Pages

Friday, February 5, 2010

Pengertian Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh; dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.
Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.
Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :

Artinya:
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :

Artinya:
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".
Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.
Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :

Artinya:
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni:


Artinya:
"Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".
Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.

Artinya:
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)
Atau seperti sabda Rasulullah SAW :

Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.
Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :

Artinya:
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."
Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :

Artinya :
"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."
Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :

Artinya:
"Kumpulan kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada faqih (ahli hukum Islam) cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil syara'."


Tetap update informasi di manapun dengan http://m.cybermq.com dari browser ponsel anda!
PRINSIP ILMU USHUL FIKIH (EBOOK)

Oleh :
Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin

Ushul Fikih adalah landasan yang seharusnya difahami oleh setiap thullabul ilmi, karena Ushul Fikih ini melandasi semua cara beristidlal dan berhujjah para ulama. Dengan ilmu inilah seseorang dapat memahami bagaimana para ulama di dalam menggali dan mengambil kesimpulan suatu hukum. Namun, ilmu ini bukanlah ilmu yang mudah dan bisa difahami begitu saja, tanpa bimbingan seorang ulama yang mumpuni dan tanpa penelaahan waktu yang panjang.

Betapa banyak pula orang yang mempergunakan ilmu ini untuk mempertahankan kesalahan, penyimpangan, bid’ah bahkan kekufurannya. Kita ambil contoh misalnya, komunitas JIL atau Muslim(?) Liberalis, betapa sering mereka menggunakan ilmu ushul fikih ini (secara serampangan tentunya) untuk memperkuat argumentasi dan dalil mereka di dalam menyebarkan kekufuran dan kesesatan. Begitu pula dengan kelompok-kelompok dan aliran sesat lainnya.
Bahkan, saya sendiri pernah terperanjat ketika mendengar ada seorang kiyai pernah mengatakan –ketika ditanya tentang hukum rokok- : “Rokok itu hukumnya makruh, namun bagi saya hukumnya wajib.” Ketika ditanya alasannya, ia dengan entengnya menjawab : “Saya apabila tidak merokok tidak bisa konsentrasi mengajar, sedangkan mengajar adalah kewajiban saya, di dalam kaidah ushul fiqh dikatakan : maa laa yatimmu waajibun illa bihi fahuwa waajib, sesuatu yang apabila tanpa keberadaannya maka tidak sempurna kewajiban maka sesuatu itu wajib hukumnya.” Demikian kurang lebih apa yang sang kiyai ini katakan.
Oleh karena itulah, sesuatu apabila ditempatkan tidak pada tempatnya pastilah keliru, salah bahkan dikatakan zhalim. Untuk menghindari kesalahan seperti ini, maka diperlukan pemahaman mendasar yang harus difahami oleh seorang yang akan belajar ilmu ushul fikih. Oleh karena itulah, buku al-Ushul min ‘Ilmil ‘Ushul ini layak kiranya dibaca bagi orang yang ingin memahami landasan di dalam memahami ilmu ushul yaitu ushul fikih.
Buku ini adalah buku buah karya dari Faqihuz Zaman al-Imam al-‘Allamah Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, seorang ulama besar ahli fikih, ushul, aqidah, tafsir dan hadits telah wafat 1421 H. kemarin. Semoga Alloh merahmati beliau. Kepergian beliau adalah bencana dan musibah bagi umat islam, sebagaimana digambarkan oleh Rasulullah bahwa ilmu umat ini tidak akan dicabut sekaligus, namun Alloh mencabutnya dengan mewafatkan para ulama.
Di dalam buku ini banyak sekali faidah dan ilmu yang bisa kita ambil, bahasanya mudah, sistematis dan ringkas, sehingga tidak membuat orang menjadi bosan menelaahnya –kurang lebih inilah yang saya rasakan-. Semoga Alloh membalas penulis buku ini dengan pahala-Nya yang berlimpah dan membalasnya dengan surga Alloh. Buku ini dialihbahasakan oleh al-Akh al-Fadhil Abu Shillah dan isteri jazzahumallahu khoyrol jazaa’ ‘anil Islam wal Muslimin yang telah meluangkan waktu dan bersusah-payah untuk menyebarkan faidah ini kepada umat. Semoga buku ini bisa bermanfaat.
diambil dari blog akh. abu salma. Jazaakalloh khoir.

Silakan download (737 kb)


Pengenalan Ringkas Kepada Ilmu Ushul al-Tafsir PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Pengendali Laman
Saturday, 25 August 2007
Judul:Pengenalan Ringkas Kepada Ilmu Ushul al-Tafsir

Pengarang: al-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin (1411H)

Penterjemah: Ust. Fadlan bin M. Othman

Penyunting: Hafiz Firdaus Abdullah

Penerbit: Jahabersa, Johor Bahru.

Saiz buku: 8.5 x 6, 139 mukasurat

Harga: RM9.00
Di mana: Kedai-kedai yang biasa menjual buku agama terbitan Jahabersa. Atau pesan terus dari penerbit di 07-235 1602.

Ulasan ringkas:

Pengenalan oleh Syaikh al-Utsaimin rahimahullah adalah ulasan yang terbaik bagi mewakili kepentingan buku ini:

"Sesungguhnya di dalam apa sahaja ilmu, perkara yang amat penting bagi orang yang ingin mempelajarinya ialah mengkaji dasar-dasarnya yang dapat membantu memahami ilmu tersebut. Pengajian dasar-dasar sesuatu ilmu akan menjadikan mengkaji itu seorang yang mempunyai tapak yang kuat dalam ilmu itu. Pepatah ada menyatakan bahawa orang yang tidak dapat memahami dasar (ushul), tidak akan kesampaian kepada ilmu itu.

Ilmu yang paling mulia dan berprestij ialah ilmu Tafsir al-Quran yang merupakan penerangan terhadap erti kata-kata Allah Yang Maha Agung lagi Maha Mulia. Para ulamak telah merumuskan dasar-dasar bagi ilmu ini sebagai mana mereka telah merumuskan dasar-dasar bagi ilmu Hadith dan ilmu Fikah."

Pengantar Ushul Fiqh

4/1/2007 | 14 Zulhijjah 1427 H | Hits: 7.562
Oleh: Ahmad Sahal Hasan, Lc
Kirim Print
“Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” (Al-Amidi)
Definisi Ushul Fiqh
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan fiqh secara terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya
Al-Ushul
Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala sesuatu, pondasi, asas, atau akar).
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, ashluha (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim: 24)
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan:
أصل هذا الحكم من الكتاب آية كذا
(Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an).
Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum, sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.
Al-Fiqh
الفقه في اللغة: العلم بالشيء والفهم له
Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.
Menurut istilah para ulama:
الفقه: العلم بالأحكام الشرعية العملية المكتسب من أدلتها التفصيلية
(ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
الحكم: إسناد أمر إلى آخر إيجابا أو سلبا
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian sesuatu dari yang lain. Misalnya: kita telah menghukumi dunia bila kita mengatakan dunia ini fana, atau dunia ini tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya.
Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat), apakah perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, atau mubah. Atau apakah perbuatannya itu sah, atau batal.
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.
Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh hukum-hukum syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih (ahli fiqh), cukup baginya mengetahui sebagiannya saja asal ia memiliki kemampuan istinbath, yaitu kemampuan mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan syari’at.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan seseorang tentang hukum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.
Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278).
Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara pada pokok masalah yang bersifat praktis.
Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu
Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab Syafi’i dengan:
معرفة دلائل الفقه إجمالا وكيفية الاستفادة منها وحال المستفيد
(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta apa syarat-syarat seorang mujtahid).
Penjelasan Definisi
Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih rinci, mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang bermakna kiasan, bagaimana cara menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada dalil dan hukumnya, dan seterusnya.
Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mendefinisikan ushul fiqh dengan:
العلم بالقواعد الكلية التي يتوصل بها إلى استنباط الأحكام الشرعية من أدلتها التفصيلية
(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
Kaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap bagian yang ada di bawahnya.
Contoh kaidah umum:
الأصل في الأمر للوجوب
(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain yang menjelaskan maksud lain dari kalimat perintah tersebut. Misalnya perintah Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat 43:
((وآتوا الزكاة))
(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap perintah pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan tidak ada ayat lain ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang zakat harta. Dalam contoh ini ayat tersebut adalah dalil rinci, sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil yang bersifat global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil rinci lain yang sejenis.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad yang benar sesuai batasan-batasan syariat.
Cakupan Ushul Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
  1. Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah) maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
  2. Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan dan rahmat Allah.
  3. Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain.
  4. Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana solusinya.
  5. Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
Tujuan Ushul Fiqh
غاية أو ثمرة علم الأصول: الوصول إلى معرفة الأحكام الشرعية بالاستنباط
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah (tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara langsung.
Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di antaranya:
  1. Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath.
  2. Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.
  3. Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama.
  4. Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar.
Sandaran Ushul Fiqh1. Aqidah/Tauhid, karena keyakinan terhadap kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah serta kedudukannya sebagai sumber hukum/dalil syar’i bersumber dari pengenalan dan keyakinan terhadap Allah, sifat-sifat dan perbuatan-Nya yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan terhadap kebenaran Muhammad Rasulullah saw, dan semua itu dibahas dalam ilmu tauhid.
3. Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab, maka untuk memahami maksud setiap kata atau kalimat di dalam Al-Quran dan Sunnah mutlak diperlukan pemahaman Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama mengatakan bahwa:
الأمر يقتضي الفور
(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena para ahli bahasa mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada pelayannya: “Ambilkan saya air minum!” lalu pelayan itu menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela.
5. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul:
الأصل في الأمر للوجوب
(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya adalah:
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (An-Nur: 63)
7. Akal, misalnya kaidah ushul:
إذا اختلف مجتهدان في حكم فأحدهما مخطئ
(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi suatu masalah, maka salah satunya pasti salah) dalilnya adalah logika, karena akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang bertentangan adalah sebuah kemustahilan.
Hukum Mempelajari Ushul Fiqh
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali dengan ilmu ushul ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib baginya untuk bertanya:
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim, maka ia tidak bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab tidak boleh memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak diwajibkan atas semua orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu a’lam.”
Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang hamba seperti ibadahnya, muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa, sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.

