Pages

Wednesday, June 16, 2010

Skandal Seks Dan Dosa Paus Benediktus XVI



Dalam tulisan terdahulu dijelaskan bagaimana Paus Benediktus XVI yang ketika itu masih menjabat sebagai Kardinal, dengan licinnya berhasil menutupi skandal seks gereja.
Sikapnya tak berubah, ketika skandal seks itu kembali terbongkar dan menuai cibiran ke Gereja Katolik. Paus Benediktus XVI tetap melakukan pembelaan dan seolah skandal seks yang sudah berulang kali membuat geger dunia itu cuma masalah sepele. Tapi kali ini, mampukah Paus menyelamatkan citra Vatikan?
Dosa Gereja Atau Dosa Pelayan Gereja?
Kali ini, Paus jarang memberikan komentar atau wawancara terkait skandal seks gereja yang kembali terbongkar. Pernyataan-pernyataannya hanya dikutip dari khutbah-khutbahnya, doa-doa dan naskah deklarasinya yang dikutip dengan hati-hati. Para pengamat Vatikan memduga, Paus sudah menyiapkan pandangan-pandangannya atas skandal seks Gereja Katolik yang menjadi buah bibir masyarakat dunia itu, yang akan disampaikannya dalam perayaan Palm Sunday (perayaan atas masuknya Yesus ke Yerusalem sebelum kematian dan kebangkitannya kembali-red) tahun ini, dengan menyerukan agar umat Kristiani untuk tetap teguh dan tidak terintimidasi dengan apa yang disebutnya “chiacchiericcio”–gosip kecil– yang “menodimasi opini-opini yang muncul.”
Tapi sepanjang pekan suci dalam kalender Kritiani, sulit dipungkiri bahwa krisis yang ditimbulkan oleh skandal seks gereja telah mencoreng muka Paus. Sejumlah pejabat Vatikan menyebutnya sebagai sebuah “kepedihan” sama seperti kepedihan yang diderita Yesus saat disalib. Wajah Paus nampak lebih tua dan suram meski dibalut dengan kemegahan gereja St. Petrus, Basilica. Tak nampak wajah Paus yang penuh semangat seperti biasanya. Usai Paskah, ketika belum juga ada tanda-tanda pemberitaan skandal seks gereja yang dilakukan para pendeta terhadap anak-anak, akan berakhir, para “pengawal gereja” yang memilih untuk bersikap agresif; menyalahkan media massa, para penganut atheis, kelompok homo seksual dan para pengacara yang “rakus uang” karena dianggap telah mengeksploitasi skandal seks tersebut. Tapi itu semua tidak terlalu banyak mendapatkan simpati dari masyarakat atau mengubah opini yang terlanjur muncul bahwa kepausan Paus Benediktus XVI sudah hancur untuk selamanya.
Selama krisis itu pula, kepausan sudah mengambil langkah-langkah yang luar biasa–melakukan manuver cepat untuk kepentingan lembaga yang sudah berusia 2.000 tahun dan kini dipimpin oleh seorang teolog yang sedang merasa malu. Pada pertengahan April, Paus Benediktus–menurut sejumlah laporan–melakukan pertemuan tertutup dan “penuh derai air mata” dengan para korban pelecehan seks di Malta; dan pada saat yang hampir bersamaan, Paus menjadi “tukang bersih-bersih rumah” dengan menerima pengunduran diri sejumlah uskup–satu orang uskup karena terlibat pelecehan seks dan uskup lainnya yang merasa bersalah dalam menangani kasus-kasus pelecehan itu. Tahta Suci Vatikan juga mengumumkan bahwa Legiun Kristus kini langsung berada di bawah kontrol Vatikan. Banyak pejabat di Vatikan yang mengungkapkan pada para wartawan, tentang bagaimana “penderitaan” gereja akibat skandal seks tersebut.
Pada bulan Mei, dalam perjalanan ke tempat suci “Lady of Fatima” di Portugal, di atas pesawat, Paus menjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan yang sudah lebih dulu ditulis dan diserahkan ke Paus. Meski ia bicara dengan gaya seorang gerejawi, dari pernyataannya jelas tertangkap apa yang ingin ditegaskan Paus.
“Penganiayaan terbesar pada gereja bukan berasal dari musuh-musuh di luar gereja, tapi lahir dari dosa-dosa di dalam gereja. Oleh sebab itu, gereja perlu melakukan pertobatan yang lebih dalam lagi, untuk menerima pemurnian,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa rasa keadilan tidak akan tergantikan dengan pemberian maaf bagi para pelaku, meski melupakan dosa-dosa adalah ajaran bagi umat Kristiani.
Pernyataan Paus yang menyinggung kata “keadilan” nampaknya mengindikasikan adanya perubahan sikap di Roma. Tapi apakah Paus Benediktus benar-benar akan memualai untuk membuat terobosan dalam hierarki gereja yang selama puluhan tahun selalu menutupi skandal-skandal seks gereja? atau pernyataannya itu hanya sebagai strategi public relation gereja?
Konsep keadilan dan penebusan dosa melibatkan jawaban pada Tuhan, manusia atau keduanya. Pada siapa Paus akan menjawab? Pada masa lalu, Ratzinger bersikap ambivalen terhadap tradisi penebusan dosa kepausan. Hari Pengampunan Dosa yang spektakuler pada tahun 2000 merupakan ide Paus Paulus II dan Ratzinger, sebagai prajurit harus mematuhinya. Jalannya ritual resmi pengampunan dosa–seluruh dokumennya hampir seluruhnya atas persetujuan Ratzinger–berusaha ditampilkan untuk menampilkan dua sisi; pengakuan dosa pada Tuhan yang dilakukan oleh Paus dan pengakuan dosa di hadapan manusia, dimana umat Kristiani tidak bisa bersembunyi dari tanggung jawab itu. Sejauh ini, terlihat seperti pertobatan. Tapi pernyataan Paus dalam perjalan ke tempat suci Fatima bulan Mei kemarin, menunjukkan seberapa jauh Paus mengekspos tanggung jawab institusinya. Paus membebankan kesalahan pada gereja dan bukan pada pelayan-pelayan (uskup, pendeta) gereja.
Di sinilah titik kritisnya. Dosa konsekuensinya menyangkut pada hal-hal Ilahiah, perbuatan kriminal berurusan dalam lingkup hakim-hakim manusia, hukum dan pengadilan, penjara, penghinaan publik dan hilangnya harta benda. Mungkin tidak jadi masalah jika kejahatannya terjadi jauh pada masa lalu dan korban-korbannya sudah meninggal. Tapi kasus-kasus pedofilia yang terbongkar baru-baru ini melibatkan orang-orang yang masih hidup dan menuntut ganti rugi. McDaid, salah satu korban pedofilia asal Massachusetts mengatakan, tidak seperti di masa lalu yang selalu bereaksi lambat, belakangan ini gereja bereaksi cukup cepat. “Tapi itu semua karena semua orang di gereja dalam ketakutan. Masalah ini tidak akan berlalu hanya dengan bantahan-bantahan,” ujar McDaid.
Lalu, apa yang akan dikatatakan Paus Benediktus XVI selanjutnya? Sejumlah pejabat di Vatikan menyampaikan gagasannya bahwa Paus Paulus bisa memberikan mea culpa pada saat konvensi di Rome bulan awal Juni. “Harapan kembali muncul bahwa Paus akan mengatakan sesuatu, yang paling tidak bisa mengatasi semua persoalan ini,” kata seorang sumber di Vatikan. Tapi kelihatannya Paus tidak memikirkan kemungkinan itu. Ada perbedaan suara dalam Gereja Vatikan
“Puluhan ribu imam suci yang baik, berusaha melakukan yang terbaik, akan datang ke Roma. Jika pesan konvensi itu tenga pelecehan seksual, maka seperti kata pepatah, bahwa ini pada akhirnya semua ini adalah kesalahan Anda (Paus). Tapi jika ia ingin menyatukan para uskup dunia dalam mea culpa, ini mungkin lebih masuk akal,” kata seorang sumber di Vatikan.
Seorang yang mengaku loyal dengan Paus Benediktus mengakui bahwa ia ragu Paus bisa mempertahankan kekuasaan gereja di masa pemerintahannya sebagai Paus. Biar bagaimanapun juga, menuntut akuntabilitas dari sebuah budaya yang kerap menyembunyikan “kejahatan” sama artinya mengkhianati warisan pahlawan dan “sahabat besar” Paus Benediktus, Paus Paulus II meski ia cenderung cuma jadi penonton kasus-kasus pelecehan seksual dan mengabaikan para korban pelecehan hingga kasus ini meledak menjadi skandal memalukan pada tahun 2002.
Bahkan jika Paus Benediktus mendesak Kuria untuk lebih terbuka, ia kemungkinan tidak akan sejalan dengan banyak penganut Katolik. Meski gereja Vatikan dikelola dengan sistem atas ke bawah, gereja-gereja Katolik saat ini memiliki pengharapan akan sebuah umat yang taat dibandingkan sebuah kelompok penganut yang patuh. Ribuan korban pelecehan dan keluarga mareka rencananya akan berkumpul di Roma pada bulan Oktober untuk menghadiri apa yang mereka nyatakan sebagai “Hari Reformasi”, sebuah tuntutan agar Vatikan segera bertindak atas kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi. Salah satu penggagas dan kordinator kegiatan itu adalah McDaid yang pernah bertemu Paus di Washington pada tahun 2008. Ia menyerukan aksi jalan kaki ke Gereja Santo Pterus di Roma dan sebuah gerakan demokrasi yang luas untuk mentransformasikan Roma. “Gereka ini gereja umat, kita harus merebutnya kembali,” kata McDaid yang mengklaim gerakan reformasi gereja yang digagasnya akan lebih besar daripada gerakan reformasi yang dipimpin Martun Luther.
Refomasi Gereja Katolik, Mungkinkah?
Kata “reformasi” adalah kata yang sensitif bagi Gereja Katolik, karena sama artinya mengikis sejarah kejayaan gereja. Lalu, bisakah gereja benar-benar mereformasi institusinya? Profesor bidang teologi di Milltown Institute, Dublin, Pendeta Thomas Whelan menyatakan, reformasi gereja yang sangat sentralistik (sangat terikat dengan manajemen di Roma)ini sudah menjadi wacana sejak akhir abad ke-19. Skandal pedofilia para pendeta gereja menjadi pukulan keras bagi otokrasi gereja. Jika gereja tidak segera membersihkan diri, konsekuensinya akan mengerikan. Skandal ini, telah membuat gereja-gereja di Irlandia jadi sepi jamaah. Hal yang sama terjadi Jerman, Austria dan beberapa negara Eropa.
“Kenangan akan skandal seks ini akan terus menghantui sejarah gereja,” ujar Whelan.
Bagi kalangan liberal, krisis gereja Katolik akibat skandal seks merupakan kesempatan untuk mempertanyakan kembali berbagai disiplin dan dogma Gereja Katolik, misalnya tentang aturan hidup membujang di kalangan agamawan Katolik dan pandanga-pandangan gereja tentang seks, peran kaum peremuan dan sikap gereja Katolik terhadap homoseksual. Kelompok lainnya berpendapat, otoritas keuskupan dan Paus harus dijalankan dengan penuh ketaatan. Tapi kalangan Konservatif melihat krisis yang dialami Gereja Katolik sebagai peluang untuk memperkuat kritik mereka terhadap kecabulan dan seks bebas budaya modern dan menekankan pentingnya kembali ke budaya tradisional dan ajaran agama Katolik seperti yang tertulis dalam Alkitab. (ln/time)  ~~era muslim

No comments:

Post a Comment