Pages

Sunday, February 7, 2010

JIHAD (2/2)

BERJIHAD MENGHADAPI SETAN DAN NAFSU

Seperti dikemukakan di muka, sumber segala kejahatan adalah
setan yang sering menggunakan kelemahan nafsu manusia. Setan
adalah nama yang paling populer di antara nama-nama si perayu
kejahatan. Begitu populernya sehingga menyebut namanya saja,
terbayanglah, kejahatan itu. Nama setan dikenal dalam ketiga
agama samawi: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Konon kata setan
berasal dari bahasa ibrani, yang berarti "lawan/musuh."
Tetapi, barangkali juga berasal dari bahasa Arab, syaththa
yang berarti "tepi", dan syatha yang berarti "hancur dan
terbakar", atau syathatha yang berarti "melampaui batas".

Setan, karena jauh dari rahmat Allah, akan hancur dan terbakar
di neraka. Setan selalu di tepi, memilih yang ekstrem dan
melampaui batas. Bukankah seperti sabda Nabi saw., "Khair
al-umur al-wasath" (Sebaik-baik sesuatu itu adalah yang
moderat, yang di tengah). Demikian halnya kedermawanan yang
berada di antara keborosan dan kekikiran, dan keberanian
berada di tengah antara takut dan ceroboh. Konon kata devil di
dalam bahasa Inggris terambil dari kata do yang berati
melakukan dan evil yang berarti kejahatan. Dengan demikian
setan adalah "yang melakukan kejahatan."

Setan terjahat bernama iblis. Sebagian pakar Barat berpendapat
bahwa kata iblis asalnya adalah dari bahasa Yunani Diabolos
yang mengandung arti memasuki dua pihak untuk menghasut dan
memecah belah. Diabolos adalah gabungan Dia yang berarti
ketika, dan Ballein yang berarti melontar. Hingga kemudian
secara majazi berarti demikian. Dari bahasa Arab, iblis diduga
terambil dari akar kata ablasa yang berarti putus harapan,
karena iblis telah putus harapannya masuk ke surga. Demikian
tulis Abbas Al-Aqqad dalam bukunya, iblis.

Yang jelas Allah Swt. tidak menciptakan setan secara sia-sia.
Sejak manusia mengenalnya, sejak itu pula terbuka lebar pintu
kebaikan bagi manusia, karena dengan mengenalnya, dan
mengetahui sifat-sifatnya, manusia dapat membedakan yang baik
dan yang buruk. Bahkan dapat mengenal substansi kebaikan.
Kebaikan bukan sekadar sesuatu yang tidak jelek atau jahat,
bukan pula sekadar lawan kejelekan atau kejahatan. Wujud
kebaikan baru nyata pada saat kejahatan yang ada itu
diabaikan, lalu dipilihlah yang baik. Itu sebabnya manusia
melebihi malaikat, karena kejahatan tidak dimiliki malaikat,
sehingga mereka tidak dapat tergoda. Manusia dapat menjadi
setan pada saat ia enggan memilih yang baik lalu merayu yang
lain untuk memilih kejahatan.

Ketika iblis (setan) dikutuk Tuhan, ia bersumpah di
hadapan-Nya:

Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, maka saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari
jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi
(merayu) mereka dari muka dan dan belakang, dan kanan
dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur (taat) (QS Al-A'raf [7]:
16-17).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa setan akan menghadang dan merayu
manusia dari empat penjuru: depan, belakang, kanan dan kiri,
sehingga tinggal dua penjuru yang aman, yaitu arah atas
lambang kehadiran Allah Swt., dan arah bawah lambang kesadaran
manusia akan kelemahannya di hadapan Allah Swt. Manusia harus
berlindung kepada Allah, sekaligus menyadari kelemahannya
sebagai makhluk, agar dapat selamat dari godaan dan rayuan
setan.

Ulama-ulama menggambarkan godaan setan seperti serangan virus,
yaitu seseorang tidak akan terjangkiti olehnya selama memiliki
kekebalan tubuh. Imunisasi menjadi cara terbaik untuk
memelihara diri dari penyakit jasmani. Kekebalan jiwa
diperoleh saat berada di arah "atas" maupun "bawah". Al-Quran
surat An-Nisa ayat 76 menggarisbawahi bahwa:

Sesungguhnya tipu daya setan lemah.