Apakah Taqsim (Pembagian) Persoalan Agama ke Dalam Ushul dan Furu’ Merupakan Bid’ah?

14/1/2007 | 23 Dhul-Hijjah 1427 H | 6,084 views
Oleh: Aba AbduLLAAH
Kirim Print
Di antara berbagai persoalan yang muncul akhir-akhir ini dan membingungkan ummat, sebagian ikhwah, adalah klaim yang disampaikan oleh sebagian orang yang terlalu bersemangat mempelajari agama bahwa pembagian persoalan-persoalan agama menjadi masalah-masalah yang termasuk ushul (dasar) dan furu’ (cabang) adalah bid’ah yang tidak dikenal oleh generasi Salaful Ummah (radhiyaLLAAHu ‘anhum ajma’iin)..
Saya menyaksikan sendiri sebagian orang yang sangat bersemangat ini dalam salah satu majlis pernah melontarkan bahwa membagi urusan agama menjadi masalah-masalah yang ushul dan furu’ tidak dikenal oleh ulama salaf dan oleh sebab itu ia merupakan perbuatan bid’ah yang tercela (qabihah), karena menurutnya bahwa agama hanya satu, tidak dikenal adanya pembagian-pembagian fiqh, ilmu fiqh menurut Salaf hanya satu yaitu ikuti nabi SAW, demikian kata mereka.
Kemudian saya tanyakan kepada mereka, kitab mana saja yang sudah antum baca dari kalangan kaum salaf sehingga antum bisa menyimpulkan demikian? Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut mereka kecuali qila wa qala (kata ustaz Fulan dan kata syaikh Fulan). Maka saya tanyakan kembali pada mereka: Kitab manakah yang menurut antum merupakan kitab salaf yang paling sering antum baca? Jawab mereka: Tafsir Ibnu Katsir! Tanya saya lagi: Antum sudah khattam (tamat) membaca kitab tafsir Ibnu Katsir? Jawab mereka: Belum! Lalu saya katakan: Imam Ibnu Katsir menyetujui pembagian ushul dan furu’ yang antum bilang bid’ah itu!
Demikianlah fenomena yang sering kita lihat & dengar di sekitar kita, semangat yang amat besar mempelajari ‘ulum-syar’iyyah (ilmu-ilmu syariat) adalah sesuatu yang sangat terpuji, bahkan sebagiannya merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Namun jika hal tersebut diikuti dengan sikap mudah memvonis & menuduh kepada kelompok yang berbeda padahal mereka bukanlah qadhi (hakim) maka sifat tersebut menjadi amat tercela.
Saat menafsirkan QS An-Nisa’ ayat 29-31, Imam Ibnu Katsir [1] berkata ketika beliau -semoga ALLAH SWT menyayanginya- mengkomentari hadits tentang syafa’at Nabi Muhammad ShallaLLAHu ‘alaihi wa Sallam bagi orang yang berdosa besar, ia berkata: “Para ulama ushul dan furu’ telah berbeda pendapat tentang batasan dosa besar.
Ada yang berkata bahwa dosa kecil adalah dosa yang tidak ada had-nya (sanksi) dalam syariat.”
Lebih lanjut saat menafsirkan QS Al-Ma’idah ayat-3, beliau [2] juga menyatakan: “Walaupun hadits ini jelas mengenai sebab yang khusus, tetapi ibroh itu berdasarkan keumuman lafzh menurut jumhur ulama baik dalam masalah ushul maupun furu’..” Demikian pula saat beliau menafsirkan QS Al-Jum’ah ayat 1-4, beliau [3] menyatakan: “.. Nabi Muhammad ShallaLLAHu ‘alaihi wa Sallam juga adalah hakim dan pemutus tentang berbagai syubuhat dan keraguan baik dalam masalah ushul maupun furu’…”
