Pages

Sunday, July 29, 2012

Kristenisasi di Dunia Islam Hasil Konspirasi Misionaris dan Imperialis


Oleh M. Ramdhan Adhi


Motif Kristenisasi

Kristenisasi memiliki setidaknya dua motif. Pertama, motif agama. Dalam Kitab Perjanjian Baru, Markus: 28: 18-19, disebutkan: Kepadaku telah diberikan segala kuasa di surga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus.
Ayat ini menjadi acuan bagi kaum Kristiani mengenai keharusan menyebarkan agama Kristen ke seluruh dunia. Yang menjadi sasaran dalam motif ini ialah setiap penduduk bumi yang non-Kristen. Artinya, motif ini menghendaki agar seluruh warga bumi dikristenkan.
Kedua, motif ideologis. Dalam hal ini kristenisasi menjadikan Islam dan umatnya sebagai sasaran utama. Menurut Kardinal Lavie Garry, “Tanpa diragukan lagi, agama yang paling kuat dan tidak bisa ditaklukkan adalah agama Islam. Oleh karena itu, para misionaris berharap agar seluruh kaum Muslim menjadi Kristen.”
Kekalahan dalam Perang Salib membuat Kristen menaruh dendam kesumat terhadap Islam. Perang Salib juga menjadi inspirasi bagi lahirnya ‘Perang Salib Baru’. Lutfi Liqunian, seorang penulis Kristen, menulis, “Dengan Perang Salib Baru ini, Eropa ingin mencapai tujuannya tanpa pertumpahan darah. Dalam usahanya ini, Eropa memanfatkan gereja, sekolah-sekolah, dan rumah sakit, serta menyebarkan misionaris mereka.”
Raymond Lull adalah orang Kristen pertama yang mengumandangkan kristenisasi menyusul kekalahan Kristen pada Perang Salib. Menurutnya, cara untuk menaklukkan Dunia Islam bukanlah dengan kekuatan senjata atau kekerasan, melainkan dengan kata, logika, dan kasih.
Norman Daniel, dalam Islam and the West: The Making of an Image, menuturkan, penentangan politik dunia Kristen terhadap Dunia Islam berubah menjadi satu pemikiran yang menguasai Barat. Ide ini terus tertanam dalam pikiran Barat meskipun ideologi persatuan Eropa telah hancur dan agama Kristen telah terpecah menjadi Katolik dan Protestan.

Kerjasama Misionaris dan Imperialis
Paus Iskandar VI memberikan dukungan kepada pemerintah Spanyol dan Portugal, dengan syarat, kedua imperialis ini memberikan jalan kepada misionaris untuk masuk ke negara jajahan dan mendukung segala upaya dan aktivitas misionaris Kristen di sana.
Kerjasama misionaris dan imperialis ini menguntungkan kedua belah pihak. Para misionaris berperan sebagai pembuka jalan bagi imperialis dengan menghancurkan moralitas penduduk pribumi. Setelah berdiri, pemerintahan imperialis melindungi aktivitas misionaris agar penyebaran kebudayaan Barat terus berjalan. Mengapa misionaris mau bekerjasama dengan imperialis?
Dalam China and the West, Pak mengutip ucapan Napoleon, “Delegasi misionaris agama bisa memberikan keuntungan buatku di Asia, Afrika, dan Amerika; karena aku akan memaksa mereka untuk memberikan informasi tentang semua negara yang telah mereka kunjungi. Kemuliaan pakaian mereka tidak saja melindungi mereka, tetapi juga memberi mereka kesempatan untuk menjadi mata-mataku di bidang politik dan perdagangan tanpa sepengetahuan rakyat.”
Akhirnya, kristenisasi menjadi salah satu strategi negara-negara Barat untuk menguasai Dunia Islam. Negara-negara Barat dan perusahaan-perusahaan multinasionalnya menanamkan modal yang sangat besar pada yayasan-yayasan misionaris. David Waren, penanggungjawab Ensiklopedia Dunia Kristen, menyatakan bahwa 70 miliar dolar telah dihabiskan untuk membiayai aktivitas misionaris pada tahun 1970 saja. Menurutnya, kurang dari dua dekade jumlah ini telah mencapai hampir dua kali lipatnya dan akan terus meningkat. Muhammad Imarah mencatat, pada 1991 Organisasi Misionaris Dunia memiliki 120.880 lembaga khusus untuk kegiatan kristenisasi di kalangan Islam; 99.200 lembaga pendidikan untuk mencetak kader penginjil; 4.208.250 tenaga profesional; 82 juta alat komputer; 24.000 majalah; 2.340 stasiun pemancar radio dan televisi; 10.677 sekolah dengan jumlah 9 juta siswa; 10.600 rumah sakit; 680 panti jompo; 10.050 apotik; anggaran kegiatan kristenisasi sebesar 163 miliar dolar. Tahun sekarang pastinya lebih dari itu.
Setiap tahunnya, para misionaris biasanya berkumpul pada 22 Juni yang merupakan Hari Kristenisasi Internasional untuk mengevaluasi kinerja mereka selama setahun ke belakang dan menentukan cara-cara baru yang lebih mumpuni.

