kling-India, yang bekerja-sama merancang dan menolong orang Portugis menyerang serta merampas Melaka. Difahamkan bahwa ia telah terpengaruh dengan janji-janji manis yang diberikan oleh Alfonso D‘Albuquerque, dan akhimya dia sendiri dibunuh oleh serdadu Portugis.” Armando Cortesao, The Suma Oriental of Tome Pires, London, 1944, hlm 287.

Selain Chattu, “didapati juga seorang pengkhianat lagi bemama Uthimutha, keturunan Jawa yang bekerja sebagai budak, turut merancang dan melicinkan rampasan kuasa oleh Portugis untuk menakluki Melaka.” (UTUSAN MALAYSIA, 5 November, 1997, hlm 34.

Walaupun pantulan lirik pertama di atas telah dieksprimentasikan oleh Lubuk Batu, pengganti Sri Maharaja Melaka dalam ucapannya: “Biarkan daku! Biar aku hancur bersama Melaka ini”. Sebab dalam budaya Melayu. “kalau negeri alah, rajanya hendaklah mati‘, akan tetapi dalam kenyataannya tembok Melaka tetap juga roboh.

Dengan robohnya tembok Melaka tahun 1511, maka Sultan-sultan yang sebelumnya tunduk kepada kuasa Kesultanan Melaka otomatik di bawah kuasa Portugis. Di sini semua dalil mengenai falsafah hidup, politik, pertahanan dan kesetiaan kepada sultan temyata mengalamai perubahan secara ektreem: ‘kalau negeri alah hendaklah raja mati” tidak bergetar lagi dalam jiwa orang Melayu. Sultan Mahmud Syah bersama keluarganya terpaksa melarikan diri ke Johor. Dari Johor, Sultan Mahmud berusaha menyusun strategi perlawanan, malahan beliau sempat mengirim surat kepada Dinasty Ming dengan maksud supaya dapat membantu Sultan Melaka menghadapi serangan Portugis. Akan tetapi permintaan Sultan tidak dapat dikabulkan, karena Dinasty Ming sendiri sedang menghadapi serangan bangsa Tar-tar. Persoalannya sekarang: mengapa Sultan Johor, Selangor, Perlis, Pahang, Perak, Kelantan, Pathani, Trengganu dan Naning (Negeri Sembilan) tidak membantu membebaskan Melaka dari serbuan Portugis? Mengapa Sultan Mahmud meminta bantuan kepada Kaisar Dinasty Ming? Lebih ‘aib lagi, Sultan-sultan Melayu di Semenanjung tidak mampu memberi perlindungan kepada Sultan Mahmud bersama keluarga. Dalam sejarahnya yang panjang itu, Sultan Johor dan Pahang kemudian berkomplot dengan Portugis untuk mempertahankan status quo Melaka di bawah kuasa Portugis.

Akhimya, Sultan bersama keluarga terpaksa meminta perlindungan politik kepada Sultan Siak -Sumatera. Kesetiaan orang Melayu Sumatera tidak sekadar memberi perlindungan kepada Sultan dan kerabatnya, akan tetapi juga menyediakan sebuah pulau -Bintan- sebagai basis untuk melatih tentara pembebasan Melaka. Walhasil, setelah Sultan Mahmud meninggal, tidak dapat diteruskan oleh anaknya - Sultan Muda Ibrahim - yang memilih untuk tidak kembali lagi ke Melaka. Bersamaan dengan runtuhnya tembok Melaka, hancur pula kedaulatan politik sultan-sultan Melayu yang walaupun keberadaan Sultan-sultan tidak dihapuskan, akan tetapi secara politik dan moral kedudukan Sultan-suhan Melayu ini sama artinya dengan Gubemur-gubemur yang dilantik di wilayah-wilayah jajahan Portugal.

Di tengah suasana Melaka kucar-kacir, lumpuhnya semangat juang dan kehilangan pemimpin Melayu yang sejati itulah, para sasterawan Melayu secara diam-diam mengangkat cerita yang menampilkan tokoh Hang Tuah dan Hang Jebat. Kisah ini mempunyai genre sastera yang khusus menyibak kembali peristiwa yang berlaku dalam Istana Sultan Melaka. Bendahara kesultanan Melaka yang mati dibunuh tahun 1509, karena dihasut oleh Mendaliar dan Koja Hasan serta Nina Chattu dan Uthimutha yang berkhianat kepada Sultan Melaka. Melalui cerita ini diharapkan dapat memberi rangsangan terhadap semangat nasionalisme Melayu, kewibawaan, kebenaran dan keadilan, tetapi segalanya serba tidak menjadi. Kini mithos Hang Tuah dan Hang Jebat, dalam kenyataannya, terasa semakin menjauh dari kurun masa dan pantulan jiwa dan serta semangatnya kepada generasi sekarang. Portugis yang menjajah Melaka (151l-l641) tidak dapat diusir walaupun terus menerus dirangsang melalui cerita Hang Tuah dan Hang Jebat.

