Pages

Saturday, December 29, 2012

Kisah Tentang Komandan Utsman al-Ghomidi

Aku seperti anak muda yang lain, yang berlati setelah mencari kesenangan di dunia yang murah ini. Aku menyelesaikan SMU dan kemudian mendaftar ke angkatan laut. Aku berdinas di Angkatan Laut selama dua tahun, tidak peduli sama sekali dengan segala yang terjadi pada ummat islam ku. Yang menjadi perhatianku hanyalah bagaimana bekerja dan punya uang. Tapi aku tidak bahagia. Aku tidak merasa puas dan sebuah konflik batin berkecamuk dalam diriku. Hingga tiba suatu hari ketika Alloh memberiku petunjuk ke jalan yang benar. Aku mulai tidak terlalu fokus pada pekerjaan ku dan lebih banyak menghabiskan waktu di masjid. Aku mulai mengejar tiap kesempatan untuk beramal sholeh apa saja demi melayani umat, seakan menyadari waktuku semakin sedikit, setelah lama sebelumnya tidak peduli. Tapi ternyata aku tidak juga merasa bahwa yang aku lakukan itu sudah sepadan. Aku menyaksikan, bahwa umat ini memerlukan hal yang lebih dari sekedar amal sosial seperti menyantuni para janda dan anak yatim. Aku merasa umat ini tengah dikepung musuh dan aku harus mengambil tindakan untuk menyelamatkannya. Ada luka menganga yang dalam, dan aku ingin bisa menyembuhkannya. Lalu aku menyadari bahwa semua itu tidak dapat dilakukan kecuali melalui jihad serta i’dad (persiapan) untuk terjun ke dalamnya.

Pada saat itu aku memutuskan berangkat ke Imaroh Islam Afghanistan, negerinya para mujahidin dibawah kepemimpinan Thaliban. Disana aku bisa mendapatkan berbagai pelatihan yang aku butuhkan. Tetapi aku tidak dapat bepergian bebas karena Pemerintah Saudi tidak mengijinkan anggota militernya ke luar negeri kecuali setelah mendapatkan ijin khusus dan setelah menunggu sangat lama melewati berbagai prosedur yang rumit. Maka aku berusaha mendapatkan pembebasan tugas dari dinas militer. Tapi masih ada persoalan lain, diperlukan uang yang tidak sedikit untuk belak perjalananku. Aku berusaha berbagai cara agar dapat menyiapkan kepergianku. Aku berusaha membuat paspor palsu tetapi tidak berhasil. Aku berdoa selalu kepada Alloh agar dia memudahkan aku. Sampai kemudian aku berjumpa dengan seorang ikhwah yang tidak hanya mengatur urusan paspor ku, tapi juga malah memberiku sejumlah uang untuk perjalanan.

Waktunya pun tiba, dan aku mengucapkan salam perpisahan kepada keluargaku, hanya saja aku tidak memberi tahu tujuan perjalananku. Aku pergi melewati bandara lokal sebelum akhirnya terbang ke Karachi, Pakistan, setelah transit di Bahrain dan Doh, bersama pertolongan Alloh lah mujahidin mampu mengatasi segala rintangan yang paling sulit sekalipun. Kita harus yakin penuh pada pertolongan Alloh.

Setelah tiba di Bandara Karachi, aku segera naik taksi ke hotel terdekat, dimana aku beristirahat di malam hari. Sembari beristirahat di hotel, aku menghubungi koordinatorku untuk memberi tahu bahwa aku telah tiba. Tak berapa lama, resepsionis hotel datang menyampaikan ada orang yang hendak bertemu. Segera aku mengemasi barang-barang dan check-out dari hotel untuk bertemu dengan ikhwah yang sudah menunggu di dalam taksi. Ternyata ikhwah yang menjemput ini berkebangsaan Arab.

Setelah menyepakati beberapa sandi (bahasa kode), aku pun pergi dengannya. Aku sungguh terkesan dengan organisasi dari segenap ikhwah ini, transportasinya, cara kerjanya, jaringan komunikasinya, koordinasinya, bahkan mereka telah menyiapkan paspor baru untuk ku. Mereka ini seperti “negara di dalam negara”. Dan yang lebih mengesankan ku adalah betapa mereka mendedikasikan diri secara penuh dalam pekerjaannya, padahal mereka ini hanyalah sukarelawan yang tidak mendapat upah.

Selama perjalanan, tidak henti-hentinya sang ikhwah ini menyambutku dan menggembirakanku. Akhirnya sampailah kami di guesthouse (wisma tamu). Disana aku menyaksikan orang dari berbagai bangsa, dan semuanya menyambutku dengan senyum di wajah mereka.

Semua ikhwah ini datang dengan satu tujuan bersama : melayani islam. Dan masing-masing memiliki program serta tujuannya sendiri. Aku meletakkan barang bawaan di satu ruangan lalu bertemu dengan amir dari guesthouse. Sang amir menawariku untuk menelpon keluarga untuk mengabarkan keadaanku baik dan telah di tujuan dengan selamat.

Aku beristiharat satu malam di guesthouse dan keesokan harinya segala sesuatu telah diatur untuk keberangkatanku ke Afghanistan. Aku menumpang pesawat dari Karachi ke Quetta, sebuah daerah dekat perbatasan Afghanistan. Dari Quetta, perjalanan dilanjutkan dengan taksi menuju ibukota Imaroh Islam Afghanistan, Kandahar.

Beberapa saat sebelum melewati perbatasan Pakistan, kami bersujud syukur kepada Alloh, karena berkat karunianya kami dapat sampai ke Afghanistan.

Ketika tiba di Kandahar, kami disambut oleh segenap ikhwah Thaliban yang terus menerus berkata : “Kalian adalah saudara Arab dan kami mencintai kalian karena Alloh”.

Kami pun dibawa ke satu wisma penampungan para sukarelawan baru. Kami tiba di wisma pada sore hari, dan aku menghabiskan malam bersama orang-orang terbaik yang pernah aku temui.

Esok harinya kami dibangunkan oleh kedatangan serombongan kendaraan yang membawa beberapa kelompok orang bersenjata, mengapit di tengahnya sebuah Van. Ketika rombongan berhenti, seluruh pria bersenjata melompat turun dari kendaraannya lalu bersiaga dalam formasi tempur mengelilingi Van. Sungguh mengejutkan, Syaikh Usamah sendiri yang datang untuk menyambut kami! Syaikh Usamah menyalami kami satu per satu dan bertanya tentang kabar kami.

Beliau khususnya sangat ingin tahu kabar perkembangan terbaru dari Jazirah Arab. Syaikh kemudian pergi setelah menginstruksikan kami untuk bersiap menuju Kamp Al Faruq. Kami pun bersiap-siap, keesokan harinya kami berangkat ke tempat dimana para pria sejati di tempa : Kamp Al Faruq.

Butuh beberapa jam untuk mencapai kamp tersebut. Ketika kami tiba para instruktur menyambut kami dengan hangat bersama senyum di wajah mereka. Ketika itu aku menyaksikan bagaimana kami disambut dengan penuh takzim dan keramahan, aku lalu membandingkan dengan apa yang pernah aku alami di dinas angkatan laut. Kami diterima dengan olok-olokan dan kata-kata kotor. Aku masih ingat perkataan salah seorang perwira AL : “Tinggalkan seluruh kelakuan baik, harga diri dan etika di luar gerbang sana. Ketika kalian pergi dari sini, kalian baru dapat memakainya kembali jika kalian mau. Tetapi disini kesemua hal tersebut tidak diperbolehkan, apa yang harus kalian miliki hanya satu : kepatuhan mutlak!”

Setelah beristiharat sejenak, kelompok instruktur yang menyambut kami pergi kecuali satu orang, yang memperkenalkan diri bahwa ia adalah pelatih kami. Beliau membacakan beberapa instruksi lalu membawa kami berkeliling kamp sambil menerangkan kepada kami secara detil beberapa pengenalan tentang program pelatihan yang akan kami ikuti. Ia lalu pergi untuk mempersilahkan kami beristirahat dan mempersiapkan diri untuk program pelatihan esok hari.

Pelatihan pun di mulai. Hari-hari kami berlalu dengan diisi dengan berbagai program kemiliteran dan pendidikan agama. Ada jadwal-jadwal tertentu Syaikh Usamah datang mengunjungi kami untuk memberikan nasehat serta mengobarkan semangat kami. Pada suatu kesempatan, Syaikh menyampaikan bahwa ada beberapa ikhwah mujahidin yang akan melancarkan serangan terhadap musuh (Amerika) di negaranya. Dan beliau meminta kami untuk banyak berdoa demi kesuksesan mereka.

Setelah sekitar satu bulan, Syaikh memerintahkan kami untuk dibagi dalam beberapa kelompok. Aku terpilih digabungkan dalam satu kelompok yang berjumlah lima puluh orang untuk mengawal Syaikh Usamah. Kami meninggalkan kamp dengan menumpang bus dan menginap di sebuah guesthouse. Kami kemudian dibawa ke Kabul.

Beberapa hari berlalu, hingga kami mendengar berita tentang terbunuhnya Ahmad Syah Mas’ud. Sungguh itu merupakan kabar gembira bagi kami. Kemudian kami menuju Torgar, dekat Jalalabad, di Timur Afghanistan. Inilah tempat dimana Syaikh Usamah menyampaikan sumpahnya yang terkenal : “Amerika dan siapapun yang tinggal di Amerika tidak akan merasakan kedamaian dan keamanan hingga kami merasakannya di Palestina.”

Semenjak tiba di Torgar, kami mengikuti perkembangan berita dari radio secara intensif, karena Syaikh menyampaikan bahwa waktunya sudah dekat bagi pelaksanaan amaliyat maka “pasang telinga kalian untuk mendengar berita”. Tak lama kemudian kami pun mendengar berita yang menggemparkan dunia itu, dunia digetarkan oleh Peristiwa 11 September.

Awalnya kami tidak percaya. Kami telah menghantam Amerika di negerinya sendiri, dengan menggunakan pesawat mereka sendiri sebagai senjatanya. Kami berhasil menghantan perekonomian mereka serta melemahkan kekuatan mereka. Kami telah membuat mereka harus minum dari gelas yang sama seperti yang mereka sodorkan kepada umat kita selama bertahun-tahun. Kini kita seimbang. Pesan yang disampaikan sangat jelas : “Kami akan membunuh kalian sebagaimana kalian membunuh kami. Dan ketika kalian melancarkan teror kepada kami, maka kami pun akan melancarkan teror kepada kalian.”

Itu adalah hari yang sangat istimewa. Mujahidin sangat bahagia, dan kebahagiaan mereka semakin bertambah ketika menyaksikan perayaan seluruh umat islam atas Peristiwa September itu, khususnya segenap saudara kita di Palestina.

Persoalan Palestina adalah salah satu alasan mujahidin menyerang Amerika. Kami ingin membelaskan dendam atas nama saudara-saudara kami di Palestina, dengan menyerang negeri yang menjadi alasan berdirinya negara israel. Kini menjadi jelas bagi setiap orang, dekat atau jauh, bahwa mujahidin mampu untuk melancarkan balasan kepada musuh dan melindungi umatnya, meskipun jumlah mereka sedikit dan perbekalan mereka seadanya.

Tak lama setelah hari yang penuh berkah itu, kami segera mulai mempersiapkan diri. Syaikh Usamah bersama segenap pimpinan lainnya berpindah ke tempat yang aman, sementara kami mempersiapkan diri menghadapi pertempuran.