Strategi Kristenisasi
Kristenisasi menempuh dua strategi. Pertama, membina dan memasukkan orang Islam ke dalam agama Kristen. Strategi ini terhitung kurang ampuh, mengingat ajaran Kristen sendiri memiliki kelemahan internal sehingga orang yang berakal sehat tidak akan sudi secara sadar memeluknya. Oleh karena itu, strategi kedua dianggap lebih realistis dan efektif, yaitu mengeluarkan orang Islam dari agamanya atau menjauhkannya dari ajaran Islam. Dalam Konferensi Misionaris di kota Quds (1935), Samuel Zweimer, seorang Yahudi yang menjabat direktur organisasi misi Kristen, menyatakan, "Misi utama kita bukan menghancurkan kaum Muslim sebagai seorang Kristen…. Tujuan kalian adalah mempersiapkan generasi baru yang jauh dari Islam, generasi yang sesuai dengan kehendak kaum penjajah, generasi malas dan hanya mengejar kepuasan hawa nafsu."
Strategi inilah yang berhasil meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah.

Kristenisasi pada Masa Kekhilafahan Islam Terakhir
Gerakan misionaris menimbulkan dampak yang sangat merusak di Dunia Islam. Apa yang tidak dapat dicapai oleh kaum kafir dalam ribuan tahun menggunakan kekuatan senjata, dapat diraih oleh kaum misionaris hanya dalam waktu satu abad.
Awalnya, gerakan ini bertujuan untuk menyebarkan pemikiran Kristen dan mengganti agama kaum Muslim. Namun, usaha ini gagal. Dalam metode barunya, alih-alih mengajarkan ajaran Kristen, mereka malah mempropagandakan kebudayaan Barat dan nasionalisme. Metode ini banyak dilakukan oleh misionaris asal Amerika. Seperti diakui oleh penulis Barat, George Antonius, benih-benih pemikiran pertama Barat seperti penolakan agama, liberalisme, dan sekularisme terus-menerus ditanamkan oleh misionaris Kristen di Dunia Islam. Tujuannya ialah memperlemah keislaman kaum Muslim dan mempersiapkan kondisi bagi terlaksananya imperialisme. Para misionaris menyebarkan dasar-dasar pemikiran Barat dan mempromosikan peradaban Barat di Dunia Islam dengan mendirikan sekolah-sekolah, pusat keilmuan, dan universitas.
Universitas St. Joseph di Suriah dan Universitas Amerika di Beirut adalah dua pusat keilmuan yang didirikan para misionaris. J.B. Gibb, dalam Suriah, Libanon, dan Jordania, menulis, “Kedua universitas ini membuka jalan bagi masuknya pemikiran Barat ke Suriah, Lebanon, dan Yordania; unsur pemikiran baru terpenting yang mereka sebarkan adalah nasionalisme.”
Universitas St. Joseph menekankan pada pengkristenan kaum Muslim dan penyebaran kebudayaan Barat di Suriah, sementara Universitas Amerika di Beirut berusaha menyampaikan pahamnya dengan metode westernisasi dan liberalisasi. Universitas ini menerapkan rencananya dengan jalan menyebarluaskan materialisme, nasionalisme, dan liberalisme. Akibatnya, terjadilah gelombang penjajahan dan penindasan budaya pribumi serta masuknya ideologi-ideologi dan pendidikan Barat. Sedangkan bidang industrialisasi dan kemajuan ekonomi dan ilmu-teknologi sama sekali tidak dikembangkan di negara-negara Islam.
Joseph Szyliowicz, dalam Pendidikan dan Modernisasi di Timur Tengah, mengakui bahwa program-program kedua universitas ini lebih banyak bermanfaat bagi Prancis dan Amerika daripada memenuhi kebutuhan masyarakat Timur Tengah. Shabir Ahmed dan Abid Karim, dalam Akar Nasionalisme di Dunia Islam, mencatat bahwa Inggris dan Prancis mendalangi disintegrasi wilayah Khilafah Utsmaniyah. Mereka berhasil memaksa Khilafah untuk memecah wilayah Syam menjadi dua provinsi, yakni Lebanon dan Suriah. Lebanon dikuasai orang Kristen dan sejak itu menjadi penghubung antara negara asing imperialis dan Dunia Islam. Rongrongan para misionaris ini pada akhirnya mampu meruntuhkan Khilafah Utsmaniyah yang pernah berjaya sekitar 700 tahunan lamanya.
Dengan runtuhnya Khilafah dan naiknya Kamal Attaturk, para misionaris semakin leluasa menjalankan aktivitasnya. Kebijakan politik Attaturk sejalan dengan tujuan para misionaris. Attaturk menutup semua sekolah Islam di Turki dengan alasan penyeragaman kurikulum pendidikan. Sebaliknya, pusat-pusat pendidikan misionaris Barat diizinkan untuk terus beroperasi, bahkan pada 1930, sekolah-sekolah AS di Turki dibebaskan dari pajak. Minggu ditetapkan sebagai hari libur menggantikan Jumat. Huruf Arab diganti huruf latin. Penanggalan Hijrah diganti penanggalan Masehi. Kebijakan itu diambil Attaturk demi menyingkirkan nilai-nilai Islam dari tengah masyarakat Turki. Sebaliknya, Attaturk menyebarluaskan pengaruh kebudayaan Barat di negara itu.