Demikian pula pada berbagai kitab tafsir yang ditulis oleh imam Ahlus-Sunnah lainnya, seperti Imam Asy-Syaukani [4], Al-Biqa’i [5], Ibnu ‘Adil [6], An-Nasafi [7], An-Naisaburi [8], Ibnu Hazm [9], dll. Di kalangan para imam ahli hadits di antaranya adalah Imam Nawawi [10] dan Imam Ibnu Hajar [11]. Dalam kitab-kitab tersebut disebutkan dan telah disepakati pembagian agama ini ke dalam masalah-masalah ushul &
furu’ sehingga penafian terhadap hal ini adalah sangat aneh dan tidak perlu diperhatikan oleh para aktifis dakwah.
Lebih jauh pembagian ini juga telah disepakati oleh para ulama aqidah dan pemurni tauhid. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menulis dalam kitabnya bahwa Imam Tirmidzi adalah seorang imam dalam masalah ushul & furu’ [12]. Beliau -semoga ALLAH menyayanginya- juga menyebutkan pembagian ini dalam kitabnya yang terkenal Iqtidha’
Shirathal Mustaqim [13]. Hal ini juga disepakati oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, dimana dalam sebuah kitabnya [14] ia menulis bahwa kita diperintah mengikuti sirah Nabi Muhammad ShallaLLAHu ‘alaihi wa Sallam baik dalam masalah ushul maupun furu’. Demikian pula pengarang kitab Syarah ‘Aqidah Thahawiyyah [15] dan pengarang kitab Fathul Majid [16].
Jika kita runut dalam kitab-kitab sejarah (tarikh) yang terkenal, seperti kitab Al-Milal wan-Nihal maka kita dapatkan bahwa dari sejak dulu para ulama mujtahidin telah dikelompokkan dalam 2 kelompok, yaitu ahli ushul dan ahli furu’ [17]. Ahli ushul adalah mereka yang mempelajari masalah-masalah yang bersifat qath’i dalam agama [18], sementara ahli furu’ adalah mereka yang mempelajari masalah-masalah yang bersifat perbedaan pendapat di kalangan ulama (mawaqi’ul-ikhtilaf) yang dapat dicapai melalui dugaan kuat (ghalabatu-zhann) yang memungkinkan semua yang berijtihad bisa benar [19]. Imam Al-Qusyairi Al-Maliki bahkan mengarang kitabnya yang diberi nama: Al-Ushul wal Furu’ pada sebelum abad ke-3 Hijrah [20] (Imam Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa Imam Al-Qusyairi tersebut wafat pada th 365-H [21]).
‘Ala kulli haal, demikianlah bahwa pembagian masalah agama kepada ushul dan furu’, kepada yang qath’iy dan zhanniy semuanya disandarkan kepada kitab-kitab ulama Salafus Shalih, tinggal penunjukannya saja yang terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama, mana yang termasuk masalah ushul dan mana yang furu’, aqidah adalah ushul tapi di dalam hal aqidah juga terdapat furu’, demikian pula ibadah adalah furu’ tapi di dalam masalah ibadah juga terdapat ushul. Pembahasan tentang masalah ini telah pernah saya bahasa panjang lebar dalam kajian ushul-fiqh di millist ini (mailing list Al-Ikhwan, red), bagi yang ingin mendalaminya tafadhal membuka arsip millist ini dalam serial USHUL-FIQH. WaliLLAHil hamdu wal minah..

1 comment:

Anonymous said...

jazakallah, ustadz :)