Kami menggambar peta, melakukan survei tempat, menggali parit perlindungan, dan membangun pertahanan. Beberapa hari kemudian kami diperintahkan berangkat ke Tora Bora. Aku termasuk kelompok yang pertama tiba di puncak gunung. Mujahidin tiba kelompok demi kelompok di puncak gubung hingga jumlah kami kurang lebih 300 orang (konon jumlah mereka 313 mujahidin, mirip dengan jumlah sahabat Nabi SAW dalam Perang Badar, pent). Amerika menyebarkan berita palsu yang mengklaim bahwa jumlah kami lebih dari tiga ribu orang.

Kami segera menyiapkan area untuk bertempur menghadapi Amerika beserta sekutunya, dengan menggali parit perlindungan dan basis pertahanan di puncak gunung Tora Bora.

Pada tanggal 7 Oktober 2001, Amerika memulai serangan pembomannya. Mereka mulai menyerang menyerang Kandahar, lalu Kabul, Jalalabad dan Tora Bora. Serangan tersebut adalah serangan bom yang sangat ganas dan massif. Tetapi rahmat Alloh turun menyelimuti kami, hingga terjadi peristiwa menakjubkan (karomah). Dalam kecamuk hujan bom yang ganas itu, kami malah jatuh tertidur dengan nyenyak. Keesokan harinya ketika aku bangun, aku bertanya pada segenap saudaraku yang lain, ternyata banyak diantara mereka yang juga mengalami hal yang sama.

Pembombardiran atas Tora Bora semakin meningkat. Seakan tiada akhir dan tanda jeda. Hal itu disebabkan adanya rumor bahwa Syaikh Usamah dan Dr. Aiman ada disana. Ya, mereka bersama kami dan mereka mengalami seluruh peristiwa yang kami alami. Mereka menolak untuk pergi meninggalkan kami, hingga sehari menjelang gerak mundur kami. Itupun setelah kami memaksa mereka untuk segera mengevakuasi diri dari area tersebut.

Bom jatuh dari langit seperti curahan hujan. Tetapi kasih sayang Alloh tercurah lebih deras dan lebih kuat dari seluruh roket dan misil yang ditembakkan Amerika. Amerika hanya berani menyerang dari udara, dan tidak berani melayani pertempuran duel di lapangan. Kami menanti tentara Amerika di Tora Bora dan tidak ada satu pun yang datang. Tidak ada pertempuran dengan tentara Amerika (yang terkenal itu), kecuali dengan tentara Afghan yang munafiq pada dua belas hari terakhir.

Kami menerima perintah untuk mundur ke Pakistan, maka kami meninggalkan Tora Bora bersama kenangan yang luar biasa. Disana kami menguburkan sekitar lima puluh saudara kami yang terbunuh syahid. Aroma wangi yang pekat keluar dari jasad pada syuhada tersebut. Tiga hari kami berjalan menerobos gubung, kami makan dan minum salju, kami tidur berselimut salju, kami turun melintasi tebing ke tebing dengan saling bergabtung satu dengan yang lain. Hingga akhirnya kami tiba pada satu kabilah di perbatasan Pakistan.

Orang-orang di kabilah tersebut menyambut kami dan mempersilahkan kami menginap di rumah mereka. Kami tidak sadar bahwa kami tengah berada ditempat yang salah. Kami sepenuhnya percaya kepada mereka dan menyerahkan senjata kami kepada mereka dalam rangka memudahkan kami menerobos perbatasan Pakistan.

Setelah satu hari, mereka mengumpukan kami dalam sebuah masjid. Disana telah menunggu tiga buah bus yang diparkir dan tiba-tiba sekeliling masjid telah dikepung oleh tentara dan polisi Pakistan. Kami baru sadar bahwa kabilah tersebut telah menjebak kami dan menjual kami kepada militer Pakistan. Kami semua berjumlah sekitar seratus orang, beberapa ikhwah berusaha lari dari masjid. Aku termasuk diantara mereka yang lari dari masjid. Aku berlari, lalu kemudian ada dua ikhwah menyusul. Kami meminta salah seorang penduduk untuk menolong kami menyelundup ke arah teluk. Orang itu setuju, lalu menyembunyikan kami bertiga di rumahnya. Tak lama kemudian menyusul seorang ikhwah lagi, hingga jumlah kami menjadi berempat.