Kristenisasi di Indonesia
Riwayat kristenisasi di Indonesia dimulai dengan datangnya para kolonialis. Selama lebih dari tiga abad Indonesia dijajah oleh Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris. Status sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia sekaligus memiliki kekayaan alam yang melimpah menjadikan Indonesia target penting bagi misionaris dan kolonialis.
VOC atau Perusahaan Belanda di Hindia Timur yang dibentuk pada 1602 merupakan wakil imperialisme Belanda di Asia Tenggara. Latourette, dalam A History of Christianity, mengakui, “Prinsip dan kaidah Kristen dalam kebijakan-kebijakan imperialisme Belanda memainkan peranan yang sangat banyak.”
Aqib Suminto, dalam Politik Islam Hindia Belanda, menuturkan bagaimana pada 1661 VOC melarang umat Islam melaksanakan ibadah haji. Kebijakan ini merupakan realisasi anjuran Bogart, seorang Katolik ekstrem di parlemen Belanda. Bogart menilai para haji sangat berbahaya secara politis. Karena itu, melarang perjalanan ibadah haji jauh lebih baik ketimbang menembak mati para haji itu.
C. Guillot, dalam Kiai Sadrach: Riwayat Kristenisasi di Jawa, menuturkan bahwa pada awalnya pusat penyebaran Kristen adalah Maluku. Banyak orang Maluku yang menjadi tentara yang kemudian dikirim ke kawasan-kawasan utama militer Belanda di Jawa, seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya. Mereka itulah yang pertama kali membentuk jemaah Kristen pribumi.
Dalam menjalankan kristenisasi, VOC meniru cara-cara yang dilakukan Spanyol dan Portugis, yaitu cara-cara memaksa. Penjajah Belanda memaksa rakyat pribumi untuk menerima ajaran Kristen. Sebaliknya, jika seorang Belanda masuk Islam, keuangannya akan dihentikan dan orang itu akan ditangkap serta dikeluarkan dari wilayah tersebut. Perlindungan para imperialis Barat membuat para misionaris memiliki posisi penting di masyarakat. Ketika Indonesia merdeka, orang-orang Kristen menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan dan memiliki pengaruh besar dalam percaturan politik. Perubahan dalam mukadimah UUD RI dari “Ketuhanan yang Mahaesa dengan menjalankan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan contoh kuatnya pengaruh Kristen di Indonesia.
Selanjutnya, setiap rancangan undang-undang atau peraturan pemerintah yang dianggap menguntungkan kaum Muslim selalu ditolak keras oleh kalangan Kristen, misalnya dalam perdebatan seputar RUU Peradilan Agama 1989. Sebaliknya, yang dianggap dapat menjauhkan kaum Muslim dari ajaran Islam selalu didukung penuh, seperti dalam perdebatan RUU Perkawinan 1973.
Berbagai konflik sejak 1997 yang melibatkan pemeluk Islam dan Kristen di Kalbar, Timtim, NTT, Ambon, Irian, Poso, dan Maluku, sebenarnya tidak lain adalah buah dari aktivitas kristenisasi yang tak kunjung padam dan dipadamkan.

Modus Kristenisasi
Banyak cara ditempuh para misionaris demi memurtadkan umat Islam. Media Dakwah (No. 192/Juni/1990) memuat bocoran dokumen Keputusan Dewan Gereja Indonesia di Jakarta tertanggal 31 September 1979 perihal program jangka panjang kristenisasi di Indonesia yang intinya bertujuan meningkatkan populasi umat Kristen agar sama dengan umat Islam. Ini dilakukan dengan mempropagandakan program keluarga berencana kepada kalangan Muslim dan mengharamkannya bagi kalangan Kristen. Berikut ini ialah sebagian modus kristenisasi yang ada di lapangan.

Pendidikan.
Bagi para misionaris, pendidikan merupakan jalan terbaik untuk mempengaruhi masyarakat. John Moot, misionaris Amerika, mengatakan, “Kami harus mengajarkan ajaran agama kepada anak-anak. Sebelum dewasa, anak-anak itu harus kami tarik ke Kristen dan sebelum konsep Islam terbentuk dalam jiwa anak-anak itu, jiwa mereka harus kami tundukkan.”
Karena itu, mereka mendirikan lembaga pendidikan dari tingkat taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi, tentu saja dengan kualitas pendidikan dan fasilitas yang canggih. Karenanya, bisa dimaklumi mengapa kalangan Kristen seperti kebakaran jenggot ketika RUU Sisdiknas hendak di-UU-kan.

Kesehatan dan Pengobatan.
Di dunia ini akan selalu ada orang yang sakit dan orang sakit akan selalu memerlukan dokter. Di mana ada kebutuhan terhadap dokter, di sana ada kesempatan untuk menyebarkan ajaran agama. Di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, pasien Muslim biasanya mendapat brosur tentang penghiburan dan penyembuhan Yesus Kristus. Di rumah sakit Advent Bandung, pasien Muslim diajak berdoa bersama oleh rohaniwan rumah sakit dengan tata cara peribadatan Kristen. Tahun 2003 lalu diselenggarakan Bandung Festival 2003 di GOR Saparua, Bandung. Dalam poster dan selebaran tertera bahwa di sana akan ada pengobatan gratis oleh Peter Youngren. Dari susunan acara yang mencantumkan doa bersama, dari sosok Peter Youngren yang mejeng di poster, dan dari penyelenggara acara itu, mudah ditebak bahwa itu adalah ajang pemurtadan di tengah kota.

Perkawinan/Pemerkosaan.
Khairiyah Anniswah alias Wawah, siswi MAN Padang, diculik dan dijebak oleh aktivis Kristen. Ia diberi minuman perangsang lalu diperkosa. Setelah tak berdaya, ia dibaptis. Linda, siswi SPK Aisyah Padang, diculik, disekap, dan diteror secara kejiwaan supaya murtad ke Kristen dan menyembah Yesus Kristus. Di Bekasi, seorang pemuda Kristen pura-pura masuk Islam lalu menikahi seorang gadis Muslimah salihah. Setelah menikah, mereka melakukan hubungan suami-istri. Adegan ranjang yang telah direncanakan itu difoto oleh kawan pemuda Kristen itu. Setelah dicetak, foto itu ditunjukkan kepada sang Muslimah dibarengi pertanyaan, “Tetap Islam atau pindah ke Kristen?” Jika tidak pindah agama, foto-foto telanjang Muslimah itu akan disebarluaskan. Karena tidak kuat mental, akhirnya sang Muslimah terpaksa dibaptis demi menghindari aib.

Narkoba.
Di Desa Langensari, Lembang, Bandung, Yayasan Sekolah Tinggi Theologi (STT) Doulos menyebarkan Kristen dengan cara merusak moral calon korbannya terlebih dulu. Di sana, para pemuda berusia 15 tahunan dicekoki minuman keras dan obat-obatan terlarang sampai kecanduan berat. Setelah kecanduan, para pemuda itu dimasukkan ke panti rehabilitasi Doulos untuk disembuhkan sambil dicekoki injil (Republika, 10 dan 12/4/1999).

Filantropi.
Para misionaris sering menampilkan diri sebagai orang yang penuh belas kasih terhadap sesama manusia. Mereka mendatangi orang-orang miskin sambil menawarkan makanan (beras, mi instan, gula, dll.) secara gratis. Mereka juga memberi obat-obatan, pakaian bekas, alat-alat pertanian (bibit, pupuk, obat pembunuh serangga/hama, dll.). Setelah orang desa merasakan manfaatnya, barulah para misionaris menyatakan maksud yang sebenarnya, bahwa mereka adalah pelayan dari Yesus Kristus, dan bantuan yang orang desa nikmati itu adalah dari Yesus. Lalu sang misionaris bertanya, mana yang lebih baik, Islam atau Kristen? Singkatnya, masyarakat desa dibaptis.

Menggunakan Idiom-idiom Islam.
Para misionaris menggunakan idiom-idiom keislaman dalam tatacara peribadatan serta menerbitkan buku-buku dan brosur berwajah Islam, tetapi isinya memutarbalikkan ayat-ayat al-Quran dan Hadis Nabi, untuk mendangkalkan akidah umat. Ayat-ayat Ilahi dipermainkan untuk melecehkan Islam sembari menjunjung tinggi Kristen. Maksudnya jelas, agar kaum Muslim meragukan ajaran Islam lalu pindah ke Kristen. Cara ini dilakukan, misalnya, dengan meniru kebiasaan umat Islam dalam hal bangunan dan tatacara ritual. Bangunan gereja GPIB Padang memakai lambang-lambang Minang untuk merayu orang Minang agar tertarik kepada Kristen. Di beberapa desa di Yogyakarta, misionaris meniru adat kebiasaan umat Islam, seperti tahlilan, pakai kopiah yang biasa dipakai umat Islam, dan tak lupa mengucapkan salam ‘assalamualaikum’, dll. Ada juga shalat 7 waktu dengan pakai peci, sajadah, tilawah Injil dan kasidah versi Kristen yang dilakukan oleh Kristen sekte Ortodoks Syria. Mereka juga sering mengadakan Natalan bersama dengan memakai atribut Islam, seperti yang pernah dilakukan jemaat Doulos di Kampung Sawah.

Penerbitan buku.
Buku yang diterbitkan ada yang berwajah Islam dan ada yang langsung menghujat Islam. Contoh yang berwajah Islam adalah Ayat-ayat Al-Quran karya Drs. A. Poernarna Winangun, sementara Islamic Invasion: Confronting the World’s Fastest Growing Religion oleh Robert Morey adalah contoh yang menghujat. Masih banyak lagi buku-buku sejenis.
Ada dua target yang ingin dicapai dengan menerbitkan buku-buku berwajah Islam. Pertama, target ke dalam, yaitu memantapkan ajaran Kristen, seolah-olah ajaran Kristenlah yang benar. Kedua, target ke luar, yakni mengelabui umat Islam yang masih dangkal pemahaman agamanya, agar mau membaca lalu meyakini doktrin Kristen.
Buku-buku itu diterbitkan oleh Yayasan Jalan Al-Rachmat, Yayasan Christian Center Nehemia Jakarta, Yayasan Pusat Penginjilan Alkitabiah (YPPA), Dakwah Ukhuwah, dan Iman Taat kepada Shiraathal Mustaqiim. Sebaliknya, buku yang menghujat biasanya terjemahan tanpa identitas penerbit asli.

Mistik.
Para misionaris kini kerap menggunakan jurus-jurus alam gaib untuk memurtadkan orang Islam. Majalah Sabili (Edisi 12/Desember/2003) dan Gatra (Edisi 51, 31/Oktober/2003), menurunkan laporan mengenai maraknya aksi pemurtadan lewat jin, sihir, dan hipnotis di Sumatra Barat. Banyak Muslimah di sana yang dibuat kesurupan lantas diajak masuk Kristen. Ada juga yang ketika kesurupan selalu mengucapkan kata-kata khas Kristen seperti ‘Yesus’, ‘Bunda Maria’, dan marah jika dibacakan ayat-ayat al-Quran.
Demikianlah sepak terjang kristenisasi di Dunia Islam, yang harus selalu diwaspadai oleh kaum Muslim. []
 

No comments:

Post a Comment