Pages

Sunday, April 4, 2010

persediaan untuk mati


Assalamualaikum Wr Wb
Ada seorang keluarga Muslim yang cukup taat namun miskin. Pada suatu hari salah seorang anggota keluarga itu sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit dan memerlukan dana cepat dalam jumlah yang sangat besar, apabila dana itu tidak ada, keselamatan jiwa si sakit akan sangat terancam. Setelah pusing mencari bantuan ke saudara-saudaranya sesama Muslim, bantuan itu tidak mereka dapat. Akhirnya, datang bantuan dari lembaga gereja, dengan satu syarat apabila si sakit sembuh mereka harus bersedia dibaptis dan masuk gereja.
Apabila syarat ini mereka terima, Kita mungkin bisa mengatakan mereka pasti berdosa karena tidak kuat menahan cobaan dari Allah SwT, tetapi benarkah kita juga tidak akan dituntut tangungjawab yang sama atas terjadinya peristiwa ini?
Kalau kita memakai kacamata fardlu kifayah, maka kita semua (seluruh umat Islam) harus menanggung dosa yang sama, apabila peristiwa seperti itu harus terjadi.
Mengurus jenazah orang Muslim dihukumi sebagai fardlu kifayah karena orang muslim yang sudah menjadi jenazah itu tidak lagi mengurus dirinya sendiri. Keluarga Muslim yang terpaksa murtad itu mungkin dapat dikatakan dalam kondisi yang juga sudah tidak dapat mengurus diri mereka sendiri juga.
Sebagai agama, Islam banyak mengajarkan kepada pemeluknya untuk peduli pada sesama. Memanglah tepat kalau Islam dikatakan sebagai agama yang diturunkan oleh Allah untuk menjawab budaya jahiliyah. Peradaban jahiliyah yang menyandarkan dirinya kepada hukum rimba yang serba mengandalkan kekuatan dan kekuasaan fisik yang serba kasar dan buas, mendapat imbangan dari ajaran Islam yang menyandarkan diri pada kekuatan iman yang aplikatif.
Di dalam Al-Qur’an hampir tidak ada perintah shalat yang tidak diikuti dengan perintah zakat, dan juga sangat jarang adanya penyebutan iman yang tidak diikuti dengan kata amalus shalihah.
Dari fakta ini, banyak ahli agama yang menyimpulkan bahwa shalat, yang merupakan tiang agama dan amal yang paling dahulu dihisab, memang harus disempurnakan dengan zakat. Sebagus apa pun shalat seseorang dinilai tidak sempurna, apabila tidak diikuti dengan kwajiban membayar zakat. Demikian juga keimanan. Iman kepada Allah tidak akan dianggap sempurna, apabila tidak diikuti dengan perbuatan nyata yang mulia (amal shalih).
Shalat yang merupakan ibadah berdimensi vertikal harus diikuti dengan ibadah zakat yang berdimensi sosial. Iman yang bersifat sangat personal dan rahasia harus diwujudkan secara nyata dengan perbuatan baik (amal shalih).
Saat ini di kalangan umat Islam kepedulian sesama ini dapat dikatakan mulai agak memudar. Kita sudah merasa cukup beramal dan merasa sudah menjadi dermawan dengan memasukkan uang pecahan paling kecil yang ada di dompet kita dalam kota amal masjid setiap shalat jum’at.
Apabila kita sudah merasa cukup puas dengan “keformalan amal” kita seperti itu, umat Islam pasti tidak akan pernah maju di negeri ini. Kita semua lebih suka menuding lembaga gereja itu kaya dan mampu melakukan amal karena didanai oleh donatur atau lembaga luar negeri. Tetapi apakah kita pernah berderma secara layak. Kalau benar dana itu dari luar negeri itu juga berasal dari sumbangan-sumbangan pribadi dari pemeluk agama itu. Lantas kalau mereka bisa menyumbang mengapa kita yang menjadi mayoritas di negeri ini tidak bisa? Jangan-jangan uang kita malah lebih ringan kita gunakan untuk membuat spanduk partai atau menyuap petugas haji agar kita bisa berangkat ke tanah suci tanpa harus antri.
Wassalam

No comments: