Pages

Sunday, January 24, 2010

Sang Pemimpi

Sang Pemimpi

*
*

Setiap kita pasti mempunyai impian. Ketika kecil, mungkin kita masih ingat ketika ada yang bertanya “nanti sudah besar mau jadi apa ?” diantara kita ada yang menjawab mau jadi pilot, dokter, arsitek, guru, dan bahkan ada yang bermimpi menjadi seorang presiden.

Seiring waktu berlalu, mimpi yang dulu kita harapkan ada yang dapat terwujud. Dan pada saat itu kita merasa bangga dengan keberhasilan mewujudkan impian tersebut. Namun, ada juga yang tidak dapat mewujudkan mimpinya, dan bahkan ‘mengubur dalam-dalam’ semua yang pernah diimpikannya.

Terlepas dari terwujud atau tidaknya suatu impian, bukanlah menjadi sebuah persoalan. Tetapi yang perlu diperhatikan adalah, sejauh mana usaha kita mewujudkan impian tersebut ? Dalam tulisan ini, saya coba mengambil sepenggal kisah yang ditulis oleh Salim A. Fillah dalam bukunya berjudul Jalan Cinta Para Pejuang. Mudah-mudahan sepenggal kisah ini dapat mengetuk hati kita untuk terus berusaha mewujudkan apa yang kita impikan.

******

Ia pemuda biasa. Lahir dari keluarga miskin lagi pengungsi. Ia bermimpi untuk melawan kezhaliman yang mencakar koyak wajah bumi para Nabi, tanah kelahirannya, sejak pertengahan abad lalu. Suatu hari masih dalam sengatan mimpinya, ia bersama teman-temannya membuat sebuah acara kemah ketangkasan di pantai Gaza. Dan dari sanalah kisah menakjubkan itu dimulai.

Di akhir acara mereka berlomba, mereka saling adu ketahanan. Siapa bisa melakukan head-stand, berdiri dengan kepala dalam jangka waktu terlama, dialah sang pemenang. Sang pemenang berhak digendong bergantian selama perjalanan pulang.

Tiap menit, satu demi satu menyerah. Lalu tinggalah dia sendiri, pemuda itu. Dia masih terus bertumpu di atas kepalanya bahkan sampai beberapa jam kemudian! Gila! Teman-temannya berseru-seru. Tapi ia tak beranjak. Wajahnya dicobakan untuk tetap tersenyum. Hingga pada satu titik waktu, ia tak tahan lagi. Serasa ada yang meledak di kepalanya. Lalu ia jatuh. Sayangnya saat mencoba bangkit, ia limbung. Ia jatuh lagi. Dan kakinya sulit digerakkan, bahkan serasa tak mampu menahan berat tubuhnya. Hari itu, usianya baru enam belas tahun. Dan perkenalkan, nama pemuda itu adalah.. Ahmad Yassin.

Ia lumpuh di usia remajanya. Tapi mimpinya tak ikut lumpuh. Mimpi itu tetap menyala. Bahkan kian berkobar. Dengan kelumpuhannya ia memilih untuk menjadi guru agama Islam di sebuah sekolah dasar. Dan karena mimpi-mimpinya yang menjulang, murid-muridnya tersengat. Konon, tiap kali ia mengajarkan sesuatu, murid-muridnya bak kerasukan. Mereka begitu bersemangat mengamalkan apa yang dikatakannya.

Suatu hari disinggungnya soal shalat malam. Maka paginya para wali murid memprotes pihak sekolah karena anak-anak mereka jadi bergadang semalaman menantikan sepertiga malam terakhir untuk shalat. Suatu hari, disinggungnya pula tentang puasa sunnah. Maka para orangtua pun kelabakan karena hari-hari berikutnya anak-anak mereka yang masih kecil memboikot sarapan pagi dan makan siang untuk berpuasa. Padahal musim panas begitu dahsyat dengan siang panjang bermandikan matahari.

Duhai kekuatan apakah itu, yang ada pada guru lumpuh itu? Itulah kekuatan jiwa. Begitu kokohnya ia hingga jasad yang rapuh itu bagaikan matahari, bersinar meledakan. Bertahun-tahun dia dipenjara Israel, sampai manusia pun bertanya apa bahayanya orangtua yang lumpuh penyakitan ini? Dokter-dokter di penjara Israel hampir-hampir menganggapnya laboratorium hidup, karena hari tak berganti tanpa bertambahnya jenis penyakit di tubuh sang singa yang berkursi roda.

Inilah lelaki yang ditakuti Israel. Bukan yang seperti Rambo. Bukan yang badannya sekekar Ade Rai. Hanya seorang lelaki lumpuh berkursi roda yang bicara pun terbata-bata. Suaranya juga kecil hampir kehabisan bunyi. Tetapi kekuatan jiwa itulah, jiwa yang dipenuhi mimpi, keyakinan pada janji Ilahi, membuatnya begitu perkasa, begitu berwibawa di hadapan jutaan pasukan bersenjata lengkap berkendara lapis baja. Perkenalkan, namanya Ahmad Yassin..

No comments:

Post a Comment