Sejarah berbicara lain. Belandalah yang kemudian memukul mundur Portugis dari Melaka. Konsekuensi logisnya bahwa Melaka bertukar tuan, dari Portugis kepada Belanda. Maka, seperti Portugis, Belanda juga melucuti kedaulatan Sultan-sultan Melayu, dipaksa menanda tangani perjanjian supaya semua tanah-tanah dan hasil bumi Melayu diserah kepada penjajah. Perusahaan-perusahaan yang sebelumnya milik Portugis, kini semua beralih kepada Belanda dimana orang Melayu dipakai menjadi buruh dan bukan sebagai Tuan. Dalam konteks ini, ada benamya ucapan Zakiyah Hanum bahwa: “Di kalangan pekerja Melayu, lazimnya mereka menghormati majikan yang menggajinya. Kasih kepada tempat berarti menjaga dan memelihara semua yang berkaitan dengan majikan mereka. Jika ada sesuatu yang menyinggung perasaan majikannya, sama seperti menyingggung perasaan hati dan perasaan mereka. Kerap ada yang goncang hati dan perasaan kebangsaannya, disebabkan kasih sayang yang ditujukan kepada hala yang lain.” (UTUSAN MELAYU, medio 1995). Gambaran mentalitas Melayu ini berlaku sampai sekarang.

Ketika Belanda melihat Melaka tidak menguntungkan lagi, maka sekali lagi Melaka bertukar tuan, dari Belanda kepada Inggeris melalui Traktat London, yang ditanda tangani pada tahun 1824. Dalam perjanjian ini antara lain disebut bahwa Bengkulu, wilayah kuasa Inggeris di Sumatera diserah kepada Belanda, sementara Melaka - wilayah kuasa Belanda di semenanjung - diserah kepada Inggeris. Satu persatu kuasa Sultan dilucuti melalui perjanjian antara Inggeris dengan masing-masing Sultan. Semua kompeni Belanda secara otomatik beralih kepada Inggeris. Ada beberapa perkara yang sebelumnya tidak terjadi, justeru berlaku sewaktu Inggeris berkuasa. Misalnya, tenaga kerja dalam sektor perkebunan, didatangkan buruh dari India, sementara dalam sektor perlumbungan timah didatangkan buruhnya dari Cina. Demikian juga anggota keselamatan negara tidak dipercayakan kepada orang Melayu. Kalaupun ada sebilangan orang Melayu menjadi tentara, hanyalah berpangkat rendah sekali. Hal seperti ini berlaku selama penjajahan Inggeris (1824-1942)

Ketika Jepang masuk ke Singapura tahun 1942, dengan mudah sekali menguasai tanah Semenanjung sampai tahun 1945. Orang Melayu bertukar tuan lagi dan untuk kesekian kalinya menjadi hamba abdi penjajah yang diperlakukan dengan tanpa ampun. Sampai Inggeris kembali lagi sesudah pendudukan Jepang berakhir 1945.

Di penghujung sejarahnya, proses kemerdekaan Tanah semenanjung yang kemudian dikenali sebagai Malaysia itu tercapai juga dengan melalui penmdingan. Inggeris meletakkan syarat bag-i kemerdekaan Tanah Semenanjung Melayu. Semua etnik Cina dan India mesti menjadi warganegara yang mempunyai persamaan hak dan kewajiban. Apa yang paling penting di sini ialah: pengalaman yang ‘aib dan buruk selama lebih daripada 450 tahun itu, agaknya cukup sudah menjadi guru kepada bangsa ini untuk menata hidup di tengah-tengah kegundahan rakyat yang terus mencekam di atas perbedaan agama, budaya dan perkauman dan berharap mimpi buruk tidak akan menjelma kembali.


PERLU DIINGAT!!!
PLAH U MEUNJOË PEUREULÈË KEU MINJEUK
KURBEUN DROË MEUNJOË MEUHEUËT KEU MEURDÉHKA !!!
(Belah kelapa kalau perlu minyaknya, korbankan diri kalau menginginkan kemerdekaan!!!)



http://www.geocities.com/khairilhusni790/R..._Tak_Kembali.rm

No comments: