Pages

Thursday, January 21, 2010

KISAH NABI MUSA AS DAN NABI HARUN AS (2-3)

Adapun faidah yang dapat diambil dari kisah Nabi Musa AS adalah:

Kasih sayang Allah kepada ibunya Nabi Musa AS dengan memberinya ilham untuk menyelamatkan putranya (dari pembunuhan). Kemudian Allah memberinya kebahagiaan dengan mengembalikan putranya ke pangkuannya dengan menyusuinya, menerima upah menyusui serta disebut sebagai ibunya menurut syara’ dan pandangan manusia, sehingga hal itu menentramkan hatinya serta menambah keimanannya. Dalam kejadian tersebut terdapat pengakuan terhadap kebenaran firman Allah Ta’ala, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (Al-Baqarah: 216). Yakni Allah SWT tidak membenci ibunya Nabi Musa AS dengan menjatuhkan puteranya (Nabi Musa AS) ke tangan keluarga Fir’aun; dan di balik kejadian itu, maka tampaklah akibat dan pengaruhnya yang baik.

Faidah lainnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah dan pelajaran yang terdapat dalam peristiwa yang menimpa umat-umat terdahulu mendatangkan faidah dan menjadi pelita bagi kaum mukminin, dan Allah menceritakan kisah-kisah umat-umat terdahulu sebagai pelajaran bagi kaum mukminin, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman, “Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman.” (Al-Qashash: 3).

Faidah lainnya, bahwa jika Allah menghendaki sesuatu, niscaya Ia akan menyiapkan sebab-sebabnya dan memberikannya sedikit demi sedikit secara berangsur-angsur dan tidak akan memberikannya sekaligus.

Faidah lainnya, bahwa umat yang lemah meskipun tingkat kelemahannya mencapai puncaknya tidak semestinya memelihara kelemahannya; sehingga malas berusaha dalam memenuhi hak-haknya serta tidak berputus asa untuk meraih kedudukan yang lebih tinggi khususnya jika mereka menjadi orang-orang yang teraniaya, sebagaimana Allah telah membebaskan Bani Israil dari kelemahannya serta penghambaannya terhadap Fir’aun dan para pembantunya dari kalangan mereka dan Allah mengokohkan mereka di bumi dan menguasakan mereka atas negeri mereka.

Faidah lainnya, bahwa suatu umat selama berada dalam posisi tertindas dan terjajah niscaya tidak dapat menuntut haknya, sehingga tidak menunaikan urusan agamanya dan tidak pula urusan dunianya.

Faidah lainnya, bahwa perasaan takut yang alami adalah akhlak yang tidak akan menafikan dan menghilangkan keimanan seperti yang terjadi pada ibunya Nabi Musa AS karena merasa takut dengan kejadian yang menimpa putranya.

Faidah lainnya, bahwa keimanan itu terkadang bertambah dan terkadang berkurang, berdasarkan firman Allah, “Supaya ia termasuk orang-orang yang percaya (kepada janji Allah).” (Al-Qashash: 10). Yang dimaksud dengan iman (percaya) dalam ayat ini adalah bertambah keimanannya dan ketentramannya.

Faidah lainnya, bahwa di antara ni’mat Allah SWT yang besar kepada hamba-Nya adalah dengan memberinya keteguhan hati di saat menghadapi sesuatu yang menggelisahkan dan menakutkan. Ketika keimanan dan pahalanya bertambah, maka kondisinya itu memungkinkannya melahirkan perkataan dan perbuatan yang benar dan meneguhkan pendirian dan pikirannya. Sedang orang yang tidak berhasil mendapatkan keteguhan tersebut, niscaya kegelisahan serta ketakutannya akan menyempitkan pikirannya dan menumpulkan akalnya, sehingga dalam kondisi demikian ia akan menganggap dirinya tidak bermanfaat.

Faidah lainnya, bahwa seseorang walaupun mengetahui bahwa qadha dan qadar itu adalah sesuatu yang hak dan janji Allah kepadanya pasti benar, tetapi ia tidak boleh mengabaikan sebab-sebab yang bermanfaat (dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapinya), karena sebab-sebab dan usaha di dalamnya adalah bagian dari qadar (taqdir) Allah. Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepada ibunya Nabi Musa AS; bahwa Ia akan mengembalikan putranya kepadanya. Meskipun demikian ketika keluarga Fir’aun menemukan putranya, maka ibunya Nabi Musa AS tetap mengusahakan sebab-sebab yang dapat menyelamatkan puteranya dengan mengutus saudara perempuannya untuk mengikuti atau mengawasinya serta mengerjakan sebab-sebab yang sesuai dengan kondisi yang dihadapinya saat itu.

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan bagi kaum wanita pergi ke luar rumah untuk memenuhi sejumlah keperluannya dan berbicara kepada kaum laki-laki jika tidak ada sesuatu yang dikhawatirkan, sebagaimana yang dilakukan oleh saudara perempuan Nabi Musa AS dan kedua puteri ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS).

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan menerima bayaran (upah) mengasuh serta menyusui, sebagaimana yang dilakukan oleh ibunya Nabi Musa AS, karena syari’at umat sebelum kita adalah syari’at bagi kita selama dalam syari’at kita tidak ada ketentuan hukum yang merubahnya.

Faidah lainnya, bahwa membunuh orang kafir yang telah mengadakan perjanjian baik melalui akad atau tradisi tidak dibolehkan, karena Nabi Musa AS juga merasa menyesal atas pembunuhan yang dilakukannya terhadap orang Qibthi dan ia memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya dari perbuatan tersebut.

Faidah lainnya, bahwa orang yang membunuh jiwa-jiwa tanpa alasan yang dibenarkan termasuk orang yang lalim yang selalu membuat kerusakan di muka bumi, meskipun tujuannya ialah menghindari ancaman dan meskipun ia menduga bahwa pembunuhan itu mendatangkan kemaslahatan sehingga ada alasan syara’ yang membolehkan pembunuhan jiwa tersebut.

Faidah lainnya, bahwa memberitahu orang lain mengenai peristiwa yang akan menimpanya atau pembicaraan menyangkut dirinya dengan tujuan sebagai peringatan baginya mengenai keburukkan yang akan menimpanya tidaklah termasuk namimah (mengadu domba), bahkan terkadang hal itu termasuk sesuatu yang wajib, sebagaimana Allah ‘Azza Wa Jalla menceritakan berita yang disampaikan seorang laki-laki yang datang dari pinggir kota yang berusaha memberi peringatan kepada Nabi Musa AS dengan tujuan berterima kasih kepadanya.

Faidah lainnya, bahwa jika seseorang merasa khawatir dengan pembunuhan yang akan menimpanya tanpa sesuatu alasan yang dibenarkan (agama) sehubungan dengan keberadaannya di suatu tempat, hendaklah ia tidak menjatuhkan dirinya dalam kerusakan dan menyerah pada kerusakan, melainkan ia harus pergi dari tempat itu jika mampu; seperti yang dilakukan oleh Nabi Musa AS.

Faidah lainnya, bahwa jika seseorang dengan terpaksa harus melakukan salah satu dari dua kerusakan, hendaklah ia menentukan kerusakan yang lebih ringan resikonya dengan menolak kerusakan yang lebih besar serta lebih mengerikan. Karena ketika Nabi Musa AS harus menetapkan suatu tindakan antara ia tetap tinggal di Mesir dengan resiko akan dibunuh atau ia pergi ke negeri lain yang jauh yang tidak diketahui jalan menuju ke negeri tersebut, dimana tidak ada petunjuk yang menunjukinya selain petunjuk Rabbnya. Perlu diketahui, bahwa tindakan itu diambil karena mengharapkan keselamatan, bukan karena Nabi Musa AS ingin melengkapi kesalahannya.

Faidah lainnya, bahwa di dalam kisah tersebut terdapat peringatan secara tersirat; bahwa seseorang yang mengkaji suatu ilmu; ketika membutuhkan pengamalan atau pembicaraan mengenai ilmu tersebut, sedang menurut pandangannya tidak ada salah satu pendapat pun yang lebih shahih di antara dua pendapat yang ada maka hendaklah ia memohon petunjuk kepada Rabbnya dan memohon kepada-Nya supaya menunjukinya ke arah pendapat yang benar setelah ia menghendaki kebenaran dengan hatinya dan mengkajinya dengan seksama, karena sesungguhnya Allah tidak akan mengecewakan permohonannya dan tidak akan menggagalkan usahanya, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa AS ketika bermaksud pergi ke negeri Madyan, dimana ia tidak mengetahui jalan menuju ke negeri tersebut, seraya berkata, “Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.” (Al-Qashash: 22). Kemudian Allah menunjukinya serta memberinya apa yang menjadi harapannya.

Faidah lainnya, bahwa seseorang yang memberikan kasih sayang serta melakukan kebaikan terhadap mahluk baik yang dikenalnya atau yang tidak dikenalnya termasuk akhlak para nabi, dan dari sekian banyak kebaikan itu ialah memberikan pertolongan berupa memberi minum binatang ternak; terutama menolong orang yang lemah, sebagaimana yang dilakukan Nabi Musa AS terhadap kedua puteri ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS) ketika menolong keduanya mengambilkan air minum di saat ia melihat keduanya tidak mampu memberi minum binatang ternak keduanya sebelum para pengembala yang lainnya memulangkan binatang ternak mereka.

Faidah lainnya, bahwa sebagaimana Allah SWT mencintai seseorang yang memohon dengan bertawasul kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya dan ni’mat-ni’mat-Nya baik secara umum maupun secara khusus, maka Allah juga mencintai seseorang yang memohon dengan bertawasul kepada-Nya dengan menuturkan kelemahan, ketidakmampuan, kefakiran serta ketidaksanggupannya mencapai sesuatu yang bermanfaat baginya dan menolak kemadharatan dari dirinya, sebagaimana yang dikatakan Nabi Musa AS, “Ya Rabbku sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.” (Al-Qashash: 24). Karena permohonan yang seperti itu memperlihatkan ketawadhuan, ketentraman serta kebutuhan terhadap Allah yang menjadi tujuan setiap hamba.

Faidah lainnya, bahwa kehidupan dan balasan yang baik selalu menjadi jalan umat-umat yang shalih.

Faidah lainnya, bahwa jika seseorang mengerjakan suatu amal kebaikan dengan ikhlas karena Allah Ta’ala, kemudian ia memperoleh balasan karenanya; tanpa ia maksudkan amalnya itu untuk mendapatkan balasan tersebut, maka ia tidak boleh mencelanya dan balasan itu tidak akan mengurangi keikhlasan dan pahala amalnya, sebagaimana halnya Nabi Musa AS juga menerima balasan dari ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS) atas kebaikannya yang tidak dimintanya dan tidak memintanya agar memberikan upah yang lebih tinggi.

Faidah lainnya, bahwa dibolehkan memberikan upah atas setiap amal yang telah diketahui manfaatnya yang dikerjakan dalam waktu tertentu menurut adat kebiasaan, dan dibolehkan memberikan upah dengan nikah, seperti yang dikatakan oleh ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.” (Al-Qashash: 27)

Dibolehkan bagi seseorang meminang seorang laki-laki untuk puterinya dan sebaliknya asalkan ia termasuk walinya dan hal itu tidak mengurangi keabsahan pinangan, bahkan hal itu terkadang mendatangkan manfaat dan kesempurnaan seperti yang dilakukan ahli Madyan (Nabi Syu’aib AS) terhadap Nabi Musa AS.

Faidah lainnya, bahwa firman Allah SWT, “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, “Perkataan salah seorang puteri Nabi Syu’aib AS, “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qashash: 26) Dengan kedua sifat tersebut niscaya seluruh pekerjaan akan selesai dengan sempurna. Seluruh pekerjaan baik yang berhubungan dengan pemerintahan, pelayanan, industri serta pekerjaan-pekerjaan lainnya yang memerlukan penjagaan serta pengawasan terhadap para pekerja dan pekerjaan mereka. Jika dalam diri seseorang berkumpul dua sifat, yaitu kuat dalam melaksanakan pekerjaan itu sesuai dengan kemestiannya serta dapat dipercaya dalam melaksanakannya niscaya pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan sempurna, kemudian tujuannya atau hasilnya niscaya sesuai dengan yang diharapankan. Sedangkan penyebab suatu kegagalan dan kekurangan dalam menyelesaikan perkerjaan dan dalam mencapai hasil yang diharapkan karena adanya kekurangan pada kedua sifat tersebut atau pada salah satunya.

