Pages

Thursday, April 8, 2010

Taqiyah Adalah Perisai Perlindungan Bagi Syiah



Oleh Prince of Jihad 
Setiap mazhab atau ajaran apa pun pasti memiliki keyakinan-keyakinan tertentu. Keyakinan itu kebanyakan tertulis dalam kitab atau terkadang hanya ditransfer melalui lisan. Tapi lazimnya sebuah ajaran yang diinginkan untuk berkembang, keyakinan itu ditulis dalam buku. Kita lihat prakteknya agama Islam sendiri memiliki kitab yang memuat ajaran yang harus diyakini oleh seorang muslim yaitu Al Qur’an, yang menagndung perintah untuk bertanya kepada yang tahu ketika tidak mengerti tentang segala sesuatu. Begitu juga Al Qur’an memuat sumpah Allah dengan pena, yang dipahami oleh ummat Islam sebagai perintah untuk menulis dan membaca. Sehingga keterangan dari ulama dituangkan dalam kitab-kitab yang dapat dibaca hingga kini. Mazhab-mazhab fiqih dalam islam pun memiliki kitab-kitab rujukan yang memuat pendapat mazhab itu. “Mazhab syiah” pun demikian pula memiliki kitab-kitab rujukan yang memuat keyakinan-keyakinan syiah, kitab ini berisi ucapan-ucapan ahlulbait, 11 imam yang konon harus diikuti.
Konon lagi, 11 imam itu disebut juga sebagai salah satu dari tsaqalain (dua pusaka) yang harus diikuti oleh orang muslim. Pusaka satu lagi adalah Al Qur’an. Selain ucapan ahlulbait, kitab-kitab itu juga memuat penjelasan-penjelasan ulama syiah, yang juga harus diikuti karena status ulama menjelaskan ayat-ayat Al Qur’an dan ucapan ahlulbait di atas. Tapi belakangan ulama syiah naik pangkat menjadi wakil imam ma’sum (yang juga ma’dum = tidak ada) untuk mengatur kehidupan keberagaamaan para penganut syiah.
Tetapi buku-buku yang memuat ajaran syiah itu hampir seluruhnya susah diakses. Terutama buku-buku yang memuat ucapan-ucapan ahlulbait, sumber legalitas bagi syiah selain Al Qur’an, sehingga kita hanya mengetahui ajaran syiah dari mulut-mulut pengikutnya atau dari buku-buku yang ditulis oleh ulama masa kini dan tidak memuat langsung ucapan ahlulbait. Ini menimbulkan kerancuan, di satu sisi orang akan mengira bahwa itulah sebenarnya mazhab syiah, tetapi ada golongan lain dari umat Islam yang berkesempatan untuk mengakses ke kitab-kitab induk syiah dan mendapati ternyata ucapan dari penganut syiah tentang mazhabnya ternyata tidak sesuai dengan isi kitab-kitab itu. Perlu diketahui bahwa kitab-kitab syiah itu memuat ajaran-ajaran yang tidak pernah didapat dalam Al Qur’an serta sabda Nabi SAW. Di sini umat dibuat bingung, akhirnya diadu domba. Ini karena adanya sebagian umat yang celakanya mereka adalah kaum intelektual tetapi terjangkit penyakit lugu dan polos. Mereka begitu saja percaya dengan ucapan-ucapan penganut syiah yang berpropaganda tentang ajarannya tanpa ingin mengecek ke sumber asli.
Mereka berbenturan dengan orang-orang yang ikhlas ingin mengingatkan umat akan ajaran yang tidak sesuai dengan Al Qur’an dan sabda Nabi SAW. Akhirnya umat pun diadu domba. Lebih berbahaya lagi bahwa mereka adalah kaum intelektual yang didengar suaranya di masyarakat. Kasihan masyarakat yang terbius oleh “angin surga” baik yang dilontarkan oleh penganut syiah maupun dari intelektual yang lugu lagi polos –tapi intelek-.
Tidak ada yang aneh jika kita melihat fenomena “intelek tapi lugu”,  karena sikap lugu mereka tertipu oleh angin surga dari da’i-da’i syiah. Tetapi yang patut dicermati adalah penganut atau ustadz-ustadz syiah, mengapa mereka terkesan menutupi isi riwayat-riwayat dari ahlulbait? Mengapa ucapan mereka berbeda dengan apa yang tercantum dalam buku-buku riwayat-riwayat ahlulbait? Apakah mereka sengaja ingin menyembunyikan riwayat ahlulbait atau mengapa? Ini yang barangkali terlintas pada benak kita. Ataukah riwayat itu hanya diperuntukkan bagi kalangan khusus yang sudah dianggap layak untuk mengaksesnya? Apa pun jawabannya, kitab-kitab syiah sudah bukan barang langka lagi, mereka yang benar-benar ingin pasti akan dapat menemukan dan mengaksesnya, meskipun para ustadz syiah mencoba sekuat tenaga untuk menyembunyikan.
Sebagai misal, anda tidak akan mendengar penganut atau ustadz syiah menukil riwayat di bawah ini:
Dari Abu Abdillah –Ja’far Ash Shadiq- mengatakan: Ambillah harta orang nashibi di mana saja kamu dapatkan, lalu bayar seperlimanya pada kami.
Riwayat ini terdapat dalam kitab Tahdzibul Ahkam jilid 4 hal 122, Al Wafi jilid6 hal 43, begitu juga dinukil oleh Al Bahrani dalam Al Mahasin An Nifsaniyah, Al Bahrani mengatakan riwayat ini diriwayatkan dari banyak jalur.
Siapakah yang disebut dengan nashibi? Nashibi adalah orang yang memusuhi ahlulbait. Tetapi syiah memiliki terminologi yang berbeda atas kata memusuhi ahlulbait. yang dimaksud memusuhi ahlulbait bukanlah memusuhi alias lawan kata cinta, seperti orang yang memusuhi Ali atau membenci Fatimah, anda tidak akan menemui sikap demikian kecuali pada sebagian orang khawarij yang memang sesat. Tetapi nashibi di sini bermakna mereka yang mendahulukan selain Ali dalam khilafah, alias mereka yang berkeyakinan bahwa Ali bukanlah yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Nabi. Kita lihat Al Bahrani di atas –nama lengkapnya Husain bin Muhammad Al Ashfur Ad Darazi Al Bahrani- dalam kitab yang sama pada hal 157 memberikan definisi bagi kata nashibi:
Ini karena kamu telah tahu bahwa nashibi adalah mereka yang mendahulukan selain Ali…
Maka kata nashibi meliputi seluruh penganut ahlussunnah wal jamaah yang meyakini fakta dan kenyataan yang ada bahwa khalifah setelah Nabi adalah Abu Bakar. Riwayat di atas adalah ajakan untuk merampok, mencuri, mencopet dan merampas harta ahlussunnah. Ini jelas dari riwayat di atas yang menjelaskan ambillah harta nashibi –sunni-  di mana saja, di jalan, di rumahnya, di kantor, pokoknya di mana saja terdapat harta itu. Barangkali situasi di Indonesia belum kondusif untuk melaksanakan riwayat itu, tetapi riwayat di atas dipraktekkan di Irak hari ini, di mana milisi syiah melakukan perbuatan seperti yang dilakukan oleh pasukan ortodok Serbia kepada muslimin Bosnia.
Anda tidak akan mendengar riwayat ini dari ustadz syiah. Mengapa demikian? Ternyata ajaran syiah terdapat sebuah ajaran yang membolehkan bagi penganut syiah untuk menyembunyikan keyakinannya di depan non syiah, keyakinan itu disebut dengna taqiyyah. Lagi-lagi menurut keterangan ulama syiah sendiri bahwa taqiyah hukumnya wajib hingga imam ke 12 bangkit dari “tidur panjangnya”. Ibnu Babawaih Al Qummi yang dijuluki Ash Shaduq –yang selalu berkata benar- mengatakan:
Keyakinan kami bahwa taqiyah adalah wajib, meninggalkan taqiyah sama seperti meninggalkan shalat, tidak boleh ditinggalkan hingga keluarnya Imam Mahdi siapa yang meninggalkan taqiyah sebelum keluarnya Imam Mahdi maka telah keluar dari agama Allah (Islam), keluar dari agama Imamiyah dan menyelisihi Allah, Rasul dan para imam. Bisa dilihat dalam kitab Al I’tiqadat hal 114. Pada cetakan Darul Mufid tex di atas ada pada hal 108.
Ucapan ini tentunya tidak berasal dari omong kosong maupun pendapat sendiri, karena dalam ucapan di atas kita lihat ada kata: Keyakinan kami, berarti adalah keyakinan mazhab syiah menurut As Shaduq. Juga ini bukan satu-satunya ucapan ulama syiah tentang wajibnya taqiyah. Ucapan di atas berdasar pada riwayat Ja’far Ash Shadiq yang bersabda:
Jika kamu katakan bahwa orang yang meninggalkan taqiyah sama dengan orang yang meninggalkan shalat maka kamu telah berkata benar.
Bisa dilihat di kitab Biharul Anwar jilid 50 hal 181, jilid 75 hal 414, hal 421, As Sarair hal 476 Kasyful ghummah jilid 3 hal 252, Man Laa Yahdhuruhul Faqih jilid 2 hal 127 dan beberapa sumber lain.
Juga terdapat riwayat yang mengatakan: Orang yang meninggalkan taqiyah adalah kafir. Bisa dilihat di kitab Biharul Anwar 87 347 Fiqhur Ridha 338.