Kami sepakat untuk membagi menjadi dua kelompok, dua-dua orang. Kelompok yang pertama dapat lolos dengan selamat. Sementara aku dan seorang ikhwah tertangkap di salah satu pos pemeriksaan. Kami dipukuli sampai babak belur karena kami berusaha melawan. Kami berdua kemudian dibawa ke penjara terdekat. Kamudian dari sana kami diangkut ke Penjara Militer Kohat. Di Kohat aku menyaksikan banyak ikhwah mujahidin yang lainnya tertangkap. Aku merasa sedikit tenang.

Selama di Kohat, Pemerintah Pakistan menginterogasi kami, diikuti oleh beberapa petugas FBI yang mengambil foto dan sidik jiri kami. Kami tinggal di Kohat selama beberapa pekan. Setelah itu kami diangkut dengan menggunakan pesawat kargo Amerika. Setelah beberapa jam, kami mendarat di Kandahar, dimana Amerika telah membangun markas militer darurat.

Di Kandahar, mujahidin menghadapi berbagai penyiksaan yang brutal, dengan menggunakan berbagai metode yang mengerikan. Beberapa saudara kami terbunuh syahid akibat penyiksaan kejam itu. Orang Amerika juga menggunakan berbagai macam cara untuk menghinakan dan merendahkan agama dan keyakinan kami (Islam).

Lamanya kami tinggal di sana bervariasi. Beberapa orang hanya menetap selama beberapa minggu, tapi yang lain ada yang sampai berbulan-bulan. Aku memilih untuk berterus terang dan langsung pada pokok persoalan. Aku katakan pada orang yang menginterogasiku bahwa aku pergi ke Kandahar untuk berjihad dan aku dilatih di kamp Al Faruq. Hal ini membuat aku tidak lama tinggal di Kandahar. Aku hanya tinggal disana selama dua pekan, untuk kemudian dipindahkan ke penjara di Teluk Guantanamo dengan menggunakan pesawat kargo.

Gambaran tentang perjalanan panjang tersebut dapat anda lihat diberbagai media. Selama perjalanan, kami dilarang berbicara atau pun bergerak, kami juga tidak diperbolehkan mendengar atau melihat apapun. Perjalanan berlangsung kurang lebih selama 24 jam.

Di Guantanamo, kami disambut dengan ejekan, hinaan, dan pukulan hingga kami dijebloskan ke dalam sel penjara. Inilah permulaan dari program kotor Amerika terhadap kami. Mereka menghina agama kita, dan menjadikan kami sasaran dari berbagai macam cara penyiksaan fisik maupun psikis. mulai dari pelarangan tidur selama selama berhari-hari, penyiksaan dengan air, hingga penyiksaan dengan suhu panas dan dingin yang ekstrim di dalam ruangan khusus. Mereka juga memanfaatkan kami sebagai bahan eksperimen. Sebagai contoh, mereka bereksperimen untuk melihat bagaimana efek suatu obat-obatan kepada manusia, maka mereka menggunakan kami sebagai bahan eksperimen sehingga kami menyaksikan beberapa ikhwah tidak bisa tidur berhari-hari, sementara ikhwah yang lain terlelap tidur berhari-hari.

Seorang ikhwah sempat melontarkan lelucon : “Tampaknya orang Amerika tengah menggunakan tubuh kita sebagai persediaan spare-part mereka.”

Mereka kadang mengekspos kami dengan membiarkan kami kelaparan, dan kadang mereka menggoda kami dengan memanfaatkan wanita. Alhamdulillaah, karena Dia tidak diam, Dia menurunkan perlindungan kepada kami. Kami dapat membela Al Qur’an, dan kami mengambil apapun yang kami butuhkan dari mereka dengan kekuatan. Sungguh kemuliaan seorang muslim hanya ada di dalam Jalan Jihad.