Faidah lainnya, bahwa di antara akhlak yang agung dan terpuji adalah berlaku baik terhadap mahluk, di samping berlaku baik terhadap semua orang yang memiliki hubungan dengan dirimu, seperti: pembantu, tetangga, istri, anak, pekerja dan yang lainnya. Juga termasuk akhlak yang agung dan terpuji adalah meringankan pekerjaan dari pekerja. Hal tersebut didasarkan pada firman Allah Ta’ala, “… maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (Al-Qashash: 27).

Dalam ayat tersebut terkandung faidah, bahwa tidaklah menjadi masalah bagi seorang pekerja menginginkan bayaran dan upah dengan memperlihatkan dirinya sebagai pekerja yang baik dalam melaksanakan pekerjaannya dengan syarat ia jujur dalam melaksanakannya.

Faidah lainnya, bahwa diperbolehkan melangsungkan akad yang berkaitan dengan masalah upah serta yang lainnya tanpa dihadiri saksi, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan Allah adalah saksi atas apa yang kita ucapkan.” (Al-Qashash: 28). Hanya saja adanya saksi dapat memelihara hak dan mengurangi perselisihan, karena pihak-pihak yang terlibat dalam suatu akad memiliki kedudukan dan hak yang berbeda.

Faidah lainnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah yang nyata; yang dijadikan Allah sebagai penguat atas kebenaran yang dibawa Nabi Musa AS adalah: merubah tongkatnya seperti telah diketahui menjadi “seekor ular yang merayap dengan cepat.” (Thaha: 20). Kemudian Allah mengembalikannya kepada keadaan semula. Allah juga menjadikan tangan Nabi Musa AS ketika dimasukan ke sakunya, maka tangannya itu berubah menjadi putih bersih tanpa ada cacat sedikitpun di hadapan orang-orang yang melihatnya. Juga di antara rahmat Allah dan perlindungan-Nya terhadap Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS, bahwa keduanya diselamatkan dari kejahatan Fir’aun dan para penguasanya. Juga Allah telah membelah lautan ketika Nabi Musa AS memukulnya dengan tongkatnya hingga membentuk dua belas buah jalan, sehingga Nabi Musa AS beserta para pengikutnya dapat menyembaranginya dengan selamat, sedang Fir’aun serta para pengikutnya mengalami kebinasaan. Masih banyak tanda kekuasaan Allah yang lainnya sebagai bukti dan tanda kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang berkenan melihat atau menyaksikannya dan sebagai bukti bagi orang-orang yang mau mendengarkan firman-Nya, dimana sumber-sumber keyakinan yang agung yaitu kitab-kitab suci samawi telah menuturkan dan menjelaskannya serta seluruh generasi di sepanjang masa telah menceritakannya, dan tidaklah ada yang mengingkari tanda-tanda kekuasaan Allah kecuali orang bodoh yang sombong dan kufur. Semua tanda-tanda kekuasaan Allah yang diperlihatkan para nabi dimaksudkan untuk menguatkan kebenaran risalah yang dibawa oleh mereka.

Faidah lainnya, bahwa tanda-tanda kekuasaan Allah yang menunjukkan kebenaran risalah para nabi (mu’jizat), karamah para wali, kejadian-kejadian yang diperlihatkan oleh Allah di luar jangkauan akal seperti: perubahan sebab-sebab, atau terhalangnya sebab-sebab, atau kebutuhan kepada sebab-sebab yang lain, atau adanya sejumlah penghalang yang menghalangi terlaksananya sebab-sebab tersebut, semuanya itu merupakan bukti nyata yang menunjukkan keesaan Allah dan sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan tidak ada satu pun peristiwa yang agung serta tidak juga yang hina yang keluar dari jangkauan kekuasaan Allah. Semua mu’jizat, karamah dan perubahan yang terjadi tidak menafikan sesuatu yang telah diciptakan Allah di alam ini seperti sebab-sebab yang dapat diindera serta aturan-aturan yang telah diketahui, dan kamu sekali-kali tidak akan menemukan perubahan serta pergantian pada sunnah (ketentuan hukum) Allah.

sumber: www.alsofwah.or.id
Diposkan oleh abu dihyah al-haazim di 16:54:00 0 komentar

No comments:

Post a Comment