Dari sini saja kita sudah bisa mengetahui bahwa tidak ada orang syiah yang tidak bertaqiyah, tetapi sepandai-pandai tupai melompat pasti jatuh juga, sepandai-pandai syiah bertaqiyah akhirnya terbongkar juga –bagi mereka yang tidak lugu-. Perkataan As Shaduq di atas memberi jawaban bagi kebingungan kita tentang mengapa ucapan ustadz syiah berbeda dengan isi kitab mereka sendiri. Di samping itu kita jadi tahu dan akhirnya berhati-hati dalam mendengar ucapan penganut syiah, karena apa yang diucapkan di mulutnya tidak sesuai dengan keyakinan hatinya. Ini dilakukan agar keyakinan yang sebenarnya diyakini tidak diketahui orang, akhirnya dia selamat dan tidak dijauhi teman-temannya. Karena kaum muslimin masih memiliki tingkat resistensi yang tinggi pada mereka yang beraliran sesat, sehingga orang yang beraliran sesat bisa dijauhi dan dimusuhi. Jika saja penganut syiah menampakkan keyakinan aslinya pasti dia dimusuhi dan dijauhi. Kondisi demikian kurang menguntungkan karena gerak penganut syiah untuk menyebarkan ajarannya menjadi sempit karena dia ditolak di mana-mana.
Praktek menyembunyikan keyakinan agar tidak dibenci orang ini mirip dengan yang disebutkan dalam surat An Nisa’ 41:
Hai Rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan nulut mereka:“Kami telah beriman”, padahal hati mereka belum beriman;
Juga dalam surat A Fath ayat 11:
“; mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya.
Juga dalam surat Ali Imran ayat 167:
Mereka mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya
Repotnya, kita tidak memiliki indikator yang membuat kita tahu apakah penganut syiah yang sedang berbicara dengan kita sedang bertaqiyah atau tidak. Kita mengusulkan pada mereka yang berkompeten untuk menciptakan penemuan baru berupa indikator taqiyah, yang mungkin berupa lampu yang menyala bila seorang syiah sedang bertaqiyah. Jika tidak bisa lampu maka apa saja, seperti kerlingan mata atau tanda di kepala atau apa saja, yang penting orang lain di sekitarnya bisa tahu apakah dia sedang bertaqiyah atau tidak. Penemuan ini begitu mendesak supaya kaum muslimin tidak tertaqiyahi –baca: Tertipu- oleh penganut syiah yang menyembunyikan keyakinannya ketika tidak dalam keadaan bahaya. Lalu apakah para imam juga bertaqiyah? Sudah semestinya demikian, karena bagaimana sang imam menyuruh orang untuk bertaqiyah tapi diri mereka sendiri tidak bertaqiyah.
Di sini terdetik pertanyaan besar, yaitu bagaimana kita tahu para imam sedang bertaqiyah atau tidak? Jika kita membaca sebuah riwayat dari salah seorang imam, maka kita tidak tahu apakah sang imam mengucapkan sabdanya dalam keadaan taqiyah atau tidak hal ini penting untuk diketahui karena seperti di atas, taqiyah adalah menyembunyikan keyakinan sebenarnya dalam hati dan mengucapkan hal yang berbeda dengan apa yang diyakininya dalam hati.
Maka penganut syiah tidak tahu apakah riwayat yang ada adalah benar-benar ajaran imam yang sebenarnya atau hanya taqiyah? Ini adalah masalah yang harus diselesaikan oleh syiah. Jika ada syiah yang berani menyanggah dengan mengatakan bahwa penerapan taqiyah dimulai dari era ghaibah –hilangnya imam- sughra maupun kubra, maka dengan mudah kita jawab: Jika memang demikian maka perintah taqiyah akan muncul tepat sebelum masa ghaibah, yaitu pada era imam Hasan Al Askari, bukannya muncul dari Imam Ja’far As Shadiq yang hidup jauh sebelum era ghaibah. Maka tidak ada yang menjamin bahwa sabda imam adalah benar-benar ajaran Allah, karena imam juga melakukan taqiyah. Di sini syiah terjebak dalam taqiyah, di mana dia tidak bisa membedakan ajaran imam yang sebenarnya dan ajaran imam yang disampaikan saat bertaqiyah, yang sudah tentu berbeda dengan ajaran imam yang sebenarnya.
Dari mana kita mengetahui ajaran imam yang sebenarnya dan ajaran imam yang bertaqiyah? Tidak ada yang bisa memberikan jawaban pasti. Jadi ajaran syiah tidak diketahui mana yang benar-benar ajaran syiah ‘yang dari Allah’ dan mana yang taqiyah. Mestinya penganut syiah hari ini berhati-hati, jangan-jangan ajaran yang mereka anut saat ini bukanlah ajaran syiah sebenarnya, tetapi adalah ajaran dari para imam yang sedang bertaqiyah?!
Mari kita simak ucapan Al Bahrani dalam kitab Al Hadaiq An Nadhirah jilid 1 hal 89:
Banyak riwayat-riwayat syiah yang diucapkan ketika sedang bertaqiyah yang tidak sesuai dengan hukum sebenarnya.
Ini pengakuan yang berbahaya, yaitu banyak riwayat syiah yang memuat keterangan kebalikan dari keterangan sebenarnya. Pengakuan ini juga masih bisa kita ragukan, yaitu dari mana diketahui bahwa imam sedang bertaqiyah? Juga ini adalah riwayat yang diketahui bahwa imam mengucapkannya dalam keadaan bertaqiyah, lalu bagaimana dengan riwayat lain? Lagipula bagaimana imam bisa ketahuan sedang bertaqiyah? Apakah taqiyah imam bisa diketahui? Dan lain-lain pertanyaan yang susah didapat jawabannya.

No comments: