Pages

Wednesday, May 12, 2010

Jalan Islam versus Jalan Thaghut


Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)
Agama Islam melandaskan syariatnya kepada firman Allah dan sabda Rasulullah SAAW. Sabda Rasulullah SAAW yang mengandung syariat itu sendiri sebenarnya tidak keluar atas kehendak beliau sendiri, melainkan atas kehendak Allah yang telah mengutusnya. Jadi, Syari’ atau Pembuat syariat sesungguhnya adalah Allah.
Namun muncul suatu kaum yang mengagung-agungkan ustadz-ustadz mereka. Seakan-akan ustadz-ustadz mereka yang telah menyempal dari jama’ah mayoritas ummat Islam itu tidak akan tersesat. Padahal jaminan keselamatan itu tidak terletak pada para penyempal, melainkan pada jama’ah mayoritas ummat Islam.
Mereka telah menjadikan ustadz-ustadz mereka sebagai syari. Jika ustadz mereka berkata bahwa maulid itu bid’ah, maka mereka pun berkata demikian. Jika ustadz mereka berkata bahwa matahari itu mengelilingi bumi, maka mereka pun turut. Padahal apa yang dikatakan ustadz-ustadz mereka itu muncul dari kejahilan dan rusaknya cara berfikir. Maka jahil dan rusak pula orang-orang yang mengikuti ustadz-ustadz itu.
Bagaimana tidak dikatakan rusak dan jahil, sedangkan pemikiran mereka berbeda dengan Al-Qur’an dan Hadits? Contohnya, mereka katakan bahwa merayakan maulidur Rasul itu bid’ah karena Nabi tidak pernah merayakan hari lahir beliau. Pendapat ustadz mereka itu jelas bertentangan dengan sabda Nabi yang tercantum pada hadits shahih.
Tentang keistimewaan hari lahir Nabi saw, terdapat hadits shahih dari Abi Qatadah, beliau menceritakan bahwa seorang A’rabi (Badawi) bertanya kepada Rasulullah saw: “Bagaimana penjelasanmu tentang berpuasa di hari Senin? maka Rasulullah saw menjawab, ‘Ia adalah hari aku dilahirkan dan hari diturunkan kepadaku Al-Qur’an” [Syarh Shahih Muslim An-Nawawi 8 / 52]
Memuji Rasul pun mereka anggap bid’ah. Padahal beliau telah dipuji dengan berbagai pujian, sifat dan gelar, misalnya uswatun hasanah, al-amin, al-musthofa, nabiyur rohmah, ro-ufur rohim, sayidun nas, ulul azhmi, dll. Bahkan nama beliau bermakna ‘yang terpuji’.
Apakah berlebihan jika kita menyebut Nabi sebagai ‘yang terpuji’? Nyatanya tidak. Apakah berlebihan menyandarkan sifat Allah Ro-ufur Rohim kepada Nabi? Nyatanya tidak. Bahkan Allah sendiri yang telah menyifatkan bahwa Nabi itu ‘bil-mu-minina ro-ufur rohim’. Allah juga yang telah berfirman, “Qod ja-akum minallahi nur, sungguh telah datang kepada kalian cahaya dari Allah.” Allah sendiri yang menyebut beliau SAAW sebagai rahmat bagi alam semesta. Allah sendiri yang menyebut beliau SAAW sebagai cahaya yang menerangi langit dan bumi, itu berarti bahwa beliau SAAW adalah matahari bagi alam semesta. Allah sendiri yang menyebut beliau SAAW sebagai cahaya di atas cahaya. Karena beliau itu lebih bercahaya dari bintang manapun. Cahaya beliau akan tetap bersinar, walau bintang-bintang telah padam.
Namun para penyempal itu mengatakan bahwa memuji Nabi Muhammad SAAW itu merupakan sikap ghuluw. Ketahuilah bahwa yang ghuluw itu adalah mereka yang mengidolakan para penyempal ekstrim yang menghalalkan darah kaum muslimin. Jika Anda melihat sejarah mereka dengan seksama, tentu Anda akan melihat betapa ekstrimnya mereka itu.
Tahukah Anda bagaimana Allah mengajarkan malaikat cara memulyakan Nabi Adam as? Apakah dengan menyuruh mereka agar mencium tangan Nabi Adam as? Bukan. Tetapi Allah mengajarkan para malaikat untuk memulyakan Nabi Adam as dengan menyuruh mereka agar bersujud kepada Nabi Adam as. Apakah hal itu ghuluw? Tidak. Begitulah yang Allah ajarkan. Sujud tersebut adalah lit-ta’zhim (untuk mengagungkan), bukan lit-ta’bud (untuk menyembah).
Allah telah mengajarkan bagaimana cara memuji dan memulyakan Nabi Muhammad SAAW yang lebih mulya dibanding semua makhluq Allah. Apakah hal itu ghuluw? Ingatlah oleh Anda bahwa hanya Iblis saja yang enggan dan menolak untuk memulyakan Nabi Adam as dengan cara yang Allah ajarkan!
Para penyempal itu menyebut kitab rawi maulid sebagai kitab bid’ah karena berlebihan dalam memuji Rasulullah SAAW. Padahal pujian yang terkandung didalamnya masih sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits. Saya khawatir, jangan-jangan setiap kali para penyempal itu membaca Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 128 dan yang semisalnya, bukannya pahala yang mereka dapat, malah laknat dari apa yang mereka baca itu yang mereka terima.

No comments:

Post a Comment