Pages

Sunday, May 8, 2011

7 Kali tunai haji tanpa melihat Kaabah


http://peribadirasulullah.files.wordpress.com/2011/05/pusaran_energi_kaabah-320x480.jpg?w=200
Gambar hanya hiasan sahaja.
Tujuh kali naik Haji tidak bisa melihat Ka’bah “Kubur adalah rumah akhirat pertama, Bila selamat dikubur, maka yang setelahnya menjadi lebih mudah, bila tidak selamat di kubur, maka yang setelahnya lebih sulit.” (HR. Tirmidzi dan Ibn Majah).
Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya, Hasan bukan nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu,tentu senang dengan ajakan anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu mereka memang berkewajiban menunaikan ibadah Haji.
Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu anak-anak ini akhirnya berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang satu apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas menyeru panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam.
“Labaik allahuma labaik,aku datang memenuhi seruanMu ya Allah”.
Hasan menggandeng ibunya dan erbisik, “Ummi undzur ila Ka’bah(Bu,lihatl! ah Ka’bah).” Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam itu. Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi,ia terdiam. Perempuan itu sama sekali tidak melihat apa  yang ditunjukkan oleh anaknya. Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah ibunya. Di wajah ibunya tampak kebingungan.
Ibunya sendiri tak mengerti mengapa ia tak bisa melihat apapun selain kegelapan. beberapakali ia mengusap-usap matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan. Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya.
Beberapa menit yang lalu ia masih melihat segalanya dengan jelas,tapi mengapa memasuki Masjidil Haram segalanya menjadi gelap gulita.
Tujuh kali Haji Anak yang sholeh itu bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitulah, mengharap rahmatNYA. Terasa hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.
Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya, dengan menatap Ka’bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan kembali membawa ibunya
berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya. Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali dibutakan di dekat Ka’bah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan symbol persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa  melihat Ka’bah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun berikutnya. Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka’bah.
Setiap berada di Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap. Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah. hingga kejadian itu berulang sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.
Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya menjadi buta di depan Ka’bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka’bah, penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT ? Apa  yang telah diperbuat ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala pertanya! an berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya  diputuskannya untuk mencari seorang alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.
Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa kesulitan berarti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud. Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang saleh ini. Ulama itu mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu dari  hasan mau menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang. Setibanya di tanah kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi  ulama di Abu Dhabi tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun mau menelpon ulama itu, dan  menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya di tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya dimasa lalu, sehingga ia tidak mendapat rahmat Allah.
Sarah diminta untuk bersikap terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang telah dilakukannya.
“Anda harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan masalah sepele,” kata ulama itu pada Sarah. Sarah ! terdiam sejenak.Kemudian ia meminta waktu untuk memikirkannya. Tujuh hari berlalu,  akan tetapi ulama itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah percakapan pertama mereka, akhirnya Sarah  menelpon.
“Ustad, waktu masih muda, saya bekerja sebaga! i perawat di rumah sakit,” cerita Sarah akhirnya. “Oh, bagus…..Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia,” potong ulama itu.
“Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara,tidak peduli, apakah cara saya itu halal atau haram,” ungkapnya terus terang.
Ulama itu terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.
“Disana….” sambung Sarah, “Saya sering kali menukar bayi, karena tidak semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan, dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu  sesuai dengan keinginan mereka.”
Ulama tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah.”Astagfirullah……” betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu yang diberi amanah Allah untuk melahirkan anak.  bayangkan, betapa banyak keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya. Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam  Islam menjaga nasab atau keturunan sangat penting.
Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal, nasab ini sangat menentukan dalam perkawinan,terutama dalam masalah mahram atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.
“Cuma itu yang saya lakukan,” ucap Sarah. “Cuma itu ?” tanya ulama terperangah. “Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar biasa, betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan!”. ucap ulama dengan nada tinggi. “Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?” tanya  ulama itu lagi sedikit kesal. “Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati.”
“Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia,” kata ulama “Ya, tapi saya memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir.”
“Maksudnya ?”. tanya ulama tidak engerti. “Setiap saya bermaksud menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan tetapi saya tidak menguburnya didalam tanah, melainkan saya masukkan benda-benda itu ke dalam mulut orang yang mati .”
“Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa,saya memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti terpental, tidak mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya
berulang-ulang. Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan.”
Mendengar penuturan Sarah yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah. “Cuma itu yang kamu laku! kan ?”. “Masya Allah….!!!
Saya tidak bisa bantu anda.Saya angkat tangan”. Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan Sarah. Tidak pernah terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia,apalagi ia adalah wanita, yang memiliki nurani begitu tega, begitu keji.Tidak pernah terjadi  dalam hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu. Akhirnya ulama itu berkata, “Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya  Dialah yang bisa mengampuni dosa Anda.”
Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian ulama tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu dengan menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Sarah telah bertobat atas segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni dosa Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya.Karena tak juga memperoleh
kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan yang menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar
Sarah, ternyata kabar duka yang diterima ulama itu. “Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad,” ujar Hasan Ulama itu terkejut mendengar kabar tersebut.”Bagaimana ibumu meninggal, Hasan ?”. tanya ulama itu. Hasanpun akhirnya bercerita : Setelah menelpon sang ulama, dua hari kemudian ibunya  jatuh sakit dan meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah. Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin Alla! h, tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali  mencari lokasi lain untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah digali kembali menyempit dan tertutup  rapat.
Peristiwa itu berlangsung begitu cepat,sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu
merasa ngeri dan merasakan sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah berkaitan dengan perbuatan si mayat.
Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun berlalu,petang menjelang,bahkan sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali.
Mereka akhirnya pasrah, dan beranjak pulang.Jenazah itu dibiarkan saja
tergeletak di hamparan tanah kering kerontang. Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak tega meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun dibawa pulang, rasanya tidak mungkin.Hasan termenung di tanah perkuburan seorang diri.
Dengan izin Allah,tiba-tiba berdiri seorang laki-laki yang berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki itu tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup ! kepalanya yang menjorok ke depan.
Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya,” Biar aku tangani jenazah ibumu, pulanglah !”. kata orang itu.
Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu akan menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk kemudian mengebumikan ibunya. “Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang, sampai tiba di rumahmu, “pesan lelaki itu.
Hasan mengangguk, kemudian ia meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman,terbersit keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan,melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti seluruh tubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari arah yang berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan  ketakutan.Dengan langkah seribu, ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.
Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku,bahwa separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang diungkapkan Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan sege! ra beribadah dengan khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada Hasan, apa yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.
Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang soleh itu memohon ampun dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan ijin Allah akan hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali mengabari ulama itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa, semakin hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap,apapun perbuatan dosa yg telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.
Semoga kisah nyata ini boleh menjadi pelajaran bagi kita semua…
Amien
Sumber: Emel fwd.
sumber:peribadirasulullah

No comments:

Post a Comment