Ini tentu bagi mereka yang memiliki kekebalan jiwa. Ini
menjadi dasar Al-Quran memerintahkan manusia untuk
berta'awwudz memohon perlindungan-Nya saat terasa ada godaan,
sebagaimana dalam berjihad seorang Muslim dianjurkan banyak
berzikir, antara lain dengan menyebut atau memekikkan kalimat
takbir "Allahu Akbar".

Al-Quran surat terakhir menggambarkan setan sebagai al-waswas
al-khannas. Kata al-waswas pada mulanya berarti suara yang
sangat halus, lantas makna ini berkembang hingga diartikan
bisikan-bisikan hati. Biasanya dipergunakan untuk
bisikan-bisikan negatif, karena itu sebagian ulama tafsir
memahami kata ini sebagai setan. Menurut mereka setan sering
membisikkan rayuan dan jebakannya ke dalam hati seseorang

Kata al-khannas terambil dari kata khanasa yang berarti
kembali, mundur, melempem, dan bersembunyi. Dalam surat
An-Nas, kata tersebut dapat berarti: (a) Setan kembali
menggoda manusia pada saat manusia lengah dan melupakan Allah,
atau (b) Setan mundur dan melempem pada saat manusia berzikir
dan mengingat Allah.

Pendapat kedua ini didukung hadis yang diriwayatkan oleh
Bukhari --walaupun dalam bentuk mu'allaq berasal dari ibnu
Abbas-- yang berkata bahwa Nabi Saw. bersabda,

Sesungguhnya setan itu bercokol di hati putra Adam.
Apabila berzikir, setan itu mundur menjauh, dan bila
ia lengah, setan berbisik.

Ini berarti bahwa setan dapat mundur dan melempem, atau
bersembunyi, jika manusia melakukan zikir kepada Allah.

Di atas telah dikemukakan bahwa setan, baik dari jenis jin dan
manusia selalu berupaya untuk membisikkan rayuan dan ajakan
negatif, yang dalam surat An-Nas disebut yuwaswisu fi
shudurin-nas. Dalam konteks ini, Al-Quran mengingatkan:

Dan jika kamu ditimpa godaan setan, berlindunglah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa, bila mereka ditimpa waswas setan, mereka
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka
melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya. (QS
Al-A'raf [7]: 200-201)

Tidak mudah membedakan antara rayuan setan dan nafsu manusia.
Ulama-ulama, khususnya para sufi, menekankan bahwa pada
hakikatnya manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan bisikan
hati, kecuali bila dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak
tersebut. Al-Tustari seorang sufi agung menyatakan:

Tidak mengetahui bisikan syirik kecuali orang Muslim,
tidak mengetahui bisikan kemunafikan kecuali orang
Mukmin, demikian juga bisikan kebodohan kecuali yang
berpengetahuan, bisikan kelengahan kecuali yang ingat,
bisikan kedurhakaan kecuali yang taat, dan bisikan
dunia kecuali dengan amalan akhirat.

Bisikan-bisikan tersebut dapat ditolak dengan jihad, yang
dilakukan dengan menutup pintu-pintu masuknya, atau dengan
mematahkan semua kekuatan kejahatannya. Banyak pintu masuk
bisikan negatif ke dalam dada manusia, antara lain:

1. Ambisi yang berlebihan dan prasangka buruk terhadap
Tuhan. Ini melahirkan budaya mumpung serta kekikiran.
Pintu masuk tersebut dapat ditutupi dengan keyakinan
terhadap kemurahan Ilahi, serta rasa puas terhadap
hasil usaha maksimal yang halal.

2. Gemerlap duniawi. Pintu ini dapat tertutup dengan
sikap zuhud dan kesadaran ketidakkonsistenan kehidupan
duniawi. Di siang hari Anda dapat melihat seorang
kaya, berkuasa, atau cantik, dan menarik, tetapi pada
sore hari semuanya dapat hilang seketika.

3. Merasa lebih dari orang lain. Setan biasanya
membisikkan kalimat-kalimat yang mengantarkan
mangsanya merasa bahwa yang telah dan sedang
dilakukannya adalah benar dan baik. Pintu masuk ini
dapat dikunci dengan kesadaran bahwa penilaian Tuhan
ditetapkan dengan memperhatikan keadaan seseorang
hingga akhir usianya.

4. Memperkecil dosa atau kebaikan. Sehingga
mengantarkan yang bersangkutan melakukan dosa dengan
alasan dosa kecil, atau enggan berbuat baik dengan
alasan malu karena amat sederhana. Ini mesti ditampik
dengan menyadari terhadap siapa dosa dilakukan, yakni
terhadap Allah. Juga kesadaran bahwa Allah tidak
menilai bentuk perbuatan semata-mata, tetapi pada
dasarnya menilai niat dan sikap pelaku.

5. Riya' (ingin dipuji baik sebelum, pada saat, maupun
sesudah melakukan satu aktivitas). Hal ini dihindari
dengan menyadari bahwa Allah tidak akan menerima
sedikit pun amal yang dicampuri pamrih.

Sufi besar Al-Muhasibi menjelaskan bahwa setan amat pandai
menyesuaikan bisikannya dengan kondisi manusia yang dirayunya.
Orang-orang durhaka digodanya dengan mendorong yang
bersangkutan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan dibisikan
kepadanya bahwa perbuatannya (yang buruk) adalah baik/indah.
Upaya setan itu biasanya langsung mendapat sambutan mangsanya.

Adapun terhadap orang yang taat kepada Allah, bisikar setan
dilakukan dengan cara mendorong agar meninggalkan
amalan-amalan sunah dengan berbagai dalih, misalnya, letih
atau mengganggu konsentrasi saat mengamalkannya, bahkan
menimbulkan pikiran-pikiran yang dapat mengurangi nilai amal
ibadah. Hal-hal tersebut dapat di tampik dengan zikir,
mengingat Allah, melaksanakan tuntunan-tuntunannya, serta
menyadari kelemahan, dan kebutuhan manusia kepada-Nya.

Di sisi lain perlu diingat bahwa kemiskinan, kebodohan, dan
penyakit merupakan senjata~senjata setan sekaligus menjadi
iklim yang mengembangbiakkan virus-virus kejahatan.

Setan menjanjikan (mentakut-takuti) kamu dengan
kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan,
sedangkan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia.
Allah Mahaluas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui (QS
Al-Baqarah [2]: 268).

Penyakit juga merupakan senjata setan. Perhatikan keluhan Nabi
Ayyub a.s.yang diabadikan Al-Quran surat Shad ayat 41 ketika
menderita penyakit menahun.

Dan ingatlah akan hamba Kami, Ayub (a.s.), ketika ia
menyeru Tuhannya, "Sesungguhnya aku diganggu setan
dengan kepayahan dan siksaan (penyakit)."

Kebodohan juga merupakan senjata dan lahan subur bagi setan
untuk memberi janji-janji kepada manusia:

Setan selalu memberi janji-janji kepada mereka, dan
membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal
setan tidak menjanjikan kepada mereka selain tipuan
belaka (QS Al-Nisa' [4]: 120).

Manusia dituntut berjihad melawan segala macam rayuan setan,
menyiapkan iklim dan lokasi yang sehat untuk menghalangi
tersebarnya wabah dan virus yang diakibatkan olehnya.
Selanjutnya yang akan terjangkiti penyakit hati adalah orang
kafir dan munafik. Al-Quran dan Sunnah menjelaskan cara
menghadapi mereka. Intinya dijelaskan oleh sabda Nabi Saw..

Siapa yang melihat kemungkaran hendaklah dicegahnya
dengan tangannya, bila ia tidak mampu maka dengan
lidahnya, dan bila tidak mampu maka dengan hatinya...

Ketiga cara ini termasuk berjihad juga.