Kami pun mulai dapat menerima berita dari saudara kita mujahidin, meskipun jarak antara kami dengan mereka terpisah ribuan mil. Kadang kami mengetahui apa yang terjadi di dunia tanpa tahu persis bagaimana kejadiannya. Sebagai contoh, kami mengetahui bahwa Amerika dikalahkan dalam suatu front ketika bendera mereka dikibarkan setengah tiang di basis militer Guantanamo. Kadang datang berita dari Afghanistan. Dalam masa itu kami banyak mendengar tentang Syaikh Abu laits Al-Libi (rohimahulloh). Kami juga mendengar berita tentang segenap ikhwah mujahidin di Jazirah Arab, dan kami senantiasa menyertai mereka dengan jiwa dan doa kami.

Suatu hari para sipir penjara datang dengan wajah gembira, mereka bernyanyi dan berdansa. Ketika kami bertanya mengapa mereka terlihat sedemikian gembiranya seperti itu, mereka berkata bahwa Amerika telah menginvasi Iraq. Salah seorang dari mereka berkata dengan bangganya : “Hari ini kami merenggut Afghanistan, esok Iraq, dan lusa pasti kami akan mengambil Makkah.”

Itu adalah pemaparan mereka, dan mereka menegaskan hal itu adalah bagian dari rencana terperinci, dan bahwa hal itu juga diajarkan setiap saat dalam doktrin gereka mereka. Tetapi mimpi mereka (menginvasi Iraq) hancur berantakan dengan bangkitnya para pemuda lelaki sejati dari umat ini, seperti Abu Mush’ab Az Zarqowi (rohimahulloh). Kami menakut-nakuti mereka dan membuat mereka marah dengan menyebut nama Abu Mush’ab Az Zarqowi.

Nama beliau (Subhanalloh!) begitu membuat mereka takut. Hingga kadang, jika kami menyebut nama beliau dihadapan tentara Amerika itu, beberapa orang diantara mereka akan datang kepada kami dan meminta maaf atas apa yang telah mereka lakukan. Ada juga beberapa tentara yang bunuh diri sebelum ditugaskan ke Iraq (dari Guantanamo), karena sangat takut menghadapi mujahidin yang dipimpin oleh Abu Mush’ab (semoga Alloh memuliakan kedudukanmu wahai Amir Dzabbahin, salah seorang muasis Daulah Islam Iraq, pent).

Pengorbanan serta aksi saudara kami mujahidin memainkan peran yang penting dalam proses pembebasan kami dari Guantanamo. Bahkan sesungguhnya merekalah alasan utama pembebasan kami sebagaimana salah seorang pengacara kami berkata : “Menempuh sistem legal akan memakan waktu yang sangat lama dan hampir dipastikan kalian tidak akan dapat keluar dari sini. Tetapi pisau Abu Mush’ab mampu melakukannya” (kita mungkin pernah menyaksikan satu atau beberapa film yang memperlihatkan bagaimana mujahidin menyembelih seorang western yang bernama Nicholas Berg, sebuah rilisan yang terkenal dan sangat menggentarkan, pent).

Setelah menghabiskan sekitar lima tahun, kami diberitahu akan dibebaskan. Tetapi pembebasan ku ditunda selama beberapa bulan, karena aku mengatakan terus terang kepada mereka bahwa segera setelah aku bebas, aku akan bergabung kembali dengan mujahidin. Dalam satu bulan, mereka membunuh tiga orang temanku yang dipenjara dalam satu blok tahanan dengan sel ku.

Menjelang semakin dekatnya saat pembebasan, perasaan sedih dan gembira meluap bercampur aduk dalam hatiku. Perpisahan adalah sesuatu yang sulit. Hatiku remuk-redam karena harus berpisah dengan segenap ikhwah yang telah menghabiskan waktu bersama-sama dalam perjuangan di penjara selama lima tahun. Kami kemudian diangkut dengan bus lapis baja ke bandara dimana sebuah pesawat jet Saudi telah menunggu.

Ada enam belas orang dalam kelompok kami. Ketika kami masuk pesawat, ada sekitar tujuh puluh orang di dalam, termasuk kru pesawat, orang-orang dari dinas intelijen dan polisi. Ketika pesawat lepas landas, kami menyampaikan salam (perpisahan) kepada Teluk Guantanamo, bumi dimana ia sempat mendapatkan keberkahan Alloh karena disana dikumandangkan Adzan dan ditegakkan sholat oleh Mujahidin Fii Sabilillah. Bumi tersebut sempat merasakan keberadaan kaum muwahiddin yang menyembah Alloh.

Pesawat sempat transit di Maroko untuk mengisi bahan bakar, kemudian melanjutkan perjalanan ke Riyadh. Sesampainya di Riyadh, kami diangkut dengan bus ke penjara al-Hayer. Inilah penjara, dimana banyak para ulama kita, para akhwat muslimah yang suci, serta segenap saudara kita mujahidin telah mendekam begitu lama di dalamnya.

Mereka menempatkan kami di al-Hayer dalam satu sel bersama, selama tiga bulan. Kami sempat diperbolehkan keluar selama sepekan, dan dalam masa itu aku memutuskan menikah. Kemudian kami dimasukkan kembali ke dalam penjara selama empat bulan. Pejabat Pemerintah menginterogasi kami, dan kami dimasukkan dalam program rehabilitasi dimana kami harus mengikuti segenap pengajaran dari ulama pemerintah yang mencoba meyakinkan kami bahwa jihad itu haram kecuali jika penguasa mengijinkannya. Bagaimana bisa para penguasa ini, yang sejatinya mereka telah murtad dan menjadi agen Amerika, akan memerintahkan kami untuk berjihad melawan Amerika!

Para masyaikh ini mendesak kami untuk mengutuk dan menyelahkan berbagai aksi dari segenap saudara kita mujahidin, seperti Abu Isa al-Muqrin dan Sholih al-Aufi, tapi kami menolaknya. Bahkan salah seorang ikhwan kami menolak untuk bersalaman dengan Muhammad bin Nayef (Asisten Sekertaris Menteri Pertahanan) karena ia menegaskan bahwa tangan Nayef itu berlumur darah saudara kita mujahidin. Hingga saat aku menulis kisah ini, saudaraku tersebut masih mendekam dalam penjara. Semoga Alloh mempercepat pembebasannya. Ada lagi seorang ikhwah yang diberi uang untuk menikah, tapi beliau malah menggunakan uang tersebut untuk mendanai seorang ikhwah mujahid berangkat ke Afghanistan.

Terlepas dari kebodohan mereka (Rezim Alu Saud), Pemerintahan Alu Saud menyangka bahwa mereka dapat membeli segenap ulama, seperti yang ambil bagian dalam program rehabilitasi. Aku akan memberikan contoh tentang salah seorang diantara mereka : Salah seorang ikhwan kami dinasehati oleh seorang syaikh dengan mengatakan bahwa berdoa saja sudah cukup sehingga tidak perlu lagi berjihad. Maka ikhwan kami ini berkata kepadanya, “Kalau seseorang mendobrak rumahmu dan bermaksud memperkosa istrimu, apakah kamu hanya akan berdoa saja serta tidak berusaha isterimu?” Syaikh tersebut menjawab, “Ya, aku akan berdoa dan aku akan berkata pada orang jahat itu : Aku meminta kepada Alloh supaya engkau tidak dapat menikmatinya.”

Beginilah keadaan para syaikh program rehabilitasi, para ulama sulthon (ulama penguasa), hamba dinar dan dirham, hamba dollar.

Ketika hari-hari kami dipenjara berakhir, kami dibebaskan dari sel yang kecil ke “sel yang besar”. Kami memang dibebaskan dari penjara, tetapi hidup kami hampir sama seperti orang yang dipenjara. Kami selalu diikuti agen intelijen kemana saja kami pergi, kami juga diharuskan mengikuti segala prosedur serta aturan yang mereka paksakan. Secara berkala mereka selalu menelpon kami, bertanya ini dan itu, dan mereka beralasan bahwa mereka menelpon untuk mengetahui bagaimana keadaan kami.

Kemana saja kami pergi, mereka selalu mengikuti kami seperti banyangan. Seluruh gerakan kami selalu dipantau. Kami juga dilarang bepergian ke luar kota kecuali setelah mendapat ijin tertulis. Kami harus menjelaskan dengan detil kendaraan seperti apa yang kami gunakan dalam bepergian, berapa orang yang akan menemani, siapa saja mereka, tempat tujuan, lokasi tepatnya, kapan berangkat dan kapan kembalinya, serta kami diharuskan memberikan nomor kontak telpon supaya mereka dapat menghubungi kapan saja.

Berbagai pembatasan terus ditingkatkan setiap saat. Selama masa tersebut, kami berusaha membuka kontak dengan saudara-saudara kami mujahidin di front terdepan. Kami akhirnya berhasil menjalin kontak dengan segenap saudara kami di Yaman. Kami mulai mempersiapkan rute perjalanan, tetapi pengawasan terhadap kami semakin diperketat. Lingkungan kampung tempat tinggalku dikelilingi oleh para mata-mata, dan kemana saja aku pergi mereka selalu menguntit.

Tindakan memalukan ini mereka lakukan bahkan ketika aku ditemani keluargaku. Kalau aku pergi ke masjid untuk sholat, mereka akan ikut sholat. Jika aku pergi ke toko, mereka akan ikut masuk ke toko. Pun ketika aku naik mobil, maka mereka akan menguntit dengan mobilnya. Dan jika aku turun, maka mereka juga turun dari mobilnya.

Aku sholat istikhoroh dan memutuskan untuk hijrah ke Yaman. Ketika waktu berangkat tiba, hujan sangat deras turun dari langit sehingga membuat jarak pandangan terbatas. Aku memanfaatkannya untuk menyelinap keluar menerobos pengawasan para petugas intelijen yang mengepungku. Alhamdulillah. Aku membayangkan seandainya aku menaburkan debu ke kepala dan mata mereka seperti yang dilakukan Rosululloh SAW ketika beliau hendak hijrah, untuk membuat mereka tahu bahwa aku juga telah berhijrah. Kami pergi untuk bergabung dengan saudara kita tercinta, mujahidin. Kami pergi ke bumi penuh izzah. Kami berjalan hingga mencapai perbatasan Yaman, dimana kami kemudian meninggalkan mobil kami, dan meninggalkan dibelakang kami seluruh dudia yang hina ini untuk bergabung ke Negeri Iman, ke negeri kaum anshor yang rentang sejarah telah membuktikan teladan nyata tentang memberi pertolongan, melayani dan berkorban demi Agama. Mereka menyambut kami dengan penyambutan yang luar biasa. Kini kami teah tinggal bersama saudara0saudara kami yang peling baik.

Akhirnya, aku punya pesan kepada Penguasa Alu Saud : Muutuu bighoidhikum! (Matilah kalian dengan kemarahan kalian!). Aku memohon kepada Alloh agar dia meneguhkan kami dan melimpahkan pertolongan kepada kami, dan aku mentahridh (mengobarkan semangat) segenap saudaraku (umat islam) untuk mempersiapkan dan menerjuni jihad. Pintu jihad itu banyak dan salah satunya adalah Jihad Individu.

Saudaraku tercinta, jangan lah engkau meremehkan serta kemampuan dirimu. Ramzi Yusuf itu seorang diri dan beliau adalah contoh teladan yang baik akan orang-orang berjihad secara indvidu. Jangan biarkan tentara Amerika, Inggris, atau Denmark atau tentara kafir manapun lebih bersemangat dan lebih gigih dalam mempertahankan kekufurannya serta prinsipnya dibandingkan kalian.

Ketahuilah, surga hanya dapat dibeli dengan harga yang sepadan. Dan surga adalah tempat dimana engkau belum pernah melihat sebelumnya, belum pernah mendengarnya, dan bahkan belum pernah engkau bayangkan sebelumnya.sumber

No comments:

Post a Comment