Pages

Wednesday, October 27, 2010

Konspirasi Kristian dengan Yahudi Menghancurkan Islam



Berkali-kali mereka bersekongkol, hingga kini. Makin canggih dan licik.

"Mengapa Islam kerap menghadapi banyak cubaan dan serangan dari musuh yang tiada henti-hentinya? Tapi mengapa pula Islam selalu terjaga dari segala cubaan dibanding agama lain yang banyak berakhir dengan menyedihkan?"

Mungkin jawaban kita bisa beragam. Ulama besar Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi, menyimpulkan dua hal penting; Pertama, Islam memiliki kekuatan yang dinamis dan serasi dengan keadaan zaman sehingga mampu memberikan alternatif terhadap segala persoalan. Kedua, kerana Allah swt telah menjamin dan akan menjaga Islam dengan cara melahirkan kader dakwah yang tangguh. Kerananya, seberat apapun serangan yang ditujukan kepada Islam, ummat ini tidak akan pernah mengalami kekosongan mujadid (pejuang agama).

Benar, sejak kehadirannya 1400 tahun lalu, agama ini telah mengalami serangkaian cubaan berat. Sejak awal, Islam selalu menghadapi serangan-serangan dari segala penjuru di mana agama lain tidak pernah menghadapinya. Menurut istilah Syaikh Abul Hasan Ali An-Nadwi, andaikata bukan Islam, belum tentu agama lain sanggup menghadapinya. Serangan dengan bentuk kekerasan fisik, kudeta, revolusi, sampai dengan bentuk upaya pencampuran ideologi oleh para konspirator untuk merosak Islam telah banyak dicubakan. Bahkan terus berlangsung hingga hari ini.

Tahun 1917, dengan sangat tidak elegan kaum milisi Kristian bersekongkol dengan negara Barat dan Eropa mengeroyok Islam secara beramai-ramai untuk merebut kota Baitul Maqdis. Persekongkolan itu merupakan usaha yang kesekian kali, setelah selama kurang lebih 90 tahun selalu dipatahkan tentara Islam. Tidaklah hairan, saat Baitul Maqdis jatuh atas konspirasi jahat, dengan bangganya Jenderal Gouron, seorang pemimpin panglima pasukan Perancis berteriak sambil menginjak-injak pusara pahlawan Islam dalam perang Salib, Salahuddin Al-Ayyubi. "Kami telah kembali, wahai Saladin", ucapnya. "Dan sejak saat ini, Perang Salib (crusade) sudah selesai,"tambah Lord Allenby, komandan gabungan milisi pasukan sekutu Inggris, Perancis, Itali, Rumania dan Amerika. Itulah kekalahan Islam di Jerusalem atas konspirasi jahat kaum Kristian, bangsa Barat dan Eropah. Semenjak itu, Palestin dan Baitul Maqdis selalu menjadi objek keserakahan sebahagian negara Barat, Eropah dan Yahudi.

Pernyataan Lord Allenby yang banyak menjadi headline akhbar-akhbar Inggeris ketika itu memang telah menandai berakhirnya istilah Perang Salib (crusade).

Tapi dalam kenyataannya, semangat Perang Salib terus menandai Kristian, bangsa Barat dan Eropah untuk melakukan penjajahan atas negeri-negeri lain di dunia ketiga. Utamanya negeri-negeri yang jelas majoriti penduduknya Muslim. Seperti yang telah banyak ditorehkan dalam tinta sejarah, bagaimana missi Kristian masuk ke Nusantara pada abad 15-16 bersamaan dengan misi penjajah Eropah (Portugis) ke dunia Timur. Dengan jelas, missi penjajah itu selain melakukan pengembangan wilayah juga mengembangkan agama Kristian. Semboyannya yang terkenal yaitu "Tiga-G": gold, glory, gospel (emas, kejayaan, missi Kristian).

Sejarawan Dr Aqib Suminto dalam bukunya, "Politik Islam Hindia Belanda" menulis bahwa agama Kristian mulai diperkenalkan oleh para pelaut Portugis yang datang ke dunia Timur pada abad ke-16, sambil membawa semangat Perang Timur. Ekpansi itu dimulai oleh perserikatan dagang Belanda yang diberi nama VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) untuk mencari rempah-rempah. Sambil berdagang, VOC tidak melupakan misi penyebaran agama Kristian dalam setiap ekspedisinya. Setelah berhasil mengatasi Katolik, pemerintah Belanda memusatkan perhatian menghadapi kelompok pribumi yang beragama Islam. Sebab, menurut Aqib Suminto, bagi Belanda penghalang utama kekuasaan kolonialnya adalah agama Islam dan pemeluknya. "Pidato tahunan raja bulan September 1901 —yang menggambarkan jiwa Kristian— menyatakan mempunyai kewajiban etis dan tanggungjawab moral kepada rakyat Hindia Belanda, yakni memberikan bantuan lebih banyak kepada penyebaran agama Kristian," tulis Aqib.

Adalah ucapan yang menarik dari D'albuquerqe saat menduduki Malaka, "Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor (sebutan untuk orang Muslim) dari negara ini dan memadamkan api sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini". Ucapan ini mirip dengan pidato petinggi militer Spanyol, Figueroa di depan pasukannya saat menjajah wilayah Muslim Mindanao, "Kita berdiri di atas tanah bangsa Spanyol yang baru. Menaklukkan hutan yang gelap ini dan menguasai tanah kafir-Muslim adalah misi kita. Mereka menyerah sebagai budak dan murtad atau jatuh di bawah pedang bangsa Spanyol. Majulah untuk misi kita demi Raja dan Negara." Missi Kristian, meski tidak menjadi prioritas utama —seperti halnya masa lalu— sering berjalan seiring dengan semangat penjajahan (kolonialisme).

Gereja, Barat, dan bangsa Eropah tahu betul, hanya dengan mengganti agama Islam dengan agama lain, missi penjajahan bisa terlaksana di negeri-negeri Islam. Sebab Islam tak ubahnya sebuah keyakinan yang hanya melahirkan orang-orang kuat dengan kepatuhan agama. 

Tidaklah berlebihan bila mantan Perdana Menteri Inggeris, yang sangat berkuasa di tahun 1882, Gladstone. Sambil membawa kopian al-Qur'an, penganut gereja Anglikan ini bicara di depan ratusan anggota Parlimen Inggeris kala itu. "Percuma memerangi ummat Islam, dan tidak akan mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam masih bertengger al-Qur'an. Tugas kita adalah mencabut al-Qur'an di hati mereka. Dan kita akan menang menguasai mereka," ucapnya.

Ucapan Gladstone itu kemudian menjadi rekomendasi penting Kerajaan Inggeris tentang bagaimana kiat menundukkan negeri-negeri Islam di wilayah jajahannya, termasuk terhadap Mesir.



Menuju Perang Peradaban 

Interaksinya selama berabad-abad dengan peradaban Islam, penjajah tahu betul betapa Islam adalah agama yang memiliki peradaban modern. Ideologinya tidak hanya mampu mengungguli kekuatan ketenteraan Barat, namun juga mengungguli peradaban dan intelektualitas mereka sekaligus. Kerana itu, ancaman peradaban Islam seperti ucapan jujur Prof Dr Huntington dalam The Clash of Civilization and the Remaking of World Order (1996) adalah suatu yang rasional. Atas pengalaman berharga itu, penjajah kemudian mengganti strateginya. Strategi baru pasca Perang Salib itu adalah melalui jalan perang peradaban dan pemikiran (ghazwul fikri). Penjajahan berwajah baru ini tak kalah liciknya dengan penjajah konvensional. 

Dr Ali Mohd Garisyah dan Mohd Syarif Azzibaq, dalam bukunya Asalibu Ghazwil Fikri lil `alamil Islami (Metode-metode Perang Pemikiran Terhadap Islam) mengatakan, salah satu tahapan penjajah pemikiran tersebut diantaranya adalah membangun pusat kajian-kaijan Ke-Islaman di Barat (Orientalisme). Lalu, menyebarkan missi Kristian dengan mengirim misionaris untuk menyingkirkan khilafah Islam di negeri-negeri muslim.

Menurutnya, Kajian Ketimuran (orientalisme) itu bertujuan mendukung dan membantu usaha perluasan daerah yang dilakukan oleh penjajah. "Kajian-kajian seperti itu secara disengaja untuk memisahkan ummat Islam dari sumber ajaran Islam yang murni. Dan menimbulkan rasa menyerah dan kerdil berhadapan dengan cara hidup barat dan nilai barat." Repotnya, kajian seperti itu telah melahirkan banyak tokoh dan bahkan dikagumi oleh pakar-pakar di dunia Islam sendiri. Di Mesir diantaranya muncul Taha Husin, Kasim Amin (pelopor women liberalism, Husin Fauzi, Ali Abdur Raziq dan banyak lagi. Ini sama persis dengan Indonesia.

Secara sengaja, mereka melakukan pengkajian dan penerbitan buku-buku yang berbahaya bagi ajaran Islam. Beberapa karya kaum oreintalis yang dianggapnya mengandungi banyak kekeliruan dan mengaburkan ajaran Islam adalah Dasiratul Ma'aruf Al Islamiah, Al Munjid Fillughah Wal Ulum Wal Adab, Al Mausu'ah `Arabiah Al `Muyassarah.

Cara-cara yang dipakai oleh gereja dalam menyebarkan missi, dikutip Dr Ali Mohd Garisyah dan Mohd Syarif Azzibaq, termasuk diantaranya adalah membuka sekolah teologi dan biarawati. Gereja juga secara sengaja mengirim biasiswa kepada anak-anak jajahan yang jelas beragama Islam untuk melanjutkan pelajaran mereka di Barat. Dengan begitu anak-anak itu bakal berpola pikir Kristian dan mendukung missi.

Kepala Jabatan Akidah Dan Filsafat, Kuliah Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, Prof. Taha Abd al-Salam Khudhair dan Prof. Dr. Hasan Muharram al-Sayyid al-Huwaini, pernah menelusuri kelicikan penjajahan ideologis kaum Kristian dan Barat itu. Menurutnya, mereka biasa mengirim pelajar Islam ke negara-negara bukan Islam untuk belajar. Kelak setelah lulus, kebanyakan mahasiswa ini tumbuh menjadi orang jahil pada agamanya. "Mereka membangga-banggakan budaya Barat dan menghilangkan ajaran agama," begitu kutipnya. 

Dr. Abdurrahman Mas'ud mengatakan, kajian keislaman di Barat (orientalisme) adalah hasil persekongkolan gereja dengan penjajah. "Kajian Islam di Barat pada mulanya sarat dengan kepentingan missionaris dan kolonialisme, sekaligus sebagai ajang pencarian "kelemahan'' Timur dan Islam serta pengukuhan hegemoni Barat atas dunia Timur dan Islam," terang dosen pascasarjana IAIN Wali Songo itu dalam tulisannya di sebuah akhbar  harian.

Ungkapan senada datang dari Edward Said. Dalam bukunya Orientalism ia mengatakan, kajian orientalisme adalah gerakan kolonial dan missionar yang dibungkus keilmuan. Dengan demikian tidaklah terlalu penting kawalan ketenteraan untuk menjajah. Sebab, dengan devide et empera, kekuatan terjajah akan lemah dan saling bermusuhan sendiri.

Tidaklah menghairankan, bila saat menghancurkan Aceh, penjajah Belanda mengirimkan seorang bernama Snouck Hourgronje. Snoucklah peletak dasar strategi menghancurkan Islam oleh Belanda. Snouck secara sengaja belajar Islam bahkan sampai mengaku masuk Islam. Ia belajar ke Makkah Al-Mukarramah selama enam tahun dengan memakai nama samaran Abdul Ghaffar. Walau sikap kepura-puraan Snouck akhirnya terbongkar, tapi pola penjajahan dengan cara ghazwul fikri seperti itu terus berkembang hingga kini.

Madzhab Selebritis 

Wajah baru penjajahan juga berbentuk budaya. Misalnya, penyebaran film-film, iklan, majalah, video klip, internet termasuk gaya hidup (life style). Jangan hairan bila muzik-muzik Barat seperti; ska, rock, underground, black_m, R&B secara perlahan-lahan menggeser muzik-muzik Islam. Melalui budaya, Amerika memaksakan kehendak. Kalau perlu ancaman embargo bila tidak mau menjualan film-film Hollywood ke negeri ketiga, khususnya Islam. 

Secara cepat pula industri film yang didominasi Yahudi ini kemudian menjadi trendsetter gaya hidup ummat manusia di seluruh dunia. Secara cepat pula, gaya hidup Barat dan Hollywood menjadi peradaban baru. Dengan dalih globalisasi, seolah-olah apa yang kita tonton, dan yang kita makan dan apa yang kita pakai atau dikenal dengan semboyan 3 F (food, fashion, and fun), haruslah memakai standar Barat dan Hollywood.

Dalam bukunya Jihad vs McWorld, Benjamin R. Barber mengatakan, apa yang terjadi di dunia hari ini adalah pem-Barat-an budaya (westernisasi). MTV, McDonald, celana jeans, musik ska, dan R & B dan film-film Hollywood kini dinikmati oleh warga dunia ketiga. Budaya Barat tidak lagi milik segolongan orang Amerika, tapi sudah milik dunia. Termasuk negeri-negeri Islam. Apa yang menjangkiti dunia Islam hari ini adalah berkembangnya mazhab selebritis. Indikasinya adalah eksploitasi aurat dalam media massa termasuk dalam TV kita. Hampir semua media yang membanjir dewasa ini mengeksploitasi derajat rendah kaum hawa. Film-film seperti Beverly Hills, Dawson Creek, dan Melrose Place seolah-olah tontonan maha penting bagi semua orang dibading rubrik ilmu pengetahuan. Info Selebritis, atau gosip artis, seolah begitu berharga dibanding berita penting lainnya dalam kehidupan. Semua itu, bisa langsung masuk ke kamar kita secara bebas.

Terhadap mereka yang menerima gaya hidup Barat, mereka memberi julukan Islam yang moderat, akomodatif, modernis, toleran, dan demokrat. Yang menolaknya disebut Islam radikal, fundamentalis atau Islam literal. 

Akibatnya begitu dahsyat. Dekadensi moral melanda generasi muda. Seks bebas, dan dadah sudah menjadi sesuatu yang biasa di mata para remaja. Entah bagaimana nasib ummat ini ke depan bila tunas-tunas mudanya terus seperti itu.• (Hidayatullah 14 Mei 2002)

Di petik dari swaramuslim.net





Salahuddin Ayyubi (1137–1193) (Salah al Din Yusuf Ibn Ayyub; ÕáÇå ÇáÏíä íæÓÝ ÇÈä ÇíæÈ) mendirikan Dinasti Ayyubid bangsa Kurdi di Mesir dan Suriah. Dia juga terkenal di kalangan Nasrani dan Muslim dengan kemampuannya sebagai pemimpin perang dan keahliannya dalam peperangan yang disertai juga dengan sifat kesateriaan dan belas kasihannya semasa Perang Salib. Sultan Salahuddin Al Ayyubi juga adalah seorang ulama. Beliau memberikan catatan kaki dan berbagai macam penjelasan dalam kitab hadits Abu Dawud



Naik ke kekuasaan


Salah al-Din dilahirkan dalam keluarga Kurdi di Tikrit di Sungai Tigris dan dikirim ke Damaskus untuk menyelesaikan pendidikannya. Di sana ia hidup selama sepuluh tahun di pengadilan Nur ad-Din, dan dikenal karena ketertarikannya kepada hadith Sunni. Setelah pendidikan militer awal di bawah kontrol pamannya, Negarawan dan prajurit Seljuk, Shirkuh, yang mewakili Nur ad-Din dalam kampanye melawan faksi kalifah Fatimid dari Mesir dalam tahun 1160-an.
Di kemudian hari Saladin menjadi wazir pada 1169, dan menerima tugas sulit mempertahankan Mesir dari serangan Raja Latin Yerusalem, khususnya Amalric I. Kedudukannya cukup sulit pada awalnya, sedikit orang yang beranggapan ia akan berada cukup lama di Mesir mengingat sebelumnya telah banyak terjadi pergantian pergantian kekuasaan dalam beberapa tahun terakhir disebabkan bentrok yang terjadi antar anak-anak Kalifah untuk posisi wazir. Sebagai pemimpin dari pasukan asing Suriah, dia juga tidak memiliki kekuasaan atas pasukan Syi'ah Mesir yang masih berada di bawah Khalifah yang lemah, Al-Adid.



Shalahuddin Al-Ayyubi


Shalahuddin Al-Ayyubi adalah panglima pasukan Muslim pada Perang Salib.
Shalahuddin Al-Ayyubi berasal dari bangsa Kurdi, ayahnya Najmuddin Ayyub dan bapa saudaranya Asaduddin Syirkuh hijrah (migrasi) meninggalkan kampung halamannya dekat Danau Fan dan pindah ke daerah Tikrit (Irak). Shalahuddin lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M, ketika ayahnya menjadi penguasa Seljuk di Tikrit.

Baik ayahnya maupun bapa saudaranya, kedua-duanya mengabdi kepada 'Imaduddin Zanky, gabernor Seljuk untuk kota Mousul, Irak. Ketika 'Imaduddin berhasil merebut wilayah Balbek, Libanon tahun 534 H/1139 M, Najmuddin Ayyub (ayah Shalahuddin) diangkat menjadi gubernur Balbek. Selama di Balbek inilah, Shalahuddin mengisi masa mudanya dengan menekuni teknik perang, strategi, politik dan organisasi menghimpun massa.

Dari usia belasan tahun Shalahuddin selalu bersama ayahnya di medan pertempuran melawan Tentara Perang Salib atau menumpas para pemberontakan terhadap pemimpinnya Sultan Nuruddin Mahmud. Ketika Nuruddin berhasil merebut kota Damaskus tahun pada tahun 549 H/1154 M maka keduanya ayah dan anak telah menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada pemimpinnya.

Dalam tiga pertempuran di Mesir bersama-sama pamannya Asaduddin melawan Tentara Perang Salib dan berhasil mengusirnya dari Mesir pada tahun 559-564 H/ 1164-1168 M. Sejak itu Asaduddin, pamannya diangkat menjadi Perdana Menteri Khilafah Fathimiyah. Setelah pamnnya meninggal, jabatan Perdana Menteri dipercayakan Khalifah kepada Shalahuddin Al-Ayyubi.

Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil mematahkan serangan Tentara Salib dan pasukan Romawi Bizantium yang melancarkan Perang Salib kedua terhadap Mesir. Sultan Nuruddin memerintahkan Shalahuddin mengambil kekuasaan dari tangan Khilafah Fathimiyah dan mengembalikan kepada Khilafah Abbasiyah di Baghdad mulai tahun 567 H/1171 M (September). Setelah Khalifah Al-'Adid, khalifah Fathimiyah terakhir meninggal maka kekuasaan sepenuhnya di tangan Shalahuddin Al-Ayyubi.

Sultan Nuruddin meninggal tahun 659 H/1174 M, Damaskus diserahkan kepada puteranya yang masih kecil Sultan Salih Ismail didampingi seorang wali. Dibawah seorang wali terjadi perebutan kekuasaan diantara putera-putera Nuruddin dan wilayah kekuasaan Nurruddin menjadi terpecah-pecah. Shalahuddin Al-Ayyubi pergi ke Damaskus untuk membereskan keadaan, tetapi ia mendapat perlawanan dari pengikut Nuruddin yang tidak menginginkan persatuan. Akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi melawannya dan menyatakan diri sebagai raja untuk wilayah Mesir dan Syam pada tahun 571 H/1176 M dan berhasil memperluas wilayahnya hingga Mousul, Irak bagian utara.







http://www.geocities.com/khairilhusni416/A...-_Permaidani.rm

 http://www.mesra.net

No comments:

Post a Comment