Pages

Wednesday, May 12, 2010

Dekonstruksi Khilafah, Senario Jahat di Balik Runtuhnya Khilafah



Oleh: Mohammad Maghfur Wachid

hayatulislam.net - Bani Utsman, kurang lebih selama dua abad kekuasaan mereka, telah dipimpin oleh delapan sultan, sebelum akhirnya mereka melakukan ekspansi ke sebagian negeri Arab. Turki Utsmani sama dengan para pendahulu mereka, seperti Turki Saljuk dan kabilah Hun. Mereka berasal dari keturunan Mongol, atau Thurani. Mereka mulai merambah ke Eropa pada abad ke-5 M. Mereka lahir dan dibesarkan di Asia Tengah dan Utara. Etnis yang sama juga dimiliki bangsa Bulgaria, yang telah merambah ke Eropa Timur, dan menetap di sana selama dua abad, ke-7 dan ke-9 M. Turki Utsmani adalah etnis Asia terakhir yang telah merambah dan mendiami Eropa, bahkan merupakan negara Mongol yang paling penting dan kuat, yang pernah lahir dalam sejarah.

Sejarah Turki Utsmani dimulai dengan peristiwa agung, yang notabene menunjukkan kepahlawanan dan kesatriaan mereka. Pada pertengahan abad ke-13 M, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah, yang telah dikalahkan oleh Mongol —di bawah pimpinan Artoghul, kepala suku Turki Utsmani— menyusuri Asia Tengah, berdekatan dengan Ankara. Ketika mereka menyaksikan dua kelompok berperang, yaitu Kekaisaran Romawi dengan Dinasti Saljuk Rum, yang berpusat di Iconium di bawah pimpinan Sultan ‘Alauddin, maka para pemuka kabilah kecil ini tak punya pilihan lain, kecuali melibatkan diri dalam peperangan ini, karena dorongan naluri berperang mereka demi melindungi pihak yang lemah, sehingga Artoghûl dan sekutunya (Sultan ‘Alâ’uddîn) yang lemah tersebut menuai kemenangan. Kabilah kecil dan tokohnya, Arthaghul, inilah yang merupakan cikal bakal Turki Utsmani. Dialah bapak Utsman, yang namanya kemudian digunakan untuk menyebut negara yang dibangunnya.

Setelah Artoghul meninggal dunia pada tahun 1288 M, anak tertuanyalah yang kemudian menggantikannya. Dialah Utsman. Utsman dikenal sebagai pemimpin yang mempunyai keberanian luar biasa untuk mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan ‘Alauddin untuk mengangkatnya menjadi pemimpin dan menjadikannya sebagai penguasa yang independen di semua wilayah yang telah ditaklukkannya.


Pada tahun 1300 M, Mongol telah menyerang Daulah Saljuk di Asia Kecil, dan berhasil menghancurkannya. Sultan Alauddin kemudian meninggal, lalu tiap emir melepaskan diri dengan wilayahnya sendiri-sendiri; Utsman pun akhirnya memisahkan diri dan mempunyai kekuasaan tersendiri. Dari sanalah kekuasaannya sedikit demi sedikit berkembang hingga beliau mendengar penaklukan Bursa, ketika beliau tengah terbaring menjelang kematiannya. Utsman memberikan perhatian besar pada strukturisasi tentara dan pemerintahan sehingga namanya menjulang, dan negaranya pun menjadi besar. Namanya begitu dikenal dan disebut-sebut di kalangan para pemimpin sehingga dia disebut sebagai pendiri negaranya. Karena itu, negaranya dinisbatkan kepada dirinya.

Pada tahun 1336 M, Utsman meninggal, kemudian digantikan oleh puteranya, Ourkhan, yang memang telah dilatih dengan berbagai kegiatan peperangan dan pemerintahan, hingga berhasil menguasai Bursa, dan menjadikannya sebagai ibokuta bagi negara baru ini. Dengan manuver inilah, keluarga Utsman telah mendekati Konstantinopel, ibukota Bizantium.

Sebelum perang di antara kedua pemerintahan ini berlangsung —yang satu negara muda, kuat, dan berambisi untuk mengembangkan kekuasaannya; sedangkan yang satu lagi negara tua, yang mulai merosot dan sebelum sampai ke Konstantinopel, Ourkhan terlebih dulu menduduki Izmir. Dia melihat pentingnya dilakukan sejumlah pembenahan, yang kelak akan mempunyai pengaruh langsung bagi kemenangan yang akan diraih Turki Utsmani, pertama-tama di Asia Kecil, kemudian di Eropa. Dia menaklukkan Nicomedia (Izmit) dan Nicaea (Iznik) serta negeri-negeri Asia dan Bizantium yang lain. Setelah itu, selama 20 tahun, dia mengokohkan pilar-pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan internal negara, serta mendirikan angkatan bersenjata baru, yang dikenal dengan Inkisyâriyah. Angkatan bersenjata inilah yang dalam kurun waktu cukup lama menjadi penopang kekuatan negara Utsmani, baik dalam peperangan maupun penaklukan.

Ketika Muhammad II bin Murad II naik tahta, dia segera merealisasikan cita-cita kaum Muslim sejak zaman permulaan Islam untuk menaklukkan Konstantinopel hingga cita-cita itu benar-benar berhasil diwujudkan pada tahun 857 H/1453 M. Akhirnya, dia dikenal dengan nama Muhammad al-Fatih (Muhammad sang Penakluk), dan tak lama kemudian Islâm bûl —atau yang kini dikenal dengan Istambul— itu menjadi ibukota negara Utsmani, dan menjadi titik tolak untuk melakukan penaklukan ke seluruh Eropa, setelah sebelumnya penaklukan telah terhenti, dengan meninggalnya Abdurrahman al-Ghafiqi, di bagian Selatan Prancis. Tak lama kemudian, Muhammad al-Fatih bertolak untuk menundukkan Murrah, Serbia, dan Bosnia. Beliau juga melakukan tekanan terhadap Italia, Hungaria, dan Jerman. Akhirnya, Tharabzun dan Cremia di kawasan Asia pun tunduk kepadanya. Setelah itu, dia kembali untuk menaklukkan Jerman dan beberapa bagian wilayah Italia, namun dia meninggal dunia sebelum bisa merealisasikan rencananya untuk menaklukkan Rodesia.

Dia kemudian digantikan oleh putranya, Yazid II, yang telah berhasil mewujudkan kemenangan armada laut Utsmani yang pertama, melawan armada Bunduqiyah (Italia). Kekuasaannya kemudian diserahkan kepada anaknya, Salim I. Dialah yang kemudian menjadi sultan Utsmani yang paling besar dan mendapatkan kemenangan serta penaklukan paling banyak. Dia menyerang Sultan Safawi, Shah Ismail, yang telah berusaha menyebarkan mazhab Syiah, dan mengembangkan kekuasaan Persia hingga ke Irak. Dia berhasil dikalahkan di Galadiran, berdekatan dengan Tibriz. Sultan Salim I kemudian menduduki Diyarbakar dan Kurdistan, yang merupakan langkah awal untuk menaklukkan Syam dan Mesir, seiring dengan kemenangannya di Maraj Dabiq dan Raidaniyah. Pada saat itu, Kekhilafahan Islam secara syar‘î telah berpindah ke tangannya, setelah Khalifah al-Mutawakkil Alallah, Khalifah Abbasiyah terakhir di Mesir, menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I pun resmi menjadi khalifah kaum Muslim di seluruh dunia sejak tahun 923 H/1517 M. Dia kemudian meninggal setelah 8 tahun berkuasa. Syarif Makkah juga telah menyerahkan kunci-kunci dua tanah suci, Makkah dan Madinah, kepadanya.

Setelah itu, dia digantikan oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M). Era kepemimpinannya dianggap sebagai era Kekhilafahan Utsmani yang paling jaya berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa, sementara Khilafah Utsmani telah meninggalkan jauh negara-negara Eropa, di bidang militer, sains, dan politik. Sulaiman juga telah berhasil menaklukkan Belgrade dan mengambil Rodesia dari pasukan berkuda Santo (Karel Agung) Yohana. Dia menuai kemenangan atas Hongaria dalam pertempuran Mouhackz, serta berhasil menaklukkan Armenia dan Irak, hingga armada laut Khilafah Utsmaniah disegani di seluruh perairan laut; mulai dari Laut Putih, Laut Merah, hingga Samudera Hindia —meskipun kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan berkuda Santo Yohana, penguasa kepulauan Malta. Kepulauan ini merupakan pemberian Charles V, ketika mereka diusir oleh tentara Khilafah Utsmaniah dari Rodesia pada tahun 1522 M.

Para ahli sejarah sepakat, bahwa zaman Sulaiman al-Qanuni merupakan zaman kejayaan dan kebesaran Khilafah Utsmaniyah. Hanya dalam waktu 3 abad, kabilah kecil ini berhasil melebarkan sayap kekuasaannya dari Laut Merah, Laut Tengah, dan Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Makkah hingga Budapest di satu sisi dan dari Baghdad hingga ke Aljazaer di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam pun jatuh ke tangannya. Sebagian besar Kerajaan Austria dan Hongaria pun jatuh ke tangannya. Kekuasaan mereka sampai di bagian utara Afrika dari arah negeri Syam hingga perbatasan Marokesh. Setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia pada tahun 974 H/1566 M, negara mulai mengalami kemerosotan terus-menerus.


Realiti Politik Dalam Dan Luar Negeri Khilafah Ustmaniah Menjelang Keruntuhannya

Politik dalam negeri di sini, maksudnya adalah penerapan hukum-hukum Islam oleh negara di dalam negeri, ketika negara menerapkan hukum-hukum Islam di dalam wilayah yang tunduk di bawah kekuasaannya; mengatur muamalah, menegakkan hudûd, menerapkan sanksi hukum, menjaga akhlak, menjamin pelaksanaan syiar-syiar dan ibadah, serta mengurus seluruh urusan rakyat sesuai dengan hukum-hukum Islam. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Islam.

Dalam hal ini, ada dua faktor utama yang menyebabkan kemunduran Khilafah Utsmaniah. Pertama, faktor buruknya pemahaman Islam. Kedua, faktor kesalahan dalam menerapkan Islam. Sebenarnya, buruknya pemahaman dan kesalahan dalam menerapkan Islam ini bisa diperbaiki ketika Khilafah Utsmaniah dipegang oleh orang yang kuat dengan keimanannya yang tinggi, namun sayangnya kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan baik. Sulaiman, yang dijuluki al-Qânûni, karena jasanya mengadopsi undang-undang (al-qânûn) sebagai sistem yang diterapkan dalam Khilafah Utsmaniah, yang ketika itu juga seorang khalifah yang sangat kuat, justru menyusun undang-undang berdasarkan mazhab tertentu, yaitu mazhab Hanafi, dengan kitab Multaqâ al-Abhur (Pertemuan Berbagai Lautan)-nya yang ditulis Ibrahim al-Halabi (w. 1549 M). Padahal, Khilafah Islam bukanlah negara mazhab. Dengan kata lain, semua mazhab Islam seharusnya mempunyai tempat di dalam negara dan bukan hanya satu mazhab. Dengan tidak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk melakukan perbaikan, pemahaman Islam yang buruk dan penerapan Islam yang salah selama ini tidak pernah diperbaiki. Sebagai contoh, dengan diadopsinya undang-undang oleh Sultan Sulaiman, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan khalifah bisa dihindari, namun justru kasus ini tampak tak tersentuh oleh undang-undang. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Sulaiman al-Qanuni, yang diangkat menjadi khalifah justru orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan, atau lemah. Sebut saja kasus Sultan Musthafa I (1026 H/1617 M), Utsman II H/1617-1621 M), Murad IV H/1622-1640 M), Ibrahim bin Ahmad H/1639-1648 M), Muhammad IV H/1648-1687 M), Sulaiman II H/1687-1690 M), Ahmad II H/1690-1694 M), Musthafa II H/1694-1702 M), Ahmad III H/1703-1730 M), Mahmud I H/1703-1727 M), Utsman III H/1758-1761 M), Musthafa III H/1757-1773 M), dan Abdul Hamid I H/1773-1788 M). Inilah yang kemudian mendorong pihak militer, Inkisyâriyah —yang dibentuk oleh Sultan Ourkhan— kala itu melakukan kudeta; masing-masing pada tahun 1525, 1632, 1727 dan 1826 M. Akhirnya, Inkisyâriyah dibubarkan tahun 1241 H/1785 M. Di samping itu, kemajemukan rakyat, baik dari segi agama, etnik, maupun mazhab memerlukan penguasa yang kuat, baik secara intelektual maupun yang lain. Jadi wajar, tampilnya penguasa yang lemah ini pada akhirnya memicu terjadinya gerakan sparatisme, seperti yang dilakukan oleh kaum Druz yang dipimpin oleh Fakhruddin bin al-Ma‘ni.

Inilah yang juga menyebabkan politik luar negeri Khilafah Islam, yaitu dakwah dan jihad yang bertujuan untuk melakukan penaklukan, telah terhenti sejak abad ke-17 M. Berhentinya penaklukan ini juga menyebabkan jumlah pasukan Inkisyâriyah semakin membesar, melebihi pasukan dan pegawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara semakin merosot. Kenyataan ini menyebabkan ekonomi Khilafah Utsmaniah terpuruk, ditambah banyaknya praktik suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatan mereka untuk menumpuk kekayaan dan menjilat Sultan. Ditambah dengan menurunnya pendapatan pajak yang dipungut dari komoditas dari Timur Jauh yang melintasi wilayah Utsmaniah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga komoditas tersebut bisa diekspor langsung ke Eropa. Semua ini menyebabkan mata uang Utsmaniah tertekan, sementara sumber pendapatan negara, seperti bahan tambang, tidak mampu menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.

Pada paruh kedua abad ke-16 M, telah terjadi krisis moneter, ketika emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru (Amerika) melalui kolonial Spanyol. Mata uang Utsmaniah ketika itu benar-benar terpuruk; inflasi melambung. Mata uang Barah diluncurkan oleh Khilafah Utsmaniah pada tahun 1620 M tetap tidak berhasil menyelesaikan inflasi. Kemudian, dikeluarkan pula uang Qisry pada abad ke-17 M. Faktor-faktor ekonomi inilah yang menjadi sebab pasukan Utsmaniah di Yaman melakukan pemberontakan pada paruh kedua abad ke-16 M. Dengan kehidupan pejabat yang korup seperti itu, akhirnya negara harus menanggung utang sebesar 300 juta lira.

Dengan tidak dijalankannya politik luar negeri sesuai dengan hukum Islam, yaitu dakwah dan jihad, mafhûm jihad sebagai metode untuk mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak kaum Muslim, termasuk para khalifahnya. Ini terlihat dengan jelas pada tindakan Sultan Abdul Hamid Khan ketika meminta syaikh al-Azhar agar membacakan Shahîh al-Bukhâri di al-Azhar supaya Allah memenangkan Sultan atas Rusia dalam peperangan yang berlangsung pada bulan Rajab tahun 1203 H. Sultan kemudian meminta Pasha (Gubenur) di Mesir kala itu agar memilih sepuluh ulama dari berbagai mazhab untuk membaca Shahîh al-Bukhâri setiap hari.

Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihatnya sebagai awal dari masalah ketimuran (al-mas’alah as-syarqiyyah), hingga abad ke-16 M, saat terjadinya penaklukan sebagian besar wilayah Balkan, seperti Bosnia dan Albania, serta Yunani dan kepulauan Ionia. Masalah ketimuran inilah yang mendorong Paus Paulus V M) menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama, antara sesama Kristen, yaitu Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah diselenggarakanya Konferensi Westavalia tahun 1667 M. Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniah pada tahun-tahun tersebut telah terhenti. Memang, setelah kekalahan Khilafah Utsmaniah atas Eropa (Paus Paulus V, Spanyol, Hungaria dan Perancis) dalam Perang Lepanto tahun 1571 M, Khilafah nyaris hanya mempertahankan wilayahnya. Kelemahan Khilafah Utsmaniah pada abad ke-17 M itu juga dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukul Khilafah. Melalui Perjanjian Carlowitz (1699 M), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venesia dan Habsburg. Bahkan, Khilafah Utsmaniah terpaksa harus kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dengan Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M, dan semakin tragis setelah dilakukannya Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).

Menghadapi kemerosotan tersebut, Khilafah Utsmaniah sebenarnya telah melakukan reformasi (ishlâh) sejak abad ke-17 M, yang diteruskan pada abad-abad berikutnya. Namun, lemah pemahaman Islam justru telah menyebabkan reformasi ini gagal. Sebab, ketika itu para penguasa Khilafah Utsmaniah tidak bisa membedakan antara hadhârah danmadaniyah; antara sains/teknologi dan tsaqâfah. Kelemahan para penguasa ini dimanfaatkan untuk membentuk struktur baru dalam negara, yang ketika itu dikenal dengan shadr al-a‘zham (perdana menteri). Struktur seperti ini tidak dikenal dalam sejarah Khilafah Islam, kecuali setelah terpengaruh dengan tradisi demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh Khilafah Islam. Pada saat yang sama, para penguasa dan juga syaikh al-Islâm ketika itu mulai membuka diri terhadap demokrasi melalui fatwa-fatwa syaikh al-Islâm yang penuh kontroversi. Bahkan, dibentuknya Dewan Tanzimat tahun 1839 M semakin mengokohkan tsaqâfah Barat, setelah disusunnya beberapa undang-undang, seperti Undang-undang Acara Pidana (1840 M), dan Undang-undang Dagang (1850 M), ditambah dengan dirumuskannya Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha untuk membatasi fungsi dan kewenangan khalifah.

Di dalam negeri, ahli dzimmah —khususnya orang Kristen— yang mendapatkan hak istimewa pada zaman Sulaiman al-Qanuni, pada akhirnya menuntut persamaan hak dengan kaum Muslim. Bahkan, kemudian hak-hak istimewa inilah yang akhirnya dimanfaatkan untuk melindungi para provokator dan mata-mata asing dengan jaminan perjanjian. Masing-masing, antara Khilafah Utsmaniah dan Bizantium (1521 M) serta Prancis (1535 M) dan Inggeris (1580 M). Dengan hak-hak istimewa ini, populasi orang-orang Kristen dan Yahudi di dalam negeri meningkat. Inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kaum misionaris yang mulai melakukan gerakannya secara intensif di Dunia Islam sejak abad ke-16 M. Malta dipilih sebagai pusat gerakan mereka. Dari sanalah, mereka menyusup ke wilayah Syam pada tahun 1620 M, dan tinggal di sana hingga tahun 1773 M. Di tengah kemunduran intelektual yang dihadapi oleh Dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian, sebagai kedok gerakan mereka. Pusat-pusat kajian ini kebanyakan milik Inggeris, Prancis, dan Amerika. Gerakan inilah yang digunakan oleh Barat untuk mengemban intellectual leadership mereka di Dunia Islam, disertai dengan serangan-serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini memang sejak lama telah dipersiapkan oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M telah mendirikan center of the Oriental Studies (pusat kajian ketimuran).

Jadi, gerakan misionaris dan orientalis itu jelas merupakan bagian yang tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasai dunia Islam, Islam —meminjam istilah Imam al-Ghazali— sebagai asas harus dihancurkan, dan Khilafah Islam sebagai penjaganya harus diruntuhkan. Untuk meraih tujuan yang pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan yang kedua, mereka sengaja menghembuskan paham nasionalisme, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniah, dengan sebutan the Sick Man (orang yang sakit). Supaya kekuatan Khilafah Utsmaniah lumpuh, sehingga dengan mudah bisa dijatuhkan dengan sekali pukulan, maka dilakukan upaya intentif untuk memisahkan wilayah Arab dan wilayah lain dari Khilafah Utsmaniah. Dari sinilah, lahir gerakan-gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Bahkan, gerakan-gerakan keagamaan juga tak luput dari eksploitasi, seperti kasus Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, gerakan ini telah dimanfaatkan oleh Inggris, melalui agennya, Ibn Sa‘ud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dan sekitarnya, yang sebelumnya tidak berhasil dilakukan oleh Inggris melalui gerakan kesukuan. Meskipun demikian, laju gerakan ini di beberapa wilayah akhirnya berhasil dibendung oleh Khilafah Utsmaniah melalui Muhammad Ali Pasha, Gubernur Mesir yang —ternyata juga agen Prancis— didukung oleh Prancis. Sementara itu, di wilayah Eropa, wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Khilafah terus diprovokasi agar melakukan pemberontakan, sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20, seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan. Begitulah, akhirnya Khilafah Utsmaniah kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa akhirnya hanya Turki.


Konspirasi Barat Dan Yahudi Menghancurkan Khilafah

Seperti telah dimaklumi, nasionalisme dan sparatisme yang telah dipropagandakan oleh negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia sengaja dilakukan untuk menghancurkan Khilafah Islam. Keberhasilan mereka menggunakan sentimen kebangsaan dan sparatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorong mereka untuk menggunakan cara yang sama di seluruh wilayah Khilafah Islam. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di wilayah Arab dan Turki. Sementara itu, kedutaan besar Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis Khilafah Islam yang lain —seperti Baghdad, Damaskus, Beirut, Kaero dan Jeddah— telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, telah dibangun dua markas, Beirut dan Istambul. Markas Beirut memainkan peranan jangka panjang, yaitu mengubah putra-putri umat Islam agar menjadi kafir serta mengubah sistem Islam menjadi sistem kufur. Sedangkan markas Istambul memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul Khilafah Islam dengan telak.

Kedutaan-kedutaan negara Eropa juga mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo, dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai oleh Rafiq al-‘Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup di tengah orang-orang Arab yang cenderung memperjuangkan nasionalisme. Tanggal 18 Juni 1913 M, pemuda-pemuda Arab telah mengadakan kongres di Paris, dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis di Damaskus telah membongkar rencana pengkhianatan mereka kepada Khilafah Utsmaniah yang didukung oleh Inggris dan Prancis.

Sementara itu, di Markas Istambul, negara-negara Eropa tidak hanya puas dengan merusak putra-putri umat Islam di sekolah-sekolah dan universitas-universitas melalui propaganda. Mereka ingin memukul Khilafah Islam dari jarak dekat dengan telak. Caranya adalah dengan mengubah sistem pemerintahan Islam dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan ala Barat dan hukum-hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan oleh Rasyid Pasha, menteri luar negeri zaman pemerintahan Abdul Majid I, pada tahun 1839 M. Tahun yang sama, Honourable Script —yang dikenal dengan dengan Khalkhanah— yang dijiplak dari perundang-undangan Eropa diperkenalkan. Pada tahun 1855 M, negara-negara Eropa, khususnya Inggris, telah memaksa Khilafah Utsmaniah untuk melakukan amandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Hemayun Script pada tanggal 11 Pebruari 1855 M. Midhat Pasha, salah seorang anggota Free Masonry, pada tanggal 1 September 1876 M diangkat menjadi Perdana Menteri. Midhat membentuk panitia Ad Hoc untuk menyusun UUD, sebagaimana yang dikehendaki oleh Inggris. Komisi ini berhasil menyusun UUD berdasarkan Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak oleh Sultan Abdul Hamid II, dan Sublime Port pun tidak bersedia melaksanakannya, karena dinilai bertentangan dengan Islam. Medhat Pasha pun akhirnya dipecat sebagai Perdana Menteri. Pada tahun 1908 M, Turki Muda yang berpusat di Salonika —pusat komunitas Yahudi Dunamah— melakukan pemberontakan. Khalifah dipaksa oleh Turki Muda, yang menjalankan hasil keputusan Konferensi Berlin, untuk mengumumkan UUD yang diumumkan oleh Turki Muda di Salonika, dan tanggal 17 Nopember 1908 merupakan tanggal pembukaan parlemen yang pertama dalam Khilafah Utsmaniah. Bekerjasama dengan syaikh al-Islâm, Sultan Abdul Hamid II akhirnya dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak saat itulah, sistem pemerintahan Islam telah berakhir.

Namun, Inggris tampaknya belum puas sebelum menghancurkan Khilafah Utsmaniah secara total. Perang Dunia I tahun 1914 M dimanfaatkan oleh Inggris untuk menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanelles yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha, yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan dalam Perang Ana Forta, tahun 1915 M. Kemal Pasha, seorang agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika itu akhirnya menjalankan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan Khilafah Islam. Pada tahun 1919 M, dia menyelenggarakan Konggres Nasional di Sivas, yang berhasil menelorkan Deklarasi Sivas. Deklarasi ini mencetuskan kemerdekaan Turki dan negeri-negeri Islam yang lain dari penjajah, sekaligus melepaskan negeri-negeri tersebut dari Khilafah Utsmaniah. Irak, Syria, Palestina, Mesir, dan lain-lain kemudian mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga masing-masing menjadi negara merdeka. Pada saat itulah, sentimen kebangsaan semakin mengental, seiring dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan-Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.


Perseteruan Antara Mustafa Kemal Dan Khalifah

Sejak tahun 1920 M, Kemal Pasha telah menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah Inggris berhasil menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara, dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan Khalifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan Khalifah dan sebaliknya memihak kaum nasionalis. Situasi seperti ini dimanfaatkan oleh Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional, yang menobatkan dirinya sebagai ketuanya. Karena itu, pada saat itu ada dua pemerintahan; pemerintahan Khilafah di Istambul, dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional yang berpusat di Ankara. Meski kedudukannya semakin kuat, Kemal Pasha tetap tidak berani membubarkan Khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan draft yang mengatur pemisahan antara Khilafah dengan kesultanan (pemerintahan). Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, draft Kemal Pasha ini ditolak. Kemal Pasha pun mencari alasan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Nasional ini. Caranya adalah dengan melibatkan Dewan Perwakilan Nasional ini dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah krisis memuncak, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Kemal Pasha sebagai ketua Parlemen, yang diharapkan bisa menyelesaikan kondisi kritis tersebut.

Setelah resmi dipilih menjadi ketua parlemen, Kemal Pasha mengumumkan kebijakannya; mengubah sistem khilafah dengan republik, yang dipimpin seorang presiden yang dipilih melalui pemilihan umum. Pada tanggal 29 Oktober 1923 M, Kemal Pasha dipilih oleh Parlemen menjadi presiden Turki yang pertama. Namun, karena track record Kemal Pasha yang dikenal buruk di mata kaum Muslim, ambisinya untuk membubarkan Khilafah Islam ini tidak mulus. Mustafa Kemal Pasha dianggap murtad, dan rakyat pun mendukung Sultan Abdul Majid, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tidak menyurutkan langkah Kemal Pasha. Justru sebaliknya, dia melancarkan serangan balik, dengan melakukan penyesatan politik dan pemikiran, bahwa siapa saja yang menentang sistem republik adalah pengkhianat bangsa, dan harus dihukum mati. Akhirnya, berbagai teror dilakukan oleh Kemal Pasha untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Pada saat yang sama, Khalifah digambarkan sebagai sekutu asing sehingga harus dienyahkan.

Setelah situasinya kondusif, Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional, dengan draft keputusan yang sudah di tangan. Tepat pada tanggal 3 Maret 1924 M, Kemal Pasha mengumumkan pemecatan Khalifah, pembubaran sistem khilafah dan menjauhkan Islam dari negara. Inilah titik klimaks revolusi kufur yang dilakukan oleh Kamal Attaturk,la‘natu Allâh ‘alayh.


Kesimpulan

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan, bahwa faktor utama yang menyebabkan kemunduran dan hancurnya Khilafah Utsmaniah tak lain adalah buruknya pemahaman keislaman umat Islam dan kesalahan dalam menerapkan Islam pada waktu itu. Dari kedua faktor inilah, persoalan-persoalan derivat lainnya lahir dan berkembang. Akhirnya, berbagai konspirasi yang dilakukan oleh negara-negara imperialis Barat dengan mudah mendapatkan tempat. Inilah yang juga menjadi pintu masuknya orang-orang non-Muslim, termasuk mata-mata asing, di dalam negeri, sehingga gerakan misionaris bergerak dengan leluasa di negeri-negeri Islam, sembari menyebarkan racun nasionalisme dan patriotisme. Dari sinilah, gerakan-gerakan nasionalisme dan patriotisme, yang menuntut kemerdekaan negeri mereka, yang notabene akan menyebabkan wilayah mereka terlepas dari Khilafah Islam itu bermunculan. Karena faktor yang sama, usaha mulia dan brilian Sultan Abdul Hamid II melalui Pan-Islamisme-nya pun kandas di tangan para anggota Free Masonry, yang notabena adalah putra-putri umat Islam.

Lepasnya wilayah Islam, satu persatu dari negara induk menyebabkan lemahnya kekuasaan Khilafah Utsmaniah sehingga yang tersisa hanya Turki. Dengan mundurnya taraf pemikiran politik umat dan penguasa pada saat itu, upaya Inggris, Prancis, dan Rusia untuk menyeret Khilafah Utsmaniah dalam Perang Dunia I pun tak terbendung. Kekalahan pihak Jerman-Utsmaniah ini menyebabkan Khilafah Utsmaniah tunduk pada syarat-syarat yang ditetapkan oleh negara pemenang perang. Akhirnya, tinggal sekali pukulan telak, institusi yang telah rapuh ini telah cukup untuk diruntuhkan. Eksekusi itu diserahkan pada Markas Istambul, dengan Mustafa Kemal Attaturk sebagai eksekutornya. [Hizbut Tahrir Online]

No comments:

Post a Comment