BERJIHAD DENGAN SENJATA

Al-Quran menyebutkan bahwa yang pertama dan utama pada saat
melakukan jihad --dengan fisik atau bukan-- adalah kesiapan
mental, yang intinya adalah keimanan dan ketabahan. Al-Quran
surat Al-Anfal ayat 65 mengingatkan:

Hai Nabi, kobarkanlah semangat kaum Mukmin untuk
berperang. Jika ada di antara kamu dua puluh orang
yang sabar, maka mereka dapat mengalahkan dua ratus
orang musuh. Kalau ada di antara kamu seratus orang
(yang sabar), maka mereka dapat mengalahkan seribu
orang kafir, ini karena mereka (orang-orang kafir)
tidak mengerti.

Pada mulanya para sahabat Nabi Saw. memang berat melaksanakan
tuntunan ini, karena itu turun keringanan yang menyatakan,

Sekarang Allah meringankan untukmu. Dia mengetahui
bahwa padamu ada kelemahan, maka jika di antara kamu
ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang, dan jika ada seribu orang
(yang sabar) niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu
orang dengan seizin Allah Dan Allah beserta
orang-orang yang sabar (QS Al-Anfa1 [8]: 66).

Sebelum memberi tuntunan, Al-Quran memerintahkan Rasul sebagai
pemimpin kaum Mukmin agar mempersiapkan kekuatan menghadapi
musuh. Seandainya musuh mengetahui kesiapan kaum Muslim terjun
ke medan jihad, tentu mengurungkan niat agresi mereka. Allah
berfirman dalam surat Al-AnfA1 [8]: 60.

Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka (musuh)
kekuatan yang kamu sanggupi, dan dari kuda-kuda yang
ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu)
kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan
orang-orang selain mereka yang tidak kamu ketahui,
sedangkan Allah mengetahuinya.

Tetapi lanjutan ayat ini menyebutkan sikap Al-Quran terhadap
peperangan, yaitu upaya untuk menghindarinya dan tidak
dilakukan kecuali setelah seluruh cara damai ditempuh:

Dan jika mereka condong kepada perdamaian, condonglah
kepadanya, dan berserah dirilah kepada Allah.
Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. Jika mereka bermaksud untuk menipumu, maka
sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi Pelindungmu). Dia
yang menguatkanmu dengan pertolongan-Nya dan dengan
para Mukmin (QS 8: 61-62).

Memang, peperangan pada hakikatnya tidak dikehendaki oleh
Islam. Seorang yang telah dihiasi iman pasti akan membencinya,
begitu yang dijelaskan Al-Quran:

Diwajibkan kepada kamu berperang, padahal berperang
adalah sesuatu yang kamu benci, (tetapi) boleh jadi
kamu membenci sesuatu tetapi baik untukmu, dan boleh
jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal buruk bagimu.
Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui (QS
2: 216).

Allah Swt. mewajibkan perang dan jihad, karena sebagaimana
firman-Nya:

Seandainya Allah tidak menolak keganasan sebagian
manusia dengan sebagian yang lain (mengizinkan
peperangan), maka pasti rusaklah bumi ini. Tetapi
Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan pada seluruh
alam) (QS Al-Baqarah [2]: 251)

Ayat tersebut turun berkaitan dengan izin peperangan bagi kaum
Muslim, dan izin itu diberikan dengan penjelasan tentang
alasannya:

Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong
mereka. Yaitu orang-orang yang telah diusir dari
kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar,
kecuali karena mereka berkata, "Tuhan kami hanyalah
Allah". Sekiranya Allah tidak menolak keganasan
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, niscaya
akan dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja,
rumah-rumah ibadat orang Yahudi, dan masjid- masjid
yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuat lagi
Mahaperkasa (QS Al-Hajj [22]: 39-40).

Jihad atau peperangan yang diizinkan Al-Quran hanya untuk
menghindari terjadinya penganiayaan sebagaimana bunyi firman-
Nya:

Perangilah di jalan Allah mereka yang memerangi (kamu)
dan jangan melampaui batas, karena sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS 2:
190).

"Melampaui batas" dijelaskan oleh Nabi Saw. dengan contoh
membunuh wanita, anak kecil, dan orang tua. Bahkan oleh A1
Quran salah satu pengertiannya adalah tidak mendadak melakukan
penyerangan, sebelum terjadi keadaan perang dengan pihak lain:
karena itu jika sebelumnya ada perjanjian perdamaian dengan
suatu kelompok, perjanjian itu harus dinyatakan pembatalannya
secara tegas terlebih dahulu.

Al-Quran menegaskan:

Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan
dari satu golongan, kembalikanlah perjanjian
perdamaian kepada mereka secara jujur. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat (QS
Al-Anfal [8]: 58)

Peperangan harus berakhir dengan berakhirnya penganiayaan.
Begitu penegasan Al-Quran:

Perangilah mereka sampai batas berakhirnya
penganiayaan, dan agama itu hanya untuk Allah belaka.
Jika mereka telah berhenti dari penganiayaan, tidak
lagi dibenarkan permusuhan kecuali atas orang-orang
yang zalim (QS Al-Baqarah [2]: 193).

Kaum Muslim yang melampaui batas ketetapan Allah pun dinilai
berbuat zalim, dan atas dasar itu mereka wajar untuk dimusuhi
Allah dan kaum Mukmin (yang lain).

Perlu disadari bahwa izin memerangi kaum kafir bukan karena
kekufuran atau keengganan mereka memeluk Islam, tetapi karena
penganiayaan yang mereka 1akukan terhadap "hak asdsi manusia
untuk memeluk agama yang dipercayainya". Banyak sekali ayat
yang dapat diketengahkan untuk membuktikan hal itu, misalnya
lanjutan ayat Al-Baqarah 191:

Bunuhlah mereka dimana saja kamu jumpai mereka dan
usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu,
fitnah (penganiayaan dan pengacauan) lebih besar
bahayanya daripada pembunuhan, (tetapi) jangan perangi
mereka di Masjid Al-Haram kecuali jika mereka
memerangi kamu di sana. Apabila mereka memerangi kamu,
bunuhlah mereka! Demikian itulah balasan bagi
orang-orang kafir. Kemudian jika mereka berhenti (dari
penganiayaan/permusuhannya), sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyanyang (QS Al-Baqarah [2]:
191-192) .

Dalam ayat lain ditegaskan:

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku
adil (memberi sebagian hartamu) terhadap orang-orang
(non-Muslim) yang tidak memerangi kamu karena agama,
dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
(menjadikan sebagai kawanmu) orang-orang yang
memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dan
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.
Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka
mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Mumtahanah
[60]: 8-9).

Dari ayat-ayat itu --dan ayat-ayat lain seperti dalam surat
An-Nisa' ayat 75-- dipahami bahwa Al-Quran mensyariatkan
peperangan untuk mengusir orang-orang yang menduduki tanah
tumpah darah; gugur dalam medan perjuangan ini dinilai sebagai
syahid. Ulama-ulama menegaskan bahwa jihad membela negara
selama musuh masih berada di luar wilayah negara, hukumnya
fardhu kifayah. Oleh karena itu, bila telah ada sekelompok
masyarakat yang melaksanakan pembelaan, maka kewajiban itu
gugur bagi orang yang tidak melaksanakannya. Tetapi jika musuh
telah memasuki wilayah negara, maka hukumnya adalah fardhu
'ain, yakni wajib bagi setiap individu bangkit berjihad sesuai
dengan batas kemampuan masing-masing.

***

Demikian terlihat bahwa jihad beraneka ragam: memberantas
kebodohan, kemiskinan, dan penyakit adalah jihad yang tidak
kurang pentingnya daripada mengangkat senjata. Ilmuwan
berjihad dengan memanfaatkan ilmunya, karyawan bekerja dengan
karya yang baik, guru dengan pendidikannya yang sempurna,
pemimpin dengan keadilannya, pengusaha dengan kejujurannya,
demikian seterusnya.

Dahulu, ketika kemerdekaan belum diraih, jihad mengakibatkan
terenggutnya jiwa, hilangnya harta benda, dan terurainya
kesedihan dan air mata. Kini jihad harus membuahkan
terpeliharanya jiwa, terwujudnya kemanusiaan yang adil dan
beradab, melebarnya senyum dan terhapusnya air mata, serta
berkembangnya harta benda. Sehingga,

Apakah kamu menduga akan masuk surga, padahal belum
nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antara
kamu dan belum nyata pula orang-orang yang tabah? (QS
Ali 'Imran [3]: 142). []